Axen menggeser sedikit ambang jendela kayu di atas kepalanya hingga terbuka celah kecil, cukup baginya untuk mendengar seluruh pembicaraan yang ada dalam pondok.
"Kau tahu betul alasan mengapa aku berada di sini, Rigur," kata Roga santai. Ia menyilangkan kedua kakinya.
(Apakah rahasiaku sudah terbongkar?!) batin Rigur cemas. Butiran keringat mengalir dari dahinya.
"Bisnis pertambanganmu mulai tercium oleh para predator buas di luar sana," kata Roga lagi sambil melambaikan tangannya di udara. Menggambarkan siapa yang ia maksud dengan 'predator buas'.
"Apa maksud Anda, Tuan? Sejauh pengetahuanku, tak ada yang mengetahui bisnis ini dengan jelas terutama letak pastinya. Kami bekerja secara hati-hati tanpa mengganggu pihak mana pun di sini," kata Rigur berusaha menutupi kesalahannya.
"Ho… Kau ingin berpura-pura tidak peduli, ya? Tak masalah kalau begitu. Bagaimana jika aku memberitahu pekerjamu kepada siapa kau menjual kristal-kristal itu, Rigur?" ancam Roga. Ia bangkit dan berjalan menuju ke arah jendela.
Axen mematung. (Kepada siapa ia menjualnya? Apa yang sedang mereka bicarakan?) batinnya.
Suara langkah kaki Roga terdengar menghampiri jendela pondok yang sedikit terbuka. Axen menyadari tempat persembunyiannya telah terbongkar. Ia harus kabur secepat mungkin dari sana. Ia sudah cukup puas menguping.
Perlahan Axen merayap menjauhi jendela sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara, tetapi gagal karena bagian belakang bajunya tersangkut sesuatu. Tubuhnya menegang. Suaranya tersangkut di tenggorokan.
"Bagaimana jika aku memulainya dari kau saja? Kau yang sejak tadi menguping?" tanya Roga yang sudah berdiri di balik jendela.
Tangan Roga sudah menggenggam bagian belakang baju Axen yang perlahan menoleh ke arahnya dengan ekspresi ngeri. Terlihat olehnya ekspresi Roganiu yang tersenyum lebar mengerikan. Dengan satu sentakan tubuh Axen berada di udara dan bokongnya kembali mencium tanah dengan bunyi keras.
"Reyner?!" seru Rigur terkejut.
"Selamat pagi, Bos," sapa Axen sambil membungkuk dan mengusap bokongnya yang pedih. Perlahan Ia bangkit dan berdiri menghadap Rigur yang menatapnya marah.
"Kita akan berbicara setelah ini," seolah itulah yang tertulis dari ekspresi wajah Rigur yang melotot marah pada Axen. Axen hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal dan tersenyum canggung.
"Seberapa banyak yang kau dengar?" tanya Roga.
"Eh?? Anu- dengar apa ya?" tanya Axen pura-pura tak tahu.
Axen menyadari tatapan penuh selidik dan emosi dalam nada bicara Roga. Ia kemudian melirik Rigur dari sudut matanya. Rigur balas memelototinya penuh peringatan. Axen menelan ludah kasar.
"Tidak ada, Tuan. Aku tidak mendengar apa-apa. Aku hanya kemari untuk menemui Tuan Rigur dan tanpa sengaja mendengar suara seseorang berbicara, jadi aku memutuskan mendekat tetapi tidak jadi karena melihat beliau sedang ada tamu," jelas Axen.
Ia berusaha keras untuk tidak memalingkan pandangannya dari tatapan tajam penuh selidik Roga. Rasanya seolah dari tatapan itu ia sedang dikuliti hidup-hidup. Axen kembali menelan ludah kasar. Keringat dingin mengalir di punggungnya sementara Ia dapat mendengar jantungnya berdentum kencang di telinganya. Beberapa detik seolah seribu tahun berlalu. Axen akhirnya dapat mengedipkan mata dan menghela napas lega setelah Roga mendengus dan berbalik kepada Rigur. Ternyata sedari tadi tanpa sadar Ia telah menahan napas. Pantas saja kepalanya jadi pusing.
"Tak hanya bosnya, anak buahnya pun juga tukang bohong," dengus Roga sembari duduk kembali.
"Tapi tak masalah. Itu berarti aku dapat memanfaatkan kalian tanpa perlu peduli apa yang akan terjadi karena kalian memang tidak bisa dipercaya," sambung Roga. Kepalanya mendongak dan memandang rendah pada Rigur yang tersinggung mendengar kata-kata Roga.
"Apa maksud Anda dengan 'memanfaatkan' kami, Tuan Roga?" tanya Rigur tajam.
"Aku tahu kalian menyembunyikan rahasia besar, Teroris. Sebuah bongkahan Purē Cristals yang kau sembunyikan di sini. Kristal sihir murni sangat langka sekaligus bernilai sangat tinggi. Aku yakin kau mengerti maksudku 'kan, Rigur?" tanya Roga. Senyum licik Roga terkembang semakin lebar melihat wajah pucat Rigur.
"Kau menyembunyikan kristal itu dengan harapan agar para Penyihir tidak mengetahuinya dan terus membeli batu-batu darimu. Kau membuat berita palsu tentang letak kristal itu berada jauh di pulau kosong Kepulauan Labadiou, bahkan membuat sebuah tempat persembunyian di sana untuk mengecoh kami dan menjauh darimu," Roga melanjutkan. "Baik pihak kami maupun pihak Orang-orang Bawah telah termakan mentah-mentah tipuan murahanmu itu. Padahal sesungguhnya kristal itu ada di sini, tepat di bawah hidung kami, Organisasi Intel sendiri. Hanya saja orang-orang itu terlalu bodoh untuk melihat ke bawah dan mengendusnya sendiri."
Pintu pondok itu terbuka, seorang pekerja wanita paruh baya membawa sebuah nampan berisi dua cangkir teh. Ia menatap Axen bingung karena Ia hanya diperintahkan menyiapkan minuman untuk satu tamu. Wanita itu kemudian berbalik hendak keluar namun ia mematung penuh kengerian. Tatapannya terkunci pada sosok Sang Pembantai yang juga menatapnya murka.
"Ya. Contohnya seperti ini. Aku sudah lama mencari salah seorang pelaku bom bunuh diri yang menghancurkan kampung halamanku. Ternyata selama ini ia berada sangat dekat, bodohnya aku telah mencarimu hingga ke Negeri China sana, benar begitu bukan? Ruqoyyah?" murka Roga.
"Kau-" kata-kata Ruqoyyah terputus. Dalam sekejap kedua kakinya sudah tak menapak tanah lagi.
Buku-buku jari Roga telah mencengkeram lehernya. Lehernya dicekik dengan kuat hingga air mata mengalir dari sudut mata Ruqoyyah. Napas dan suaranya tertahan saking kuatnya Roga mencengkeram lehernya. Axen yang melihat kejadian itu tidak bisa tinggal diam. Ia berseru pada Roga untuk melepaskan cengkeramannya pada Ruqoyyah.
"Lepaskan Tuan Roga! Apa yang sedang Anda lakukan?! Anda bisa membunuhnya!" seru Axen.
"Tidak tampakkah olehmu memang itu yang sedang ku lakukan, hai The Tooler of Terror Axen Reyner?" tanya Roga. "Ku dengar kau dapat menghanguskan seluruh kota dengan peralatan canggihmu," sindirnya. Seringai penuh kebencian terukir di wajah kelam Roga.
"Tenang saja, akan ku buat kau dan wanita jalang tak bertuhan ini membayar segala perbuatan kalian! Dan kau!" seru Roga pada Ruqoyyah yang wajahnya semakin membiru. "Akan ku buat kau mati perlahan-lahan dan penuh kesakitan karena kau tak layak mendapatkan kematian yang tenang, kau PEMBUNUH!" Ia semakin mempererat cengkeraman tangannya.
"Akh!" seru Ruqoyyah. Terdengar bunyi tulang berderak dari lehernya.
Axen sudah tak tahan lagi. Ia langsung menerjang Roga. Axen mengeluarkan sebuah tombak besi dan mengayunkannya tepat ke wajah Roga yang menyeringai selagi Ia mencekik Ruqoyyah. Keduanya terjatuh menerima pukulan telak Axen yang kuat. Axen segera mengangkat tubuh Ruqoyyah dan menyingkir dari Roga.
"Bibi! Bibi!" panggil Axen sambil mengguncang tubuh wanita itu. Tetapi nihil.
Ruqoyyah sudah mati. Roga berhasil membunuhnya. Axen mengumpat marah dan kesal. Sementara itu, Roga sudah kembali bangkit dan mengusap sudut bibirnya yang berdarah dengan punggung tangannya.
"Wanita itu pantas mendapatkannya. Seharusnya aku memotong lengan dan kakinya terlebih dahulu, baru membunuhnya," kata Roga puas. Ia meludahkan darah yang keluar dari mulutnya.
"Kau… kau yang pembunuh!" seru Axen murka dan kembali menerjang Roga.
Roga yang sudah menduga serangan itu langsung menghindar dengan mudah. Ia mengambil posisi kuda-kuda dan melancarkan tendangan balasan yang mendarat telak di perut Axen. Mendapat tendangan keras seperti itu, Axen terpental ke belakang dan kepalanya menghantam dinding dengan keras hingga pondok kayu itu bergetar.
Melihat Axen yang sudah jatuh terkapar akibat serangan Roga, Rigur segera menyerang maju mengeluarkan belati beracun miliknya. Rigur menyergap pukulan Roga dari samping dan berputar. Belatinya terhunus hendak menusuk Roga dari belakang. Tiba-tiba Roga mengganti posisi kuda-kudanya dan berbalik. Dengan mudahnya Roga menangkap serangan Rigur dan membalikkannya. Rigur yang terkejut segera menyentak mundur dan mengambil sikap bertahan.
(Sial. Aku tak bisa menyerangnya secara terang-terangan,) batin Rigur.
Ia harus memutar otak dan mengakhiri pertarungan ini dengan cepat. Rigur tahu jelas keahlian beladiri Roganiu sang Pembantai. Pria yang ada di hadapannya ini mendapatkan julukan mengerikan itu tak lain karena kemampuan membunuhnya yang tanpa menggunakan senjata alias tangan kosong. Rigur melihat benda-benda yang ada di sekelilingnya, terdapat beberapa mebel dan benda-benda lain yang tidak begitu berguna dalam pertarungan.
"Sial. Peduli amat lah! Yang penting aku harus kabur dari sini sekarang juga!"
Rigur meraih segala benda yang ada di sekitarnya dan melemparkannya ke arah Roganiu sembari merayap menuju pintu keluar. Beberapa kali Ia tersandung oleh kakinya sendiri hingga akhirnya ia berhasil mencapai pintu. Saat Ia hendak membuka pintu itu dengan sebelah tangannya, sebuah kursi kayu yang terbakar mendarat tepat di posisi kepalanya tepat saat Ia merunduk.
Pintu yang berada di belakangnya terhantam keras hingga terlepas. Saat Ia melihat ke belakang, terlihat olehnya pintu kayu itu telah dilalap si jago merah yang muncul entah dari mana. Rigur bergidik ngeri. Ia merasakan keberadaan seseorang tepat di belakangnya.
"Aturan penting dalam pertarungan, 'Jangan pernah memalingkan pandanganmu dari lawan'," suara Roganiu menyapu tengkuk Rigur bagai angin dingin di puncak Pegunungan Ranjani.
"Akh!" seru Rigur. Ia merasakan besi dingin tertancap di dagingnya.
Dari punggungnya menyembur darah segar. Rasa sakit tak terkira menjalar dari luka itu seiring dengan dicabutnya belati beracun yang seharusnya berada dalam genggaman Rigur oleh Roga.
"Aturan kedua, 'Jangan biarkan senjatamu direbut oleh lawan'," Roga mencampakkan belati yang ia genggam dan menyepak Rigur hingga tersungkur di depannya.
"Bersyukurlah kau karena membangun pondok buruk ini jauh dari para pekerjamu. Jika tidak, maka mereka semua akan mati menyedihkan sepertimu," Roga melangkah keluar dari pondok yang sudah separuh hancur itu.
"Ugh…" terdengar sebuah erangan dari dalam pondok.
Roga kemudian berbalik sambil tersenyum sinis pada Axen yang perlahan bangun dari pingsannya. Sambil terbatuk-batuk Axen berusaha berdiri. Ia terkejut melihat keadaan di sekelilingnya. Meja dan kursi hancur, pintu pondok yang terlepas terbakar api, serta Rigur yang sedang menggeliat kesakitan di tanah dengan darah melumuri tubuhnya.
"Sepertinya kau sudah bangun dari tidur siangmu, Tooler. Apa kau ingin bergabung denganku dalam pesta yang meriah ini?" sapa Roga sambil membentangkan tangannya pada kekacauan di sekitarnya.
"Kau- kau gila!" seru Axen.
Roga tertawa keras mendengarnya. "Kalau begitu, aku akan membunuhmu seperti aku membunuh teman-teman terorismu yang menyedihkan, Reyner!"
Dalam satu sentakan, Roga menyerang maju dan Axen yang sudah siap menyambutnya. Ia mengambil tombak besinya yang terjatuh. Sebuah tendangan dilancarkan oleh Roga tepat ke sisi tubuh Axen. Ia segera melompat mundur menghindari tendangan Roga.
Axen balas menerjang dan mengayunkan tombaknya ke arah Roga. Sambil bermanuver, berputar dan menerjang, Axen terus-menerus mengayunkan tombak besinya seolah Ia menari dengan gagahnya. Sesekali Ia juga melompat ke samping untuk memperluas gerak serangannya.
"Kau bertindak seperti pahlawan, padahal yang kau lakukan tidak lebih dari sekadar pembunuh!" seru Axen.
Roga yang terus menerima serangan bertubi-tubi dari Axen terdesak mundur. Senyum tipis terukir di wajah sombongnya. "Kau berbicara seolah kau selalu melakukan kebenaran, Reyner. Padahal kau tidak lebih dariku! Kau bahkan menjadi kaki tangan Teroris!"
Tak puas hanya berada dalam posisi bertahan, Roga balas menyerang Axen dengan sebuah pukulan. Pukulan keras yang beradu dengan tombak besi Axen dan menimbulkan bunga api.
(Beladiri jenis apa itu?! Aku tak tahu jika sebuah pukulan dapat menghasilkan Suhu Panas,) batin Axen takjub.
"Jika dunia ini terbagi antara kau dan Teroris, maka lebih baik aku menjadi kaki tangan Teroris! Mereka tidak pernah memintaku untuk membunuh siapa pun! Sementara kau-" teriakan Axen tertahan oleh tendangan api Roga.
Dengan keterkejutan Axen, Roga kembali menyerang dan membalikkan keadaan. Menjadikan Axen dalam posisi bertahan dan tersentak mundur. Pukulan dan serangan api terus diluncurkan pada Axen hingga Ia kembali terpojok ke arah pondok.
"Ugh sial," batin Axen. Curang sekali menyerang dengan pukulan dan tendangan api seperti itu. Ia bahkan membutuhkan bantuan Kristal Mana untuk menciptakan api tanpa kayu.
"Kristal Mana? Tentu saja!"
Sebuah ide terbersit dalam benak Axen. Bagaimana jika Ia menciptakan air dari Kristal Mana dan menggabungkannya dengan senjata miliknya? Air dan api adalah musuh alami, bukan? Ia mungkin bisa mengalahkan Roga dengan cara itu.
Diam-diam Axen mengambil sebuah pecahan Kristal Mana dari sakunya. "Semoga ini berhasil!"
Axen menempelkan pecahan itu pada tombaknya. Dengan merapalkan sebuah mantra, Ia mengalirkan sihirnya pada tombak dan menciptakan gelombang air. Gelombang air itu berpusar melingkari tombaknya.
Sebuah tendangan api diberikan oleh Roga hingga membuatnya tersentak mundur. Sambil mengambil ancang-ancang, Axen semakin mempercepat rapalan mantranya dan memperkuat tombaknya. Dalam satu helaan napas, Axen siap melancarkan serangan terakhirnya.
"Terima ini!"
Sebuah serangan jitu tertuju ke arah Roga. Sasaran ujung tombak Axen berada tepat ke jantungnya. Dengan mengalirkan seluruh kemampuannya, Axen menciptakan tombak air raksasa yang mampu membelah apa saja. Sebuah serangan terakhir yang ia harapkan dapat melumpuhkan lawan yang ada di hadapannya ini.
Roga memantapkan kuda-kudanya juga siap menerima serangan terakhir itu. Dengan seluruh kekuatannya, Ia berputar dan mengirimkan tendangan terakhirnya. Aura nyala api merah melingkupi tubuhnya, mengiringi serangan dahsyat yang langsung beradu dengan pusaran tombak air Axen.
Sebuah kilatan cahaya tercipta dari pertemuan dua kemampuan dengan sifat yang berlawanan itu, disusul oleh sebuah ledakan besar yang menyapu habis daratan tempat mereka bertarung. Menciptakan gemuruh gempa bumi lokal yang menggetarkan seluruh tambang.
Keheningan menyusul setelah ledakan besar itu. Beberapa pekerja tambang yang sedang menggali segera menghentikan kegiatan mereka dan pergi berlindung. Cemas akan adanya gempa susulan. Padahal sesungguhnya getaran yang mereka rasakan bukanlah dari gempa sungguhan melainkan hasil pertarungan antara Roganiu dan Axen Reyner. Bagaimana keadaan mereka sekarang?
Roga yang terpental jauh karena ledakan itu bangkit berdiri sambil membersihkan jubahnya yang tertutup debu. Ia kemudian berjalan kembali ke area pertempuran dan mendapati Axen yang tak sadarkan diri di bawah puing-puing bangunan yang sebelumnya adalah pondok kayu milik Rigur.
Terdengar erangan kesakitan Axen seiring dengan terkumpulnya kembali kesadarannya. Melihat hal itu, Roga mau tak mau tersenyum sinis karena takjub akan kekerasan hati dan kepala pria bermarga Reyner itu. Ia kemudian melepas jubah panjangnya.
"Kau adalah petarung yang hebat, aku akui itu. Temui aku jika kau siap meninggalkan tempat menyedihkan ini," kata Roga sambil melemparkan jubahnya dan menancapkannya tepat di atas kepala Axen. Sebuah kristal tipis berbentuk segi lima menahan jubah itu di sepotong kayu di atas kepalanya.
"Sial.." umpat Axen dalam hati
**********
Bersambung..
*Catatan*
Jika ingin Lihat berbagai Art saya, bisa Follow saya di IG. @fachri_pay55 .... Terimakasih 🙏🙏🙏🇮🇩