Chereads / KEJAWEN : Sebuah Aliran Kepercayaan / Chapter 7 - 6. Kemampuan Yang Tak Diinginkan

Chapter 7 - 6. Kemampuan Yang Tak Diinginkan

****

Arif kembali ke rumah sakit tempat kakaknya di rawat. Dia merasa tidak enak, karena sudah merepotkan Nana semalaman untuk menjaga kakaknya.

"Rif, lo kemana aja, gue hubungin nggak aktif" panggil Nana, dia sudah menunggu Arif dari tadi malam.

"Iya maaf, tadi malem gue la..."

"Kakak lo udah sadar" Nana memotong pembicaraan Arif

Tanpa berpikir panjang dia masuk ke dalam kamar kakaknya, untuk mengecek keadaannya.

"Kak, gimana keadaan lo?" Tanya Arif sangat khawatir

"Kakak lo udah sadar dari tadi, cuma belom ngomong apa-apa" jelas Nana, dia pun sudah mencoba mengajak Gema bicara dan tetap saja tidak ada jawaban apapun.

Arif semakin khawatir, seburuk itu kah hal buruk yang menimpah kakaknya.

"Hmm" Gema akhirnya mengeluarkan suaranya, tapi tak ada kata yang terucap.

"Kenapa kak?"

"Hmm" Gema hanya bergumam tak berkata, tatapan matanya kosong.

"Gue panggilan dokter ya Rif buat ngecek kakak lo" Nana berinisiatif langsung pergi memanggil kan dokter

"Kak lo kenapa bisa kaya gini?" Kekhawatiran Arif bertambah, kakaknya sebelum berbicara dari tadi.

Selalu suara berdeham yang dia keluarkan, seolah ingin berbicara tapi mulutnya tak sanggup bergerak.

Pranggg

Arif mengecek sumber suara itu, seperti sebuah nampan besi jatuh di sana. Mungkin saja itu suster yang sedang berjalan ke sini.

"Sebentar ya kak" ucap Arif lalu pergi keluar

"Hmmm" 

"Nana..." panggil Arif memastikan, pagi hari di rumah sakit memang se sepi ini ya? Dimana pasien yang lainnya?.

Dari kejauhan terlihat seorang berdiri menatap Arif.

"Halo..?" Arif memanggilnya, mungkin saya itu orang yang membutuhkan bantuan

Perlahan dia berjalan ke samping, badannya berjalan tapi kepalanya tetap lurus menatap Arif.

Arif menyipitkan kedua matanya, mencoba fokus melihat siapakah orang itu.

Uhukkk uhukkk

Suara batuk sangat keras terdengar dari kamar Gema. Arif yang hanya menengok sebentar karena suara batuk itu, sekejap orang yang di hadapannya sudah pergi.

"Siapa sih?"

Arif tak memperdulikannya lagi, dia segera pergi untuk menemui kakaknya kembali.

"Kak, kenapa?"

Langkahnya terhenti lorong pintu. Mata Arif terbuka sempurna saat berdiri di depan kamar kakaknya. Dia melihat dengan jelas makhluk itu.

"Hmmmm" Gema menjerit

Sosok yang berdiri tadi di hadapannya sudah berada di sana, makhluk itu sedang menjahit mulut Gema dengan jarum yang panjang.

Tubuh Arif kaku, dia tak dapat bergerak. Dia hanya menyaksikan kakaknya menjerit kesakitan.

"Hmmmm...hmmmm"

Makhluk itu tersenyum ke arah Arif sambil terus menjahit mulut kakaknya, jari dan kukunya sangat panjang, benang yang digunakannya pun sangat tajam.

Dapat di lihat dengan jelas mulut Gema berdarah, bahkan hampir seperti sobek.

Makhluk itu membuat bibir Gema sangat rapat, bahkan tak ada sela sela udara yang dapat masuk.

Jahitannya sangat panjang. Menyambung dari kuping kanan, melewati bibirnya lalu ke kuping kiri.

"Hmmmmm" Gema terus menjerit kesakitan, dia mencoba memberontak, tapi makhluk itu terus menjahit mulutnya.

Perlahan makhluk itu menjalaran jarumnya ke tangan Gema dan menyambungkannya ke pinggangnya.

Kali ini tubuh Gema benar benar terjahit semua, kasur rumah sakit berubah menjadi lautan darah.

"Hmmmmm" Gema tak bisa menahan kesakitannya, sampai meneteskan air mata karna tak tahan.

Kaki Arif lemas tak berdaya, matanya memanas. Ingin sekali dia lari dan menolong kakaknya.

Kepalanya perlahan menunduk, dia melihat kakinya, dia tak sadar bahwa kakinya sudah terpaku di lantai. Sejak kapan saja Arif tak sadar.

Darah di kaki arif mengalir melalui lubang sepatunya. Rasa sakit yang luar biasa pun perlahan ia rasakan. "agrhhhhhhhh"

"Rif" pundak Arif di tepuk seseorang dan menyadarkannya.

"Ngapain lo?" Nana datang tiba-tiba. Dia melihat Arif begitu tegang, bahkan napasnya saja tak beraturan.

Arif tersadarkan, apa yang barusan? Sebuah khayalan?

"Dokternya nanti sebentar lagi dateng, lo kenapa?" Nana mencoba menenangkan Arif dan mengajaknya duduk.

Arif menatap Gema, dia terlihat baik baik saja. Bahkan sepertinya dia sudah kembali tidur.

"Kak Gema nggak apa-apa kan?" Tanya Arif, wajahnya masih dalam raut takut. Napasnya pun tak bisa di kontrol.

"Nggak papa kok, emang dia kenapa?"

Napas berat terdengar jelas, Arif benar benar sedang tak tenang.

"Minum dulu nih ya, tenang dulu, baru lo jelasin" Nana mengambilkan minuman yang ada di dekat meja Gema.

****

Tak lama, dokter datang untuk memeriksa keadaan Gema. Tak banyak yang dia cek, hanya hal kecil yang terlihat tidak penting.

"Katanya kakak kamu bangun dan tidak bicara apa-apa?" Dokter memastikan pernyataan tersebut

"Iya dok"

"Dia masih dalam kondisi trauma, itu efek wajar dari seseorang yang sedang dalam masa trauma." Jelas dokter itu

"kita cukup biarkan dia istirahat yang banyak, dan coba ajak terus dia untuk mengobrol. Karna orang orang terdekatnya menjadi faktor utama kesembuhan dia dari traumanya"

Setelah bicara seperti itu, dokter tersebut pergi untuk mengecek kondisi pasien dia yang lain.

"Tuh lo dengerkan" ucap Nana. "Kita tinggal dulu aja kak Gema buat istirahat, lo juga kayanya butuh istirahat sebentar"

"Gue mau di sini aja Na"

"Rif, jangan maksain keadaan lo"

"Tapi Na.."

"Ayo kita beli makan dulu buat lo, pasti lo belom sarapan kan?" Paksa Nana lalu mengajak Arif keluar dan mencari sarapan

****

Nana tak mengerti, sudah dari tadi Arif hanya memainkan makannya dan tak memakannya sama sekali.

"Gue beli makanan buat di makan rif bukan di mainin" ucap Nana.

"Ah...iya maaf"

Arif baru tersadar dari lamunannya dan segera memakan sarapannya.

"Rif, ada apa?" Panggil Nana dengan sangat lembut

Arif belum mau menjawabnya, dia masih terus diam.

"Rif, lo cerita sama gue ada apa, se enggak ya itu bikin lo sedikit tenang iya kan?

"Tadi...." jawab Arif menggantung

"Kenapa?" Nana semakin penasaran.

"Gue tau lo bakal pikir gue sedikit gila kalo gue cerita ini"

"Rif, gue baru aja dapet email dari HRD perusahaan fiktif, itu lebih gila asal lo tau"

Arif menatap bingung Nana kali ini, dia memang sedikit aneh. Padahal yang sedang dapat masalah Arif.

"tadi gua liat penyebab kakak gue na" jelas Arif

"Penyebab apa?"

"Semuanya"

Ini sudah sangat aneh, bahkan Nana sekalipun tidak mengerti dengan semua keadaan ini.

"Ada apa sih rif sebenernya"

"Ada makhluk yang membuat kakak gue menjadi diam seperti itu na"

Kedua alis Nana terangkat, benar-benar tidak masuk akal. Dalam hatinya

"Lo bisa tau darimana?"

"Gue liat dia tadi na, makhluk itu menjahit mulut Kak Gema sampai dia nggak bisa bicara"

"Nggak mungkin" Nana menolak pernyataan itu begitu saja

"Gua baru aja liat na!" Emosi Arif memuncak, dia bertingkah hampir seperti orang stress.

"Harusnya lo bisa tau kan dari buku itu, kalo semua ini akan terjadi nantinya? Kenapa harus se takut ini?" Tatapan tajam Nana membuat Arif diam seketika.

Dia benar, seharusnya Arif terus memperhatikan buku itu. Yang sudah jelas akan memberitahu apa yang akan terjadi. Semacam kutukan kah?

"Dimana bukunya sekarang?" Tanya Nana

"Ada di tas gue"

"Sini, kita liat"

Arif mengambil buku tersebut, tangan dia sangat lemas. Kejadian barusan membuat dia tak bersemangat sama sekali.

"Berhenti" ucap Arif saat membuka buku itu

"Apa?" Nana pun dibuat bingung dengan pernyataannya.

"Gambar itu berhenti setelah kejadian tadi malam" jelas Arif

"Tadi malam?"

"Iya, tadi malam gue diteror makhluk dengan tengkorak, dia itu perwujudan jahat dari bang Joe"

"Bang Joe?" Nana semakin dibuat bingung

"Bang Joe punya kemampuan seperti gue dan kak Gema, hanya saja dia di kontrol makhluk lain"

"Dan di buku ini, gambarnya cuma sampai kejadian tadi malam, tapi kejadian tadi nggak ada sama sekali" lanjut Arif bercerita

Mulut Nana terbuka, dia tak menyangka keadaan akan serumit ini.

"Jadi yang barusan lo alamin apa?" Tanya Nana, dia pun tak mengerti.

"Bakat?" Dalam hatinya Arif bertanya. Dia teringat perkataan Wardi kepadanya. Mungkin dia harus mencari tau lebih dalam tentang keluarganya.

"Oh...gue sedikit ngerti rif" ucap Nana sedikit penepuk nepuk tangan Arif.

"Apa Na?"

"Lo bilang kan, buku ini ngegambarin situasi yang akan terjadi"

"Iya, terus kenapa?"

"Situasi yang terjadi Rif, lo nggak paham?" Kukuh Nana, dia sangat semangat sekarang.

"Nggak ngerti gue Na"

Nana mengembuskan napasnya, geram dengan kebodohan sahabatnya ini.

"Yang barusan lo liat itu, bukan hal yang terjadi dan berdampak ke depan, lo juga bilang cuma lo yang liat, dan ternyata kak Gema baik-baik aja"

"Ya, terus?" Arif mengangguk pelan dan masih belum mengerti.

"Itu artinya, yang ada di buku ini adalah kenyataan, dan yang lo alami barusan bukan kenyataan yang sebenarnya Rif"

"Itu mungkin aja sih na" Arif mulai paham dengan yang Nana maksud.

"Dan lo inget bang Joe pernah bilang gambar yang ke berapa?" Lanjut Nana.

"Iya?"

"Mungkin aja, semua itu udah selesai Rif, dan bukunya udah nggak berguna lagi"

Ega berpikir keras saat itu, beberapa hal yang Nana ucapkan masuk akal. Tapi tentang buku dan kenyataan yang terjadi sedikit mengganjal bagi Arif.

Tapi setidaknya, Arif tau harus melakukan apa setelah ini.

"Kayanya kita harus ke rumah kak Gema, na" ajak Arif

"Buat apa? Kak gema gimana?"

"Cuma sebentar, gua rasa, yang gua alami sekarang itu bakat turun menurun"

"Bakat? Maksudnya?" Seperti orang linglung, Nana hanya mengulang perkataan Arif.

"Iya, kata lo, lo nemu buku kaya gini di rumah Kak Gema kan?" ucap Arif. "Itu artinya masih banyak lagi buku di sana yang bisa jelasin kondisi gue sekarang"

Nana mengangguk mengerti, kalau ini bisa membuat Arif sedikit lebih tenang, lebih baik dia menurutinya.

"Oke, ayo kita ke rumah kak gema, tapi siapa yang jagain kak gema di rumah sakit?" Tanya Nana

"Gue bisa titip ke suster yang jaga, kita nggak akan pergi lama kok"

"Yaudah, gue ambil barang dulu di kamar kak Gema"

"Gue tunggu di parkiran ya"

"Hmmm" Nana langsung pergi meninggalkan Arif dan pergi mengambil beberapa barangnya.

****

"WShhhhh...Shhhh"

Seperti suara orang sedang berbisik, Nana mendengarnya sangat jelas. Suara itu dari kamar kak Gema

Langkah Nana terhenti, bola matanya bergetar melihatnya. Detak jantungnya berdetak begitu kencang

"Kak Gema...."

****