Chereads / Be My Bride / Chapter 26 - Titik Awal 3

Chapter 26 - Titik Awal 3

Langkah kaki menapak ke atas bebatuan yang telah melapuk, dedaunan kering berserakan di mana-mana dan beberapa ranting-ranting jatuh di atas tanah.

Malam semakin larut dan angin dingin tidak pernah berhenti berhembus, sesekali suara gemerisik dari pepohonan membuat suasana menjadi semakin mencekam.

Tempat ini tidak pernah sekali pun dilewati oleh manusia, tempat yang hampir tidak pernah terjamah dan tidak ada satu pun yang berkeinginan ke sini. Jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kehidupan kota yang melelahkan.

Seharusnya ini bisa menjadi tempat yang indah, tapi nyatanya tidak.

Dalam kegelapan, sepasang mata berwarna emas menyala, Aodan telah berusaha melupakan rasa lapar, ketika tanpa sadar kakinya melangkah ke tempat ini, ia melihat bangunan terbengkalai yang berdiri di antara dua buah pepohonan yang rimbun.

Tempat ini adalah tempat ia dan Luna pertama kalinya bertemu.

Aodan tidak tahu mengapa, tapi ia merasa ia harus ke tempat ini.

Laki-laki itu mendorong pintu besar yang setengah terbuka, mendongak ke atas. Bekas pecahan atap kaca masih terlihat dengan jelas akibat dirinya yang jatuh, belum lagi beberapa kursi yang patah bergelimpangan di lantai.

Aodan melirik bawah, ada tiga lilin yang setengah patah tersusun di lantai, ia berjongkok dan meraihnya.

Ini bukan lilin biasa, ada tulisan yang rumit dan jelas ini adalah ulah seseorang yang disebut manusia.

"Darimana wanita bodoh itu mendapatkan hal seperti ini?"

Aodan mematahkan lilin yang masih utuh menjadi dua dan meremasnya.

Ia tidak memiliki satu petunjuk pun tentang dirinya, ia hanya merasa terbiasa menggunakan kekuatannya dan wujud kadalnya … ia ... sepertinya sangat terbiasa dengan itu.

Bukan, ia bukan kadal. Seharusnya ia adalah naga!

Aodan mendengkus dengan jijik membayangkan tubuh kecilnya yang dilempar sesuka hati oleh Luna, kemudian beralih ke depan, mimbar yang kosong itu sudah setengah hancur dan di bawahnya ada buku-buku usang yang tulisannya hampir tidak terbaca lagi.

Aodan memejamkan matanya, ia masih tidak bisa menggunakan seluruh kekuatannya, ada sesuatu yang terasa amat menyakitkan di dadanya.

Itu artinya ia juga masih harus menggunakan wujud kadal beberapa saat lagi sampai rasa sakit di dadanya menghilang.

"Sudah kuduga kau akan kemari," ucap seseorang tiba-tiba. Aodan langsung membuka matanya dan berdiri. "Apa kabarmu, Aodan?"

"Siapa kau?"

Siluet seseorang terlihat di ambang pintu, tidak ada cahaya yang bersinar di malam yang gelap ini, sehingga wajahnya tidak terlihat dengan jelas. Aodan yang notabenenya memiliki penglihatan paling jelas pun tidak bisa melihat seperti apa wajahnya.

Aodan menatapnya dengan waspada.

"Kau tidak mengingatku? Ah, kau tidak mengingat suaraku?" tanyanya lagi dengan suara serak.

Suara itu adalah suara laki-laki dewasa.

"Aku memiliki masalah, jadi aku sepertinya tidak mengingatmu." Aodan menahan napasnya, entah kenapa begitu orang yang ada di ambang pintu itu mendekat, ia merasakan perasaan yang akrab.

"Baguslah kalau kau tidak ingat aku," katanya dengan helaan napas lega. "Kau pasti sangat kebingungan sekarang, kan?"

BRAK!

Kursi dan meja yang tadinya masih tergeltak terlempar ke arah orang di ambang pintu, Aodan bergerak dengan cepat dan mengangkat tangannya.

Orang itu tersentak, ia segera melompat menghindar dan Aodan sepertinya tidak memberinya sedikit pun waktu untuk menghindar, ia terpental ke dinding bersama dengan kursi yang melayang ke arahnya.

Benturan keras tidak dapat dihindari, sepasang sayap muncul menghalangi tindakan Aodan, terbentang lebar dan melesat menyerang.

"Kau juga naga ternyata." Aodan menggertakkan giginya, sayang sekali saat ini ia tidak bisa menggunakan kekuatannya.

Orang itu berdiri dengan napas yang menderu, kakinya terlihat menapak ke lantai dengan kuat, tangannya dilengkapi dengan cakar dan sayap yang besar membentang di punggungnya.

"Kau masih tidak mengingatku?" tanya orang itu lagi, kali ini suaranya jauh lebih serak.

Sepasang sayap itu adalah sayap yang keras dan dilapisi dengan duri yang tajam, Aodan menyipitkan matanya dan bangkit.

"Untuk apa aku mengingat orang sepertimu?" Aodan mencibir, ia menerjang bersamaan dengan bangku-bangku yang beterbangan mengikutinya, suara berdentum yang amat keras terdengar hingga dinding bata retak hingga kaca yang masih utuh di jendela pecah.

Orang itu sepertinya tidak merasakan sakit sama sekali, begitu terhempas ke dinding, ia mengibaskan sayapnya yang keras menghantam Aodan.

BRAK!

Aodan terbanting ke lantai dan tidak bergerak selama beberapa saat, rasa sakit yang ia rasakan di dadanya semakin menguat, ia terbatuk dengan parah.

"Nah, lukamu bahkan belum pulih. Sudah berani mencoba menyerangku, apa kau selama ini hanya pura-pura menjadi orang bodoh?"

Orang itu mendarat dengan pelan ke atas reruntuhan kursi yang telah patah, suara sayapnya yang saling bergesekan itu terdengar, seperti suara sepasang besi yang saling digesekkan.

"Aku memang tidak mengingat apa pun tentang diriku," ucap Aodan sambil berdiri, darah menetes dari mulutnya dan rasa sakit di dadanya semakin tidak tertahankan. "Tapi sepertinya aku bisa menebaknya."

"Ho … apa itu, Aodan?"

"Aku sangat membencimu."

Orang itu terdiam selama beberapa saat, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Barulah Aodan bisa melihat dengan jelas wajah yang selama ini tersembunyi dalam kegelapan disertai dengan sepasang mata berwarna hijau seperti batu amethyst bersinar.

"Kau benar, kita memang ditakdirkan untuk saling membenci. Jangan khawatir, aku juga sangat membencimu, Aodan."

Sayap di punggungnya menghilang dan detik berikutnya ia muncul di hadapan Aodan. "Ingat wajahku baik-baik, karena saat kau pulih nanti … kita akan bertemu lagi."

Ini adalah provokasi permusuhan!

Aodan mengerutkan keningnya, begitu ia ingin membalas ucapannya, Aodan merasakan sesuatu menghantam dadanya dengan sangat keras dan lagi-lagi ia terbanting ke lantai dengan suara berdebam, bangunan terbengkalai yang ada di tengah hutan itu terlihat bergetar.

"Kau … lihat saja nanti … aku akan membalasmu!" Aodan membuka mulutnya dengan susah payah dan memuntahkan darah segar tanpa bisa ia kendalikan.

Orang itu tidak membalas ucapan Aodan, melainkan melambaikan tangannya dan berjalan keluar dengan santai.

Aodan dipenuhi dengan rasa marah, tapi di sisi lain ia juga harus menahan rasa sakit yang menjadi-jadi di dadanya, terasa panas membakar dan benar-benar tidak nyaman. Dalam hitungan detik, ia kembali menjadi seekor kadal hitam yang meringkuk di lantai, terlihat menyedihkan dengan ekornya yang bergerak-gerak dengan kaku.

Malam telah berlalu dan Aodan tidak bisa menggerakkan tubuhnya, ia benar-benar akan terperangkap di tempat ini selama beberapa saat, lukanya semakin parah.

Mata emas itu perlahan-lahan menutup dan sinar matahari menerobos melalui celah-celah bangunan terbengkalai, udara dingin yang menusuk perlahan-lahan tergantikan dengan perasaan hangat yang menenangkan.

Kadal hitam itu hanya bisa berharap semoga tidak ada sesuatu yang terjadi pada Luna dan semoga saja wanita itu tidak merayakan kepergian dirinya.