Chereads / KEJAWEN : Sebuah Aliran Kepercayaan / Chapter 2 - 1. Perasaan Melawan Kenyataan

Chapter 2 - 1. Perasaan Melawan Kenyataan

DRRRSSSS....DUARRRR!!!

Hujan cukup deras sore itu, tidak ada suara lain yang bisa di dengar, hanya air yang turun mengenai atap dan lampu yang redup.

"Loh, mata gue kenapa ya?" Saut seorang pria yang sedang berapa di rumah itu, sebut saja dia Arif.

Lampu di ruangannya selalu berkedip beberapa kali, bahkan sampai Arif tak bisa membedakan itu lampu yang berkedip atau matanya yang dibutakan.

"Mau mati lampu nih pasti tiba-tiba mati nyala"

"Masa iya sih? Ah gila, lilin gue taro mana ya, ribet nih!" Desah Arif yang mulai ragu.

Arif memang tinggal sendiri di sebuah rumah susun, dia bisa tinggal di sana karna tawaran dari om nya.

Walaupun rumah itu jelek dan sepertinya siap untuk hancur jika tidak hati-hati, tapi Arif tidak punya pilihan lain, dia harus tetap tinggal di sana dan bekerja untuk ibunya yang ada di kampung, karena dia anak terakhir dan ibunya pun memang sedang sakit.

Rumah susun ini tidak banyak penghuni yang tinggal, bahkan bisa di hitung dengan jari. Padahal tempat ini sudah di turunkan harganya semurah mungkin agar dapat di huni, tapi sepertinya minat orang-orang tetap tidak ada untuk tinggal di sini.

Kita bisa panggil saja Om Dafa yang mengurus tempat ini, sekaligus dia adalah salah satu Om dari Arif yang dengan kemurahan hatinya mengizinkan Arif tinggal di sini.

BRAKKKK!!!

"Ya Allah" dengan raut wajah yang kaget dan heran Arif melihat ke arah pintu.

Pintu depan yang seharusnya tertutup rapat tiba-tiba terbuka dengan kencang seperti di banting, Arif yang sedang berbaring di sofa yang menghadap langsung ke pintu sontak berdiri dan langsung menutup pintu itu kembali.

Hujan memang deras di luar, tapi anginnya tidak mungkin dapat melakukan itu.

"Wajar sih, bangunan tua apa-apa pasti rusak, Cih...." desah Arif yang sudah tidak aneh lagi depan tempat tinggalnya

"Ya Allah, pake segala bocor lagi"

"Mana belom ada uang buat benerin" kata Arif yang sedang melihat langit langit kamarnya yang bocor.

"Duh, basah semua, ngerjain gua nih asli!"

"Mau ga mau tidur di ruang tengah lagi, Ah....." Kata Arif yang kesal, hal ini memang sudah terjadi belakangan ini.

Bukan, bukan hujan, bocor ataupun pintu yang terbuka. Tapi sesuatu yang sedang bersamanya.

* * * *

Hujan di luar mulai reda dan memunculkan warna langit sore yang kelam karena sudah menandakan malam akan tiba sebentar lagi.

Adzan magrib pun berkumandang, Arif bersiap siap untuk sholat tetapi hanya di rumah. Karena masjid memang cukup jauh dari tempat tinggalnya, ditambah lagi di luar masih agak hujan dan dia tidak memiliki payung sama sekali.

Arif melaksanakan sholat seperti biasa, selalu khusyuk dan berdoa agar ibunya diberi kesehatan.

Dan, untuk kesekian kalinya Arif tetap takut setelah berdoa lalu berkata "Amin" dan memejamkan mata dengan kedua tangannya.

Dia selalu ada Dihadapannya dan memandanginya. Setiap saat.

Di sudut ruangan yang jarang terjamah cahaya, terlihat dengan jelas mata bulat yang besar dan tatapan kosong menatap langsung ke arah Arif.

"Cuma khayalan tenang, emang lampunya harus di ganti, tempat ini selalu keliatan serem jadinya" kata Arif sambil tertunduk dan mencoba berpikir positif.

* * * *

TIK TOK TIK TOK

Jam menunjukkan waktu pukul 21.19 , Arif yang sedang asik bermain ponsel nya bersiap-siap untuk tidur, karena dia memang harus bekerja besok pagi-pagi sekali.

Dia bekerja di sebuah Restoran Cepat Saji tetapi hanya diberikan Karyawan magang saja oleh pemilik resto tersebut. Walaupun begitu, upahnya lumayan besar dan cukup untuk dia tabung dan membayar pengobatan ibunya.

Malam itu, setelah hujan yang begitu derasnya dan membuat kegaduhan dimana mana, mendadak hening seketika.

Bahkan suara binatang malam entah kenapa tidak dapat Arif dengar malam itu.

"Kalo bukan karna bocor, ga akan gua di tidur di ruang tengah kaya gini" desah Arif yang kesal karena kamarnya harus basah karna hujan deras barusan.

"Tempat ini tuh kecil, tapi kenapa sekarang malah keliatan kaya luas ya"

"Fatamorgana sih ini fix"

"Bodo amat ah, ngantuk gue"

"Daripada nggak ada tempat lagi, ya nggak sih"  kata Arif yang mencoba menenangkan pikirannya sendiri dan mulai berbaring di sofa

"Iya"

Mata Arif yang tadinya terpejam sontak terbuka dengan cepat dan mencoba bangun lalu duduk memperhatikan sekitar. Terdengar suara yang begitu berat menjawab perkataan Arif.

Tempat yang tadinya hening dengan hitungan detik berubah, atmosfir di sekitar terasa lebih dingin.

Arif bergidig merinding mendengar suara barusan, dia hanya duduk dengan wajah sedikit ketakutan, berharap yang barusan terjadi ada penjelasannya.

Arif tidak paham dengan kejadian saat itu, siapa yang berbicara?? Siapa yang menjawab?? Apa ini khalusinasi karna terlalu banyak pikiran belakangan ini.

"Siapa?"

Arif dengan membawa sebuah asbak di tangannya memberanikan diri mencoba berkeliling dan memastikan tidak ada siapa-siapa di rumahnya.

Dia pun mencoba mengecek keluar, barang kali itu tetangganya yang sedang lewat dan tidak sengaja terdengar

Arif berdiri di depan pintu rusunnya sambil melihat sekitar.

"Rif" Kata perempuan dengan paras yang biasa saja muncul entah dari mana dan membawa bungkusan di tangannya.

"Mer" jawab Arif dengan wajah kaget karena tidak biasanya meri seperti ini. Saat ini meri terlihat berbeda, dia hanya berdiri dan tanpa melakukan apa-apa.

"Hai Rif"

"Hai Mer, abis dari mana"

"Ada urusan" jawab Meri tanpa bergerak sedikitpun. Tatapannya begitu lekat menatap Arif, bahkan kali ini dia memberikan senyuman aneh kepada Arif.

"Oke, gue masuk dulu ya mer" kata Arif,

"Sarajadarbe......" tanpa disadari meri tiba-tiba sudah memegangi pundak Arif dan membisikkan sesuatu, sesuatu yang sangat aneh dan tak begitu terdengar jelas.

Cengkeramannya pun begitu kuat, Arif tak bisa bergerak sama sekali, dia terdiam. Meri terus berbisik ditelinga Arif, makin lama terdengar nyaring ditelinga.

"Mer...meri" rintih Arif.

Arif mulai merasa nyeri di dadanya, telinganya terasa penging, sakit yang luar biasa, tapi dia tidak bisa berkutik.

Semakin dipaksa untuk bergerak, meri semakin kuat memegang pundak Arif, samar-samar Arif melihat tangan meri yang tadinya putih dan mulus tiba-tiba berubah hitam, kurus tanpa ada kuku dan hanya darah saja yang ada, cengkeramannya seperti mencoba untuk memisahkan tangan Arif dari badannya.

Pandangan Arif mulai kabur, pikiran mulai kosong bahkan dia tidak dapat menyadari lagi kalau meri sudah pergi dari tempat itu.

Untuk beberapa saat Arif merasa sepertinya keadaan baik-baik saja, dan dia memutuskan untuk tidur kembali mencoba melupakan peristiwa barusan.

* * * *

TRINGGGG

Alarm di ponsel Arif pun berdering, itu menandakan sudah subuh dan Arif harus melaksanakan sholat subuh.

Dan untuk kali ini, Arif tidak akan memejamkan matanya. Setelah dia sholat dia langsung bergegas mandi dan berpakaian rapih lalu sarapan dan akhirnya dia berangkat untuk bekerja.

* * * *

"Rif, shif 1 nih hari ini?" Panggil Om Dafa yang Sudah ada di depan gerbang rusunnya sedari tadi.

"Eh iya Om, tuker jadwal sama teman, ada keperluan soalnya" jawab Arif sambil mencoba menyalakan motornya.

"Lagi apa Om, Tumben pagi-pagi gini udah standby" basa basi Arif

"Ah nggak, cuma keliling-keliling aja"

"Oh oke Om lanjutkan hehe" saut Arif yang ingin segera berhenti bicara dengannya

DRRTTTTTT

Ponsel Om Dafa berdering, sepertinya dia sedang dapat panggilan cukup penting dari seseorang. Terlihat dari raut wajahnya yang seperti memikirkan sesuatu.

"Aduh si meri bikin repot aja" kata Om Dafa yang mulai bercerita tentang kekesalannya

"Siapa Om?" tanya Arif sambil memasang helm dan menaiki motornya

"Si meri, barangnya ada yang ketinggalan, minta di kirim ke Jogja katanya"

"Loh dia udah ga tinggal di sini Om?" Tanya Arif keheranan

"Iya, udah pindah minggu kemarin, Om duluan ya rif, kamu hati-hati bawa motornya" jawab Om Dafa lalu pergi meninggalkan Arif sendirian

Ingatan Arif memang sedikit agak kabur tentang peristiwa tadi semalam, tapi dia yakin itu benar-benar meri yang di bicarakan om Dafa pindah ke Jogja minggu lalu.

Mungkin, kenapa banyak orang pindah dan tidak mau tinggal di rusun itu bukan karena bangunnya sudah tua dan jelek.

Mungkin, ada hal lain yang tidak seharusnya Arif ketahui.

Hanya perasaan Arif saja atau memang ada sesuatu yang sedang mencoba mendatanginya.

Yang pasti ini bukan hanya perasaan saja, tapi benar-benar kenyataan.

"Dia pasti tau kenapa hal ini terjadi.."

"Ya, dia pasti tau..."

"Dia..."

* * * *