Chapter 8 - 7. Jejak

****

"Kak gema..."

Tubuh Nana seketika lemas mendapati Gema sudah berdiri di atas kasurnya. Dia seperti sedang berbicara dengan seseorang.

"Kak, ngapain di sana?"

Nana memberanikan dirinya untuk mendekati Gema, melihat lebih dekat apa yang sedang ia lakukan.

"Dia.... seharusnya.....saya, ..... ambil ..... tinggalkan ..... saya" Gema bicara tak jelas di atas sana.

"Kak gema"

Nana berusaha terus memanggilnya agar Gema sadar, tapi hal lain yang Nana temukan sangat mengejutkan.

Untuk sesaat Gema tak bergerak dan berhenti melakukan apapun yang sedang ia lakukan saat itu.

"Kak gema udah sembuh?" Tanya Nana hati-hati sembari berjalan mendekatinya.

Gema sadar akan kehadiran Nana, dia membalikan badannya dan mengahadap ke Nana. Wajah Gema menjadi lebih pucat dari sebelumnya, bola matanya menghitam, seperti tak ada apa apa di dalamnya. Kosong.

"Hmmm" Nana berusaha untuk tak teriak, dia menahan mulutnya dengan tangan dan sangat terkejut dengan apa yang ia lihat.

Mata Nana mulai memanas, dia sangat terkejut sekarang melihat Gema tanpa bola mata di wajahnya.

Lalu tiba-tiba Gema tersadarkan, matanya kembali muncul entah dari mana. Dia melirik ke arah Nana yang mematung dan terus memegangi mulutnya.

"Nana..." lirih Gema lemas.

Bola mata Gema memutar ke atas, hanya bagian putih yang dapat terlihat. tubuhnya kembali melemas dan tak sanggup berdiri. Lalu.

Brakkk

"Ahhhhhh" teriak Nana.

Gema jatuh di antara kasur dan besi tirai pembatas, tubuhnya tergeletak tak berdaya di lantai dan tak bergerak sama sekali.

Nana yang masih terkejut melihat kondisi Gema berlari dari ruangan tersebut dan segera memanggil dokter.

"DOKTERRR!!!"

****

Arif yang masih menunggu Nana mendapatkan telpon dari Nana.

"Halo Na, Lama banget sih ada apa?" Ucap Arif yang menerima telpon dari Nana.

"Kak Gema Rif..." suara serak Nana terdengar.

"Kak Gema? Kenapa?"

Arif segera mematikan telponnya dan langsung berlari menuju kamar rawat kakaknya.

****

Sesampainya di sana, Arif sudah mendapati Banyak suster dan dokter di ruangan tersebut. Nana yang berdiri di dekat pintu masih terlihat syok, bahkan beberapa kali dia memegangi kepalanya yang pusing.

"Nana" panggil Arif yang baru saja datang.

"Astaga Arif" Nana langsung memeluk Arif erat, dia sangat terkejut dan takut saat itu.

"Na, tenang ya" Arif mencoba menenangkan Nana, dia mengelus elus pelan punggung sahabatnya itu.

Nana melepaskan pelukannya dari Arif, dia masih terlihat sulit mengatur napasnya, kepalanya pun sangat berat saat itu. Ia juga tak sanggup lagi untuk menahan tangisnya.

"Na, tenang, sekarang ceritain Kak Gema kenapa?" Tanya Arif pelan.

"Ada apa sih ini semua Rif? Gue bingung" lirih Nana lemas.

"Ada apa Na?"

"Tadi gue liat kak Gema bangun, dia berdiri" jelas Nana, dia akhirnya mulai bercerita.

Arif terkejut juga saat mendengarnya, seperti sebuah keajaiban Gema akhirnya bangun.

"Terus kenapa Na?"

"Dia kaya bicara sama orang Rif, dia berdiri di atas kasurnya, dia bicara hal yang nggak jelas"

"Kak Gema bisa bicara? Dia ngomong apa Na?" Kaget Arif.

"Dia.... seharusnya.....saya, ..... ambil ..... tinggalkan ..... saya" ungkap Nana.

Arif tak mengerti yang diucapkan Nana maupun Gema. Sangat tak jelas maksudnya.

"Gue nggak ngerti maksudnya dia, terus tiba-tiba wajah dia berubah pucat, matanya hitam, matanya hilang, tubuhnya jadi kaku, dan gue nggak bisa apa-apa..."

"Sstttt" tahan Arif, Nana mulai ketakutan kembali saat bercerita. Wajahnya pun menunjukan raut ketakutan yang mendalam, keringat dingin dimana mana.

"Sekarang lo percaya kan semua yang gue sering ceritain ke lo selama ini" ucap Arif.

Nana hanya mengangguk pelan, dia sekarang merasakan yang Arif rasakan selama ini. Sangat menyiksa. Tapi kenapa?

"Keluarga Dari Gema?" Tanya dokter yang sudah selesai memeriksa Gema.

"Saya dok" sahut Arif.

Dokter itu sempat menghela napasnya baru berbicara. "Dia terjatuh dari atas kasurnya, saya nggak tau kenapa itu bisa terjadi, tapi karena itu juga Gema terkena geger otak, mungkin dia akan tak sadarkan diri untuk beberapa hari"

"Apa separah itu dok?"

"Kita berharap sih tidak, di lihat dari lukanya tak begitu serius tapi dia masih tak sadarkan diri, ini kondisi medis yang langka terjadi" jelas dokter tersebut

Setelah menjelaskan itu semua, dokter beserta suster yang ada di ruangan tersebut segera pergi meninggalkan Gema.

Arif tak perlu penjelasan apa-apa lagi, ini semua memang sudah jelas bukan kondisi medis lagi. Dia sangat tau apa yang terjadi dengan kakaknya.

"Masih mau ke rumah Kak Gema?" Tanya Arif melirik ke Nana.

"Kalo itu bisa selesaiin semua hal yang nggak masuk akal ini, kita harusnya cepet cepet ke sana"

"Ayo, gue bilang suster dulu buat minta jagain kak Gema selama kita pergi"

"Iya"

Arif dan Nana akhirnya sepakat untuk tetap pergi ke rumah Gema meski baru saja terjadi sesuatu pada Gema. Sudah mulai aneh dalam satu hari terjadi banyak hal seperti ini. Sudah seharusnya di hentikan.

****

Hari masih sangat terang, bahkan cuaca terlihat terik di luar. Mereka pun sampai di rumah Gema saat itu.

"Rumah kak Gema nggak di kunci?" Tanya Nana.

"Iya, udah beberapa hari"

"Nggak ada maling kah?"

"Kayanya bukan itu yang harus kita khawatirin" ucap Arif menatap Nana.

"Lo bener" Nana menatap balik Arif. Mereka saling memberikan tatapan ragu untuk masuk.

"Ayo masuk" ajak Arif.

"Oke"

Dengan langkah lemas, mereka mengumpulkan tekad untuk masuk ke rumah itu dan mulai mencari informasi.

****

Mereka masuk ke dalam rumah Gema, sangat gelap dan kotor karena sudah tak dibersihkan beberapa hari ini.

"Dimana lo dapetin bukunya?" Tanya Arif.

"Ada di rubanah, ayo"

"Lo duluan aja, gue mau ke kamar kak Gema dulu"

"Tapi Rif" Nana masih syok, dia juga sedikit ketakutan.

"Cuma sebentar, ada yang harus gue pastiin dulu"

"Oke, gue tunggu di bawah"

"Iya, kalo ada apa-apa teriak aja"

"Jangan ngomong gitu!" Nana memukul pelan tangan Arif. Dia malah semakin takut jika di peringati seperti itu.

"Yaudah, yuk"

Mereka segera pergi untuk mencari informasi apapun itu, Nana pergi sendiri ke rubanah sedangkan Arif pergi ke kamar Gema untuk memastikan hal yang dia khawatirkan akhir akhir ini.

****

Arif sampai di depan pintu kamar Gema, dia membukannya pelan. Entah kenapa selalu ada suara berdecit di pintu itu bak di film film.

Arif segera masuk dan melihat lihat kondisi kamar tersebut. Sangat berantakan, dan tak pernah dibersihkan sepertinya oleh Gema.

"Jorok banget lo kak, pantes aja didatengin"

Tapi sudah jelas bukan itu yang sebenarnya terjadi pada Gema, Arif dapat merasakan hal lain di ruangan tersebut.

Arif mengambil buku itu kembali, melihat isinya dan memastikan sesuatu di dalam sana. Ia membuka halaman tentang makhluk yang berada di dalam ruangan dengan seseorang.

"Tunggu...masa iya?"

Arif menyamakan gambar dibuku itu dengan kondisi kamar Gema. Hampir semuanya persis sesuai gambar.

"Ini terlalu mirip"

Pikirannya saat itu sangat bercampur, masih bingung dengan yang terjadi.

"Kak Gema juga dapat gambaran dari buku ini? Kenapa?"

Matanya terus menerus memperhatikan setiap gambar yang ada di buku itu, banyak sekali halaman yang sebelum teror dia itu tergambar.

"Sebanyak ini? Apa iya dia sudah melewati sebanyak ini dan nggak ngasih tau gue?"

Setiap gambar yang ada dibuku itu membuat Arif tak percaya, bahkan kondisinya lebih menyeramkan dibanding yang Arif alami selama ini.

Arif melirik ke sebuah tulisan yang ada di dekat lemari Gema, seperti sebuah surat tapi tak begitu jelas Arif lihat.

Dia berjalan mendekati kertas itu untuk mengambilnya, dan mungkin saja itu sebuah informasi lainnya yang bisa ia dapatkan. Sampai tiba-tiba

"ARIF!!!!" Nana berteriak sangat keras. Membuat Arif terkejut mendengarnya.

Tanpa pikir panjang, Arif bergegas lari turun menuju rubanah dan memastikan Nana baik baik saja di sana.

****

Mungkin itu adalah rekor lari Arif yang tercepat, dia sampai ke rubanah hanya dalam waktu beberapa detik untuk menghampiri Nana.

"Nana, lo nggak apa-apa?" Tanya Arif khawatir sambil mengatur napasnya yang sesak.

"Gue nggak apa-apa" bingung Nana sambil memegang sebuah album foto di tangannya.

"Tadi lo teriak, makanya gue ke sini"

"Gue? Nggak"

"Gue denger jelas banget"

"Arif, di sini tuh udah serem, lo nggak usah nambah Nambahin lagi" ucap Nana serius.

"Ta...tapi"

"Lo liat ini deh" Nana menunjukan sebuah foto yang ada di sana.

Arif sebenarnya masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi, tapi semua itu hilang seketika saat ia melihat foto yang ditunjukkan Nana.

"Oh ya, itu gue sama kak Gema waktu kecil" ucap Arif melihat fotonya.

"Kalian mirip" sahut Nana yang terus memperhatikan.

Arif tersenyum kecil mendengarnya "iya, bahkan teman teman bapak dulu sampe sering salah sebut nama kita karna saking miripnya"

"Masa sih?" Sahut Nana tak percaya.

"Iya" Arif mengangguk pelan.

"Semua yang ada di album ini foto lo sama keluarga lo Rif?"

"Mungkin"

"Banyak banget tau Rif"

"Gue pikir foto ini udah ilang" tunjuk Arif ke salah satu foto di album tersebut.

Nana mencabut foto itu dari album foto untuk melihatnya lebih jelas. Ia sangat memperhatikan setiap orang yang ada di foto itu karna gambarnya sudah sedikit buram.

"Ini lo sama kak Gema, terus mereka siapa?" Tanya Nana.

"Yang di samping gue dan Kak Gema itu ibu sama bapak gue, kita lagi ada acara kumpul bareng temen temen bapak" jelas Arif.

"Ini jadul banget ya, semuanya masih pake baju adat"

"Oh bukan, itu memang tradisi dari perkumpulannya bapak, mereka wajib pake baju adat, gue dulu sering di ajak"

"Seru ya, waktu itu umur lo berapa?"

"Umur gue masih 5 tahun, dan kak Gema usianya 8 tahun"

"Ini acara apa sih Rif, aneh banget mereka nggak ada ekspresi sama sekali di foto" Tanya Nana yang masih penasaran.

Arif sendiri juga mulai tak ingat jelas perkumpulan apa itu, usia dia masih sangat kecil, tak banyak juga yang dapat ia ingat di usia itu.

"Gue lupa, yang jelas bapak sering banget bareng mereka, tapi semenjak itu bapak sering jarang pulang, dan waktu usia gue 7 tahun, bapak meninggal" jelas Arif.

Nana merasa tak enak karena dirinya yang terus banyak tanya, dia jadi menggali luka dalam Arif kembali.

"Maaf ya Rif" ucap Nana.

"Nggak apa-apa, lo kan nanya, gue harus jawab"

Ucapan Arif sangat membuat Nana kagum, dia masih bisa tegar meski dalam keadaan seperti ini.

Nana kembali melihat lihat foto di album itu, matanya kini tertarik pada sebuah gambar di sana. Yang menurutnya cukup menarik.

"Rif Rif, lo liat ini deh" tunjuk Nana ke sebuah foto.

"Oh iya ini teman teman bapak"

"Bukan..." bantah Nana.

"Terus?"

"Maksud gue liat yang pegang salah satu teman bapak lo" jelas Nana kembali.

"Yang mana?" Arif masih belum melihatnya dengan benar.

"Ini loh yang ada di paling pojok kiri" Nana menunjuk seseorang yang berdiri paling ujung di barisan foto itu.

"Tunggu...itu kan?" Bingung Arif.

"Iya, itu buku yang sama"

"Jadi ini bukan bukunya Kak Gema?"

"Mungkin"

Mereka terus memperhatikan gambar itu dan buku yang mereka miliki. Sama persis seperti di gambar.

"Kenapa buku ini bisa ada di orang itu ya?" Tanya Arif yang penasaran.

"Kayanya Dia pemegang buku itu sebelum Kak Gema"

"Buat apa ya?"

"Rif sebentar, gue mau tanya lagi, lo beneran nggak inget apa-apa tentang teman teman bapak lo?" Tanya Nana sekali lagi memastikan.

"Nggak inget, semuanya samar samar"

"Rif, gue rasa..."

Dab Dab Dab

Sebuah langkah kaki terdengar di langit langit rubanah. Arif dan Nana serempak melirik ke atas dan memastikan.

"Suara apa itu?" Bingung Arif.

"Rif, ada orang lain di rumah ini?" Nana mulai sedikit ketakutan.

"Nggak mungkin, cuma ada kita berdua, pintu juga gue kunci dari dalam pake slot" jelas Arif.

Mereka saling menatap sekarang, Nana semakin ketakutan saat ini. Dan Arif terus mengambil napas dalam agar jantungnya tak berdebar hebat.

"Mungkin kucing" ucap Arif dan Nana serempak.

Dab Dab Dab

Sekali lagi suara itu terdengar, dan semakin keras.

"Kucing kalo jalan nggak pernah berisik Rif" ucap Nana, dia bahkan mengepalkan tangannya karena takut.

"Ayo ke atas" ajak Arif. Meski jantung dia berdebat hebat, ia memberanikan dirinya untuk mengecek sumber suara itu.

Kemungkinan terburuk, mereka akan bertemu dengan perampok. Tapi itu semua hanya kemungkinan.

****

Arif mengintip kecil dari balik pintu rubanah, tak terlihat ada siapa siapa. Nana berdiri di belakang Arif, tubuhnya mulai lemas karena ketakutan.

"Tunggu, gue cek dulu" ucap Arif lalu keluar dengan hati-hati.

"Iya"

Nana masih diam di rubanah, beberapa kali dia pun mengintip dan memastikan keadaan sekitar. Tapi jika diam terlalu lama di sana sendirian, membuat Nana semakin ketakutan. Jadi dia memutuskan untuk ikut keluar.

"Rif" panggil Nana pelan.

"Di dapur Na, sini" jawab Arif .

Dengan cepat Nana menghampiri Arif yang sedang ada di dapur. Ia melihat Arif sedang berjongkok di dekat lemari pendingin, memegangi lantai.

"Ada apa Rif?" Tanya Nana.

"Liat ini Na, ada jejak kaki" ucap Arif meraba jejak itu.

"Apaan itu?" Bingung Nana.

"Jejak seseorang, dia mungkin mau sesuatu"

"Sesuatu?"

"Iya" Arif membalikan tubuhnya dan menatap Nana, dia sangat kebingungan saat itu.

Nana yang melihatnya ikut kebingungan dengan yang ditemukan Arif. Dan lebih membingungkan lagi saat Nana mendengar sesuatu yang lain.

"Na, ternyata lo bener, tadi cuma kucing, dia ngejatuhin banyak banget bola punya kakak gue" ucap Arif yang baru saja datang di belakang Nana.

"Arif" Nana langsung menengok melihat Arif. Dia sangat terkejut saat ini.

"Kenapa lo?"

Nana tak bisa menjawab apa apa, dia hanya terus menerus mengambil napasnya yang sesak. Dadanya seperti tertekan benda berat. Jika Arif baru saja datang, lalu yang bicara dengan Nana apa?

****