Chapter 12 - 11. Nyata

****

"Rif, gue rasa bapak lo selama ini lagi coba berkomunikasi sama lo deh" pikir Nana.

"Kenapa gitu?" Bingung Arif.

"Gini loh, lo itu terlahir dari keluarga yang spesial. Nggak semua orang punya kemampuan kaya lo, dan sekarang lo di tempatin pada suatu kondisi yang membingungkan" jelas Nana panjang lebar.

"Maksud lo apa sih Na? Gua nggak ngerti deh"

"Rif lo nggak sadar? Yang baru aja ngomong sama lo itu bapak lo, dan dia udah ngasih petunjuk supaya lo nggak bingung lagi" kukuh Nana menjelaskan.

Arif sendiri masih tidak begitu yakin, banyak hal yang tidak bisa Arif bedakan mana nyata dan hanya kilasan.

"Kalo itu bapak, kenapa dia nggak langsung ngomong aja? Kenapa harus di tunjukin sama makhluk aneh kaya gitu?" Bingung Arif.

"Gue nggak tau, tapi mungkin buat ngasih kode ke lo aja dari alam astral, bisa aja bapak lo harus ngelewatin makhluk itu juga?"

"Lo bener juga, gua cuma harus ngomong sama bapak gue lagi kan? Supaya masalah ini cepet selesai"

"Kayanya nggak semudah itu Rif" lirih Nana.

Arif dan Nana kembali diam, mereka saling sibuk dengan pikirannya. Arif pun menjadi semakin dilema tentang keluarganya.

"Waktu istirahat gue selesai, lo juga harus ke rumah sakit kan?" Tanya Nana.

"Iya, kalo gitu gue pulang dulu ya Na"

"Iya, gua juga mau balik ke resto"

Saat itu, Arif dan Nana kembali ke aktivitas masing masing. Walaupun dengan pikiran yang penuh dengan banyak pertanyaan.

****

Kutukan yang sebenarnya mungkin terjadi pada restoran tempat Nana bekerja saat ini. Jika tadi pagi sudah sangat sepi, pasti malam pun sangat sepi.

Dan benar saja, padahal masih 1 jam lagi restoran baru bisa tutup, tapi karena terlalu sepi, Nana dan kedua temannya berencana bersiap siap untuk segera tutup.

"Bara!" Teriak Nana dari dalam dapur.

"Buset Na, gua nggak budeg" sahut Bara yang ada di meja kasir.

"Tutup aja yuk, sepi banget gua mau pulang"

"Yaudah, beres beres aja lo, ini juga gua lagi ngitung omset hari ini"

"Bener ya? Gua mau matiin semuanya nih, biar nggak usah masak lagi"

"Iya, gua juga mau ngitung duit, ribet nih gara gara lo di dapur jadi gua yang kasir" kesal Bara karena dia harus bergantian posisi.

"Hehe. Jarang jarang bar, eh kasih tau yudis juga buat beres beres" perintah Nana.

"Nggak usah di suruh Na, lo liat aja tuh kursi udah di naikin" tunjuk Bara ke meja yang hampir seluruhnya di bereskan.

"Kesurupan setan apa tuh anak, Tumben rajin" kagum Nana.

"GUE DENGER KALI!" Seru Yudis mendengar namanya di bicarakan.

"Yaudah Na beres beres sono, kalo butuh bantuan teriak aja" suruh Bara.

"Tenang, gue gerak cepet biar nggak kemalaman pulangnya"

"Cakep!" Bara memberikan jempolnya ke wajah Nana, ia paham apa yang akan Nana lakukan.

Nana mulai membereskan alat masaknya, serta membersihkan segalanya dengan sangat cepat di dapur. Tips ini ia pelajari dari Arif saat ingin tutup, asal terlihat bersih maka itu artinya sudah bersih.

Prangggg!!!

Beberapa panci dan Teflon berjatuhan dari rak. Membuat kegaduhan dan Nana kaget mendengarnya.

"Yudis!!! Kalo mau ngambil pel itu pelan pelan" geram Nana yang menyangka itu Yudis.

Tapi saat Nana berbalik, tidak ada siapa siapa di sana. Dan kain pel pun ternyata ada di dekat Nana, tidak ada di dekat barang yang berjatuhan tadi.

"Yudis" panggil Nana mencari keberadaan temannya itu.

Nana melangkah maju perlahan, memastikan bahwa itu semua hanya kejahilan temannya itu.

"Yudis!" ulang Nana sedikit kencang.

Langkah Nana terhenti saat melihat sesosok pria tinggi berdiri di ambang pintu dapur. Pria itu menatap lurus ke Nana, wajahnya tidak bisa Nana lihat dengan jelas karena cahaya lampu yang tidak menyorot ke arahnya.

"Siapa ya?" Tanya Nana ke pria itu.

Kening Nana semakin mengerut ketika dari balik tubuh pria itu berjalan sosok anak kecil lalu menggandeng tangan pria tersebut.

"Maaf Pak, ini bukan pintu keluar" ucap Nana memberitahu jika orang itu salah jalan.

Dab! Dab! Dab!

Dengan cepat anak kecil tersebut lari ke arah Nana, Nana pun di buat bingung dengan tingkahnya.

"Eh de, jangan lari larian di dapur" peringat Nana dan mengikuti arah pergi anak itu yang melintas ke belakangnya.

Ketika Nana membalikan wajahnya, ia terkejut. Ternyata pria tadi sudah berdiri tegak di hadapannya.

Mata Nana tidak bisa berkedip saat itu juga, wajah pria tersebut penuh dengan luka dan borok dimana mana. Membuat banyak lubang di wajahnya, terlihat tidak rata dan banyak darah keluar dari lubang tersebut.

Nana mencoba menahan mulutnya untuk tidak berteriak, ia sangat ketakutan. Pria tersebut hanya berdiri terus di hadapannya. Tidak bergerak sama sekali, napas panasnya dapat Nana rasakan berhembus tepat di depan wajah Nana.

Nana mencoba memejamkan matanya, ia masih dapat merasakan hawa panas dari pria tersebut. Detak jantungnya terus berpacu sangat cepat karena rasa takut sudah menjalar keseluruh tubuh Nana.

Tangan Nana pun terasa seperti ada yang menggenggamnya, begitu erat seperti akan lepas dari tubuhnya. Rasanya sangat kasar, entah siapa mereka!

Drrttttt

Ponsel Nana langsung berbunyi, membuat kebisingan dalam ruangan tersebut. Spontan, Nana membuka matanya lalu menyadari bahwa ruangan sudah sepi kembali dan hanya ada dirinya seorang.

Lantas, Nana segera mengecek ponselnya dan melihat siapa yang baru saja menyelamatkan dirinya dari makhluk aneh menyeramkan barusan.

Ternyata itu Arif yang menelponnya. Tanpa pikir panjang, Nana langsung menjawabnya.

"Arif, ma...makasih banget lo udah nelpon gue" ucap Nana terbata bata.

"Makasih kenapa sih Na? Belom juga cerita gue" sahut Arif

"Pokoknya ta..tadi ada..."

"Kak Gema udah sadar lagi Na" potong Arif tak membiarkan Nana melanjutkan bicaranya.

"Serius? Terus gimana keadaannya?" Kaget sekaligus senang Nana mendengarnya.

"Sama kaya terakhir kalinya Na, tapi gue seneng aja akhirnya kak Gema bisa sadar"

"Yaudah, gue ke sana ya Rif, ini udah selesai kok gue"

"Iya Na, gue tunggu ya"

"Oke, see you"

Nana lalu mematikan panggilannya, ia masih terus mengatur napasnya yang tidak terkontrol. Dadanya terasa sesak untuk sesaat.

"Na, lo kenapa?" Itu Yudis, ia baru saja datang menghampiri Nana.

Nana tak langsung menjawabnya, ia melepas epron miliknya dan mengambil tas di loker karyawan.

Lalu saat ingin pergi, Nana berbisik sesaat di telinga Yudis.

"Gua duluan ya, titip resto, hati-hati banyak anak anak suka lari larian sampai dapur"

Setelah berbisik, Nana melanjutkan langkahnya untuk segera menuju rumah sakit.

Mendengar bisikan Nana barusan, Yudis hanya mematung dengan sekujur tubuh merinding, di tambah lagi hari sudah menunjukan pukul 10 malam. Momen yang sangat pas untuk ketakutan.

"Bar! Gue duluan ya, gue nitip, masih ada pelanggan di dalem"

Bara diam tak berdaya, tak tersenyum sama sekali.

****

Arif terus memandangi kakaknya yang sudah sadar, ia melihat dari sorotan matanya kalau Gema seperti sangat kelelahan. Sudah hampir satu minggu ia koma, wajar saja keadaannya begitu lemas.

Arif memegang tangan Gema, mengelusnya pelan agar Gema menyadari keberadaan Arif di sana.

"Kak Gema" panggil Arif pelan.

Gema menengok ke arah Arif, tatapannya begitu kosong, geraknya pun sangat lemas.

"Kenapa kak?"

Kali ini Gema menatap Arif tidak dengan tatapan kosong, justru banyak genangan air di matanya seperti akan menangis.

"Kak, ada apa?" Bingung Arif. "Istirahat aja ya"

Gema terus saja menatap Arif dengan tatapan sendu. Entah apa maksudnya Arif pun tidak mengerti, kakaknya itu masih belum bicara sama sekali semenjak ia sadarkan diri.

Arif menarik selimut dan menyelimuti kakaknya untuk segera istirahat. "Istirahat aja ya kak" pinta Arif.

Gema menuruti perintah Arif, meski sulit untuk bisa tidur lagi karena ia baru saja bangun dari tidur yang panjang.

Tak lama kemudian, Nana datang dengan masih memakai seragam kerjanya. Ia pun sedikit terburu, karena napasnya yang sulit ia atur.

"Rif" panggil Nana ketika masuk menemui Arif dan Gema.

"Na, tutup lebih awal ya?" Tanya Arif basa-basi.

"Iya, sepi banget, bener kata lo"

"Itu baru yang namanya kutukan perusahaan"

"Nggak ada otak lo sumpah" ucap Nana sedikit tertawa kecil.

Nana lalu berjalan menghampiri Gema, ia ingin mengetahui kondisi Gema secara langsung.

"Hai kak, gimana keadaannya?" Tanya Nana ke Gema.

Masih belum ada jawaban sama sekali dari Gema, pria itu hanya diam dan memperhatikan Nana saja.

"Dia masih belum bisa ngomong Na, sama kaya terakhir kali dia sadar" jawab Arif.

"Terus kata dokter gimana?" Raut Khawatir Nana tunjukan.

"Dokter juga masih belum bisa vonis apa-apa, mereka pikir ini cuma sekedar trauma atau efek karna baru aja bangun dari koma yang panjang"

"Tapi itu nggak mungkin kan?"

"Iya, gue rasa juga gitu"

Nana merasa iba dengan kondisi Gema sekaligus kasihan melihat Arif yang terus dibuat bingung harus apa.

"Na, bentar ya, gue mau telpon ibu gue dulu ngasih kabar Kak Gema udah sadar" pinta Arif ke Nana.

"Iya santai, gue temenin Kak Gema dulu"

Arif pergi keluar sebentar untuk menelpon ibunya, meninggalkan Nana dan Gema hanya berdua di ruangan tersebut.

Nana duduk di dekat Gema, ia mencoba untuk mengajak bicara Gema seperti kebiasaannya. Banyak omong.

"Kak Gema" panggil Nana pelan.

Gema menoleh ke arah Nana, ia menatap lekat Nana dan seperti sedang mendengarkan ucapan Nana.

"Kak, tau nggak? Arif itu khawatir banget sama Kak Gema karna sakit kaya gini" Nana mulai bercerita.

"Pas tau kakak di rawat aja, dia langsung tuh lari ke sini buat ngecek Kak Gema"

"Dia takut banget kayanya kehilangan Kakak satu satunya dia"

"Cepet sembuh ya kak, kasihan Arif"

Gema terus memperhatikan Nana bicara, seolah mengerti setiap kata yang Nana ucapkan kepadanya.

Ketika sedang fokus memperhatikan Nana bicara, beberapa kali Nana melihat mata Gema melirik ke arah belakang Nana seperti sedang memperhatikan sesuatu.

Nana curiga dengan tatapan itu, Nana pun segera menengok dan mengecek apa yang sedang Gema lihat sejak tadi.

"Ada apa sih kak?" Bingung Nana karna mata Gema secara bergantian melirik Nana dan sesuatu di belakang Nana.

Mata Gema membulat sempurna saat melihat ke belakang Nana, mulutnya seperti ini bicara tapi tidak bisa bergerak.

Nana menengok kembali ke belakang, melihat apa yang membuat Gema sampai melotot seperti itu. Bahkan napasnya pun tidak beraturan.

"Kenapa kak?" Nana semakin bingung.

Jari telunjuk Gema ia arahkan ke sesuatu, tingkah Gema benar benar membuat Nana bingung sekaligus takut.

Untuk ketiga kalinya Nana menengok untuk memastikan, kali ini Nana melihat sesuatu di sana. Sosok perempuan kurus yang melayang dekat tembok.

Banyak tetasan darah mengalir dari kakinya, membasahi lantai putih rumah sakit yang dengan cepat berubah menjadi merah.

Sosok perempuan itu seperti membawa sebuah jarum besar di jarinya, benang yang panjang menjuntai pun terlihat jelas di sana.

Nana tak sanggup lebih lama lagi memperhatikan sosok itu, ia langsung memalingkan wajahnya kembali ke depan lalu menunduk. Berharap yang baru saja ia lihat hilang begitu saja.

"Na, lo kenapa?" Tanya Arif yang sudah kembali.

Nana menengok ke arah Arif, napasnya masih sulit ia atur, detak jantungnya pun berdebar begitu cepat.

"Abis ngapain lo sampe keringetan gitu?" Bingung Arif.

Nana menengok ke arah Gema, ternyata Gema sudah tertidur lelap saat itu juga. Entah sejak kapan ia tertidur Nana pun tidak sadar.

"Na, lo nggak apa-apa?" Tanya Arif lagi.

"Ngobrol di luar yuk Rif" ajak Nana.

Arif hanya mengangguk saja menuruti Nana, mereka pun berjalan keluar ruangan untuk bicara.

****

"Dulu, lo pernah liat Kak gema kenapa?" Tanya Nana tak mau basa-basi.

"Bukan waktu yang tepat ngomongin itu sekarang Na" tolak Arif untuk tak bercerita.

"Kenapa?"

"Gue cuma cape aja, sekarang yang penting buat gue kak Gema udah sadar"

"Pasti karna seseorang ada yang jahit mulutnya kan?"

Degh! Arif kaget karena Nana berani membicarakan hal itu.

"Na, udah.." lirih Arif lemas.

"Rif, gue baru aja liat makhluk itu, entah kenapa gue juga jadi sering di dateng in sama mereka" ucap Nana menggebu gebu.

Arif menghela napasnya pelan. "Saat lo sadar mereka ada, itu artinya mereka selalu sama lo Na"

****