Aroz yang digendong oleh Tarachri segera turun dari punggung Tarachri dan menatap sekelilingnya penuh siaga. Dilihatnya sekeliling ruangan yang entah mengapa berhawa sejuk padahal penuh dengan bantal dan kain-kain tebal. Belum lagi Ia tahu bahwa letak ruangan itu jauh di dalam gua karang.
Aroz dan Tarachri berdiri diam di pintu masuk ruang teh yang temaram itu. Mengawasi pergerakan di depan mereka. Informan Aya yang ternyata seorang wanita tua itu berjalan pelan menuju salah satu bangku kecil di samping meja. Aya mengikutinya dan duduk di samping wanita tua itu.
"Apa-apaan ini, Aya?! Apa kau sudah sesat akal?!" seru Tarachri marah.
Aya menatap kakaknya heran. "Maksud kakak apa?"
"Kau! Kau seorang Penyihir, bukan?!" seru Tarachri menunjuk wanita tua yang sedang tersenyum lembut membalas tuduhannya. Aroz dan Tarachri segera mengambil sikap kuda-kuda mereka. Bersiap untuk menyerang.
Aya kemudian bangkit dari duduknya dan berdiri di antara wanita tua itu dan kedua kakaknya. Ia berdiri mantap dengan kedua tangan terbentang di sisi tubuhnya, melindungi Penyihir itu dengan tatapan tajam menantang kedua kakaknya. Aroz dan Tarachri yang melihat sikapnya itu terkejut.
"Sekarang kau memihak kepada Penyihir, Aya? Sungguh aku tidak percaya," ucap Aroz. Terselip kesedihan dan kekecewaan dalam kalimatnya.
"Kakak! Hentikan! Dengarkan penjelasanku dulu!" seru Aya.
"Oh, maafkan aku, Anak Muda. Aku bukanlah seorang penyihir, tetapi aku juga bukan petarung," kata wanita tua itu pelan. Ditepuknya bahu Aya dan bergerak maju.
"Nini-!" seru Aya.
"Oh, tenang saja, Anakku. Kakak-kakakmu tidak akan menyerangku begitu saja," ucap wanita tua itu dengan tenang.
Matanya menatap kedua kakak beradik yang siap menyerangnya kapan saja itu dengan lembut. Kemudian dengan suara lembutnya ia menyanyikan sebuah rapalan mantra dengan lembut dan pelan. Sebuah nyanyian yang bernada tinggi dan rendah, mendayu-dayu cepat dan lambat. Suaranya seakan mampu mengangkat ketegangan yang menggantung menyesakkan di ruangan temaram itu.
Seolah turut tersihir, cahaya lilin di ruangan itu yang semula redup mulai menyala semakin terang. Meninggalkan berkas cahaya di belakang wanita tua yang sedang bernyanyi itu. Bukan. Ia tidak terlihat seperti wanita tua sama sekali. Ia terlihat seperti gadis muda yang sedang bernyanyi dengan indahnya.
Aroz terpana melihat kejadian itu. Namun, tiba-tiba Ia tersentak karena tepukan Tarachri di bahunya. Aroz langsung memalingkan wajah dan menutup rapat kedua mata dan telinganya. Tarachri yang ada di sebelahnya bergerak hendak menyerang namun segera ditahan oleh Aya.
"Hentikan! Hentikan sekarang juga, Penyihir!" seru Aroz yang masih menutup rapat kedua telinganya.
Tetapi, seolah tak menghiraukan seruan Aroz, wanita tua itu terus bernyanyi dengan lembut dan pelan. Meski sang Penyihir tak bernyanyi dengan keras, suaranya yang khas tetap dapat terdengar oleh Aroz dengan jelas. Tarachri pun tak dapat menyerangnya karena Aya berdiri diantara mereka. Nyanyian ajaib itu akhirnya berhenti seiring dengan seluruh emosi dan kemarahan mereka yang juga lenyap. Aroz perlahan menurunkan kedua tangannya dan menatap sang Penyihir dengan terpana.
"Apa itu? Apa yang baru saja terjadi?" tanya Aroz.
"Nyanyian Pengantar Tidur. Sebuah lagu yang cocok untuk meredakan emosi yang menyala-nyala dan tentu saja mengantarkan mimpi indah pada anak-anak yang mendengarnya," jawab sang Penyihir. Ia sudah kembali duduk di bangku kecilnya dengan diiringi bunyi derak kayu.
"Lagu?" tanya Aroz. Ia dan Tarachri saling bertukar pandang bingung.
"Aku bukanlah seorang penyihir seperti yang kalian pikirkan. Aku hanyalah seorang penyair tua yang menciptakan lagu-lagu dan syair pengantar tidur untuk anak-anak," jelas wanita tua itu.
"Hanya karena aku memiliki kemampuan dalam mengendalikan Mana bukan berarti aku adalah seorang penyihir," sambungnya.
Aroz dan Tarachri terdiam. Sebab apa yang dikatakan wanita tua yang duduk di depan mereka itu benar. Tidak sedikit orang yang mampu mengendalikan Mana, sumber kekuatan sihir, tetapi tidak menjadikan mereka sebagai penyihir. Baik Aroz maupun Tarachri juga dapat mengendalikan Mana mereka untuk memperkuat jurus dan serangan mereka, tetapi mereka sama sekali bukan penyihir.
"Nini Mara sebenarnya adalah seorang penyair yang mampu mengendalikan Mana dengan suaranya. Itulah sebabnya mengapa Nini bernyanyi untuk kalian," kata Aya yang sudah duduk di sebelah Nini Mara. "Saat aku pertama kali bertemu dengannya, ia juga bernyanyi untukku karena aku juga mengira beliau adalah seorang penyihir."
"Hahaha. Aku mengingat dengan jelas saat itu kau sedang berkelahi dengan anak-anak berandalan dari fraksi pemberontak. Kau hampir saja menghancurkan salah satu bangunan karena amukanmu," tawa Nini Mara.
Aroz dan Tarachri saling pandang. Aya dan Nini Mara terlihat sangat akrab layaknya teman lama. Nini Mara mengajak mereka untuk bergabung dengan mereka di meja teh kecil itu. Ia kemudian pergi sebentar menyiapkan minuman dan makanan kecil.
"Aku tahu kalian datang kemari bukan hanya untuk minum teh denganku. Ada apa?" tanya Nini Mara setelah memberikan minuman.
"Kami ingin mengetahui maksud dari sebuah buku yang ditemukan oleh Kak Aroz, Nini," kata Aya.
Aroz mengeluarkan sebuah buku lusuh berisi informasi para penyihir yang ia simpan di balik jubahnya. Ia kemudian menyerahkan buku itu pada Nini Mara. Nini Mara mengusap sampulnya perlahan dan membaca simbol-simbol yang tertera di sana.
"Buku ini adalah Galdrabรฒk milik seorang Penyihir Bayangan bernama Sirah. Penyihir yang dikenal dengan jubah merah darah dan kegilaannya untuk menciptakan monster-monster buas haus darah. Seperti yang kalian ketahui, buku ini berisi rahasia-rahasia terkelam para penyihir dan orang-orang yang terikat sumpah dan perjanjian dengan pemiliknya," jelas Nini Mara.
"Bagaimana kalian bisa menemukan buku ini?" tanya wanita tua itu terkejut. "Buku ini adalah salah satu harta yang penting bagi seorang penyihir."
"Kami menemukannya tergeletak di tanah setelah pertarungan kami dengan penyihir pemilik buku itu. Sepertinya ia menjatuhkannya saat bertarung dengan kami," jelas Aroz.
"Menjatuhkannya? Tak pernah terpikir olehku jika seorang penyihir akan menjatuhkan benda sepenting ini tanpa sengaja," komentar Nini Mara.
"Kau sepertinya benar-benar mengetahui banyak hal tentang Penyihir, Nek. Kau bahkan tak percaya kami menemukan buku ini secara kebetulan," kata Tarachri sengit. Ia masih belum sepenuhnya mempercayai Nini Mara.
"Oh ya, tentu saja. Sebagai seorang penyair yang sering disalahpahami dengan penyihir, tentu saja aku mengetahui sedikit banyak tentang mereka. Agar aku tidak lagi difitnah sebagai salah satu dari kelompok tak bertuhan itu," balas Nini Mara tajam.
Nini Mara sengaja berkata demikian untuk menyindir Tarachri yang terang-terangan menunjukkan ketidaksenangannya berada di sana. Beralih pada Aroz, Nini Mara berbicara dengan hati-hati.
"Aku tidak tahu apa yang akan rencanakan dengan buku ini, tetapi aku ingin kalian berhati-hati. Aku yakin ada maksud tersembunyi dari para penyihir itu dengan kemunculan mereka sekarang. Ditambah lagi mereka yang membantu pergerakan para pemberontak dan teroris di tanah seberang. Mereka pasti mengincar sesuatu," pesan Nini Mara.
"Apa katamu?! Penyihir membantu Teroris?!" seru Aroz, Aya dan Tarachri hampir bersamaan.
"Itulah yang ku dengar," kata Nini Mara. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar.
"Apa pun yang mereka rencanakan itu, semuanya pasti akan berakhir buruk bagi kita," sambungnya sambil menghela napas panjang.
Aroz dan kawan-kawan mengikuti Nini Mara menuju pintu yang sebelumnya juga membawa mereka masuk ke dalam gua ini. Setelah berterima kasih atas informasi yang diberikan oleh Nini Mara serta jamuan kecilnya, mereka pun berpamitan dan kembali ke markas pusat dengan informasi baru yang memberatkan bahu mereka. Perjalanan panjang menempuh cahaya matahari pagi yang hangat.
*****
Jauh di sisi barat pegunungan Ranjani yang megah, terdapat lubang-lubang gua buatan raksasa di mana terlihat banyak orang bermandikan keringat keluar masuk sambil membawa beliung dan gerobak-gerobak berisi bebatuan. Terlihat pula kendaraan alat berat yang bekerja mengeruk dinding-dinding karang di salah satu gunung di sana.
Di ceruk pegunungan itu, di mana sinar matahari terhalangi oleh gunung-gunung yang tinggi menjulang, terdapat banyak tambang batu mulia dan kristal gelap yang dikelola oleh para mafia dan teroris. Dari sana pula asalnya berbagai batuan kristal sihir yang seringkali diselundupkan untuk dikirim langsung kepada para penyihir. Namun, tentu saja para pekerja tambang tidak mengetahui hal tersebut. Seluruh akses informasi mengenai bisnis pertambangan itu dikunci rapat oleh para teroris karena tambang-tambang itu adalah salah satu sumber kekuatan terbesar mereka.
Jauh di dalam perut pegunungan, di salah satu tambang terbesar di sana, Axen, seorang pemuda yang bekerja sama dengan para Teroris sibuk menggali kristal ruby berwarna merah darah. Ruby merupakan batuan mulia berharga yang mengandung sihir di dalamnya. Dikatakan jika semakin merah warnanya, maka semakin besar kekuatan sihir yang terkandung dan semakin tinggi pula nilainya.
Itulah sebabnya mengapa seorang Teroris seperti Axen bersedia turun tangan menggali batuan kristal itu meski bahaya akan runtuhnya gua tambang. Dengan iming-iming harga kristal sihir yang menjulang ia tak peduli apa pun cara yang harus ia gunakan untuk mengumpulkannya.
Tak peduli jika ia harus kehilangan beberapa anggota tubuhnya demi lembaran-lembaran uang yang tidak seberapa. Tetapi, karena itulah Axen harus berjuang, demi lembaran-lembaran uang yang tak senilai dengan pengorbanannya. Axen terus menggali lebih dalam dan semakin dalam, tak peduli peringatan pekerja tambang lain.
"Berhentilah sesaat, Nak. Jika kau terus menggali semakin dalam kau tak hanya akan kehilangan jari-jemarimu, tetapi kau juga akan kehilangan nyawamu," tegur seorang pak tua yang telah bekerja dengannya sejak ia masuk ke pertambangan ini.
"Aku tidak apa, Pak. Aku harus melampaui target hari ini, aku tak ingin adik-adikku kelaparan di rumah," balas Axen sambil tetap mengayunkan beliungnya.
"Jika kau bekerja seperti ini, kau nanti tak bisa bertemu dengan adik-adikmu lagi, Nak. Beristirahatlah sejenak," ajak Pak Tua.
Axen hanya menggeleng keras kepala dan kembali melanjutkan pekerjaannya hingga ia mendengar suara gemuruh di kedalaman gua. Axen menghentikan pekerjaannya dan menegakkan tubuhnya. Ia kembali mendengar gemuruh itu dan kali ini disertai dengan jatuhnya bebatuan kecil dari atas kepalanya. Tak salah lagi, suara itu memang berasal dari kedalaman gua di bawah sana.
"Ku rasa Pak Tua itu benar. Aku sudah menggali jauh ke dalam. Tak ada gunanya aku mencampakkan hidupku bekerja mati-matian jika nanti aku harus mati sia-sia di dalam gua ini," gumam Axen.
Axen pun memutuskan untuk kembali ke permukaan dan beristirahat sebentar lalu melanjutkan pekerjaannya. Selama perjalanannya mendaki kembali ke permukaan, Axen juga memperingatkan pekerja lain tentang suara gemuruh dan gempa kecil yang ia rasakan tadi.
Setibanya di tenda kecil tempat para pekerja tambang beristirahat, Axen melihat seseorang dengan jubah panjang dengan simbol Intel di punggungnya. Axen membeku di tempat.
"Untuk apa seseorang dari Organisasi Intel berada di sini? Apakah keberadaan kami sudah diketahui?" batin Axen panik.
Ia kemudian mengendap-endap mengikuti anggota Intel itu. Ternyata si Intel mencari bosnya, pemilik sekaligus pengelola tambang batu kristal ini. Perlahan Axen berputar menuju bagian belakang pondok tempat bosnya beristirahat. Dari bawah salah satu jendelanya Ia dapat mendengar dengan jelas pembicaraan si Intel dan bosnya.
"Sudah lama tak jumpa, Rigur," kata pria Intel itu.
"S-s-senang be-bertemu A-anda, Tu-tuan Kepala Divisi Ekspedisi Intel," kata Rigur, si pemilik tambang sekaligus bos Axen.
"Tak perlu terlalu tegang seperti itu, Rigur. Kau bisa memanggilku Tuan Roga," kata pria bernama Roga itu dengan nada bicaranya yang sombong namun mengancam.
"Ba-baik, Tuan Roga," cicit Rigur ketakutan. "Silakan duduk, Tuan. Saya akan meminta pekerja saya untuk membuatkan teh untuk Tuan." kata Rigur sambil menggeser sebuah kursi untuk Roga duduk.
"Roga?! Apakah itu Roganiu sang Pembantai dari Intel?! Tidak mungkin. Tetapi bos memanggilnya tadi dengan 'Kepala Divisi Ekspedisi Intel', bukan?" batin Axen yang bersembunyi di bawah jendela dengan panik.
"Jika itu memang benar dia, maka nasib kami semua yang berada di sini sudah jelas. Kami semua akan mati di tangannya," Axen mulai cemas dan ketakutan.
"A-angin apa yang membawa Tuan kemari jika saya boleh tahu, Tuan Roga?" tanyanya sambil mengepal kedua tangannya yang terlipat di bawah meja.
Mereka berdua kini sudah duduk berhadap-hadapan, Roga dengan ekspresi wajahnya yang menyelidik dan Rigur yang berusaha menahan wajahnya agar tidak membentuk ekspresi ketakutan atau kesal. Rigur sama sekali tidak mendapat informasi apa pun tentang kemunculan Roga di sana. Tanpa persiapan mantap, Ia dan seluruh pekerjanya bisa saja dibantai oleh pria mengerikan ini.
"Kau tahu betul alasan mengapa aku berada di sini, Rigur," kata Roga santai. Ia menyilangkan kedua kakinya.
"Apakah rahasiaku sudah terbongkar?!" batin Rigur.
*********
Bersambung..
*Catatan*
Jika ingin Lihat berbagai Art saya, bisa Follow saya di IG. @fachri_pay55 .... Terimakasih ๐๐๐๐ฎ๐ฉ