Chereads / Sabine / Chapter 10 - Perpisahan

Chapter 10 - Perpisahan

Sungguh lancar jalan hidup Niko. Tidak lama wisuda, lamaran pekerjaannya diterima di sebuah perusahaan keuangan yang cukup terkenal di kawasan elit Serpong. Tak lama berselang, keluarga Evi dengan senang hati menerima lamarannya. Sudah terbayang-bayang di benaknya babak hidup baru yang akan dia jalani bersama sang belahan jiwa, Evi.

Niko sangat bahagia. Apalagi sekarang Sabine yang semakin hari semakin mandiri berkat bimbingannya. Gadis yang sebentar lagi akan menyelesaikan Sekolah Dasarnya itu kini juga sudah pandai berteman. Ada beberapa teman yang sudah dia ajak main ke rumahnya. Sabine sudah mulai bersosialisasi. Ini juga berkat bimbingan Niko. Jadi, Niko bisa meninggalkan Sabine dengan perasaan lega.

Hampir tiap saat Niko memberi nasehat-nasehat kepada Sabine agar selalu menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Tampaknya Sabine mendengarkannya.

Hingga malam pernikahan Niko pun tiba.

Sabine sedih. Dia menangis sesenggukan di kamarnya. Memikirkan Niko yang dalam hitungan jam akan pergi dari rumahnya.

Dan sore itu, Niko tampak berusaha memberi pengertian ke Sabine yang sedih.

"Sabine. Om ngerti perasaan kamu. Kamu berat pisah dari Om. Om juga sebenarnya berat pisah dari kamu. Tapi kan Om sudah harus menikah. Usia Om sudah 25, sudah punya kerjaan tetap, Tante Evi juga sama dengan Om. Nanti kalo kamu kuliah kayak Tante Evi, kamu akan menemui seorang pria yang lebih pantas jalan sama kamu. Yah..., yang seumuran. Misal kamu 23, dia 24 atau 25. Biar bisa saling mengerti,"

Sabine menelan ludahnya. Ditatapnya wajah Niko dengan perasaan kacau. Dia takut sekali membayangkan malam-malam berikutnya tidak akan ada lagi Niko di sisinya. Tidak ada yang membacakannya buku cerita.

Tiba-tiba matanya terasa sangat panas. Sabine sudah tidak sanggup lagi menahan tangis.

Niko lalu memeluknya.

"Sabine. Ini bukan berarti kita pisah. Terus nggak ketemu lagi. Kita masih bisa ketemu, jalan-jalan kayak dulu. Kamu nggak musti sedih, Sayang,"

Sabine menggigit bibirnya.

"Aku takut nggak ketemu laki-laki kayak Om Niko. Yang ngerti aku,"

"Yah..., jangan takut. Itu cuma perasaan kamu saja. Awal-awal pasti berat. Tapi lama-lama kamu akan terbiasa. Oke? Om sayang kamu,"

Niko mengusap kepala Sabine.

"Kamu pasti ketemu dengan laki-laki yang pantas, yang baik, karena kamu gadis baik. Ok? Jaga diri ya? Besok jangan lupa datang sama Mbak Erni, juga Mama Carmen. Dandan yang cantik kayak dulu pas kamu hadir di wisuda Om,"

Sabine mengangguk. Perasaannya berangsur tenang. Apalagi Niko mengecup kepalanya berulang-ulang dan memeluknya erat.

Sabine terus memandang wajah Niko di tengah tangisnya. Ingin sekali bibirnya dikecup seperti yang pernah Niko lakukan sebelumnya. Tapi Sabine tidak kuasa untuk meminta, karena dia sangat tahu, Niko tidak akan mau memenuhinya. Daripada dia akan merasa kecewa karena permintaannya ditolak nanti, lebih baik dia urung memohon. Sabine hanya mampu menahan diri saja.

"Udah. Jangan nangis ya?," bujuk Niko sambil mengusap air mata Sabine yang terus mengalir di pipi mulusnya.

"Iya, Om," desah Sabine.

_____

Sungguh sendu malam itu bagi diri Sabine. Bukan karena pernikahan Niko dengan Evi. Bukan. Tapi Sabine sedih karena Niko tidak akan lagi mendampinginya belajar. Tidak akan lagi membacakannya cerita di tiap-tiap malam menjelang tidur. Tidak akan lagi menemaninya makan di dapur. Lebih menyedihkan lagi baginya, membayangkan kamar Niko yang sebentar lagi akan kosong.

Sabine terus menerus menangis di malam menjelang pernikahan Niko dan Evi. Dia sangat sedih akan berpisah dari Niko.

Tidak seperti gadis-gadis lain yang memiliki ayah dan menganggap ayah mereka adalah cinta pertama mereka. Bagi Sabine, Niko adalah cinta pertamanya. Niko adalah lelaki pertama yang sangat dekat dengannya. Lelaki pertama yang menyentuh tubuh dan jiwanya. Lelaki pertama yang memahami perasaan dan keinginannya. Niko adalah segala-galanya bagi hidup Sabine.

Karena Nikolah yang selama ini merawat dan mengurusnya. Niko adalah lelaki yang dia kenal yang tulus menyayanginya. Tidak ada laki-laki yang lain. Dan cinta pertamanya itu kini harus pergi, menikah dengan perempuan yang dia cinta. Cinta pertamanya tidak lagi akan kembali, karena harus mengurus perempuan lain.

Sabine terisak sendiri di kamarnya. Dia tidak tahu kepada siapa dia harus mengadu. Perasaan ini tidak mampu dia tanggung. Terlalu berat buat gadis seusianya. Sabine hanya mampu merintih. Dia bingung. Dia malu. Dia tidak tahu harus bagaimana.

"Om Nikooo...," desahnya lirih sambil mengusap air mata yang tidak kunjung berhenti mengalir deras malam itu.

Sabine memeluk boneka lolnya erat-erat. Menangis sejadi-jadinya. Sepuas-puasnya. Berharap ini malam terakhir dia tumpahkan seluruh perasannnya. Berharap esok dia tidak menangis lagi. Berharap kuat melihat cinta pertamanya bersanding esok hari.

***

Dan Sabine memang gadis kuat. Dia tetap cantik saat menghadiri pernikahan Niko dan Evi.

Bu Carmen memaklumi jika Sabine sedih. Wajar, Sabine sangat dekat dengan Niko. Tapi mengenai perasaan yang tidak biasa Sabine terhadap Niko, hanya akan menjadi rahasia antara Sabine dan Niko. Sabine cukup menyadari bahwa dirinya memang terlalu muda untuk memiliki perasaan cinta terhadap lelaki yang jauh lebih tua dari usianya. Dia pun memutuskan untuk menyimpan rahasia cinta dan kecupan pertamanya dari Niko rapat-rapat di hatinya.

Sabine mantap menghadiri pernikahan Niko. Dan Niko senang melihat gadis itu tersenyum saat menyalaminya di pelaminan. Sabine pun dipeluk Evi erat.

"You're still sad, but I know you're a strong girl," ujar Evi saat memeluk Sabine.

Sebelum mengucapkan ijab kabul tadi, Evi sempat menanyakan Niko tentang perasaan Sabine. Niko pun mengungkapkan bahwa Sabine sangat sedih. Evi memakluminya, karena hubungan keduanya memang sangat dekat.

"Iya, Tante. Tapi aku sudah besar sekarang," jawab Sabine penuh senyum. Dia tidak lupa menunjukkan senyum manisnya ke Niko.

Sabine pun berlalu dari pelaminan.

Entah kenapa perasaan Niko lagi-lagi sangat kacau saat melihat punggung kecil itu melangkah jauh dari tempatnya berdiri. Apalagi ternyata Sabine langsung mengajak Erni dan Bu Carmen pulang.

Berulang kali dia usir perasaan aneh yang menyusup dirinya. Tidak tahu kenapa tiba-tiba dia merasa ingin mendekap gadis kecil itu lagi.

Niko memejamkan matanya sejenak dan mengambil napas dalam-dalam, mengatur perasaan yang sungguh tidak dia harapkan singgah di saat pernikahannya.

***

Dan tentu saja malam pertama dilalui Niko dengan perasaan gundah. Bayang-bayang wajah Sabine selalu menari-nari di benaknya. Tapi dia tetap menunjukkan wajah penuh senyum ke Evi, istrinya.

_________

Sudah seminggu Evi dan Niko menghabiskan bulan madu mereka di pulau Bintan. Wajah keduanya sangat cerah selama berada di sana. Apalagi Evi, dia senang sekali dimanja Niko. Niko tidak pernah bosan melayani keinginan Evi. Hingga Evi benar-benar larut dalam perasaan cinta yang sangat dalam terhadap diri Niko. Niko adalah lelaki sejati, sekaligus cinta sejati bagi diri Evi.

Namun, malam terakhir di pulau Bintan, Niko menghabiskan malamnya dengan duduk-duduk di balkon kamar hotel yang dia sewa sambil merokok. Cukup lama dia menghabiskan waktu termenung sambil melepas pandangannya ke arah laut.

Tentu saja ini mengundang reaksi aneh dari istrinya.

Evi pun menghampirinya.

"Kenapa, Nik?," tanyanya hati-hati.

Niko sedikit kaget. Lalu dimatikannya rokoknya.

"Nggak papa. Tiba-tiba ingat Sabine," tanggap Niko sambil mendudukkan tubuh Evi di pangkuannya. Kemudian Niko memeluk tubuh Evi dan mengecup-ngecup pipi Evi penuh rasa sayang.

"Kok?,"

"Ya..., ingat anak itu aja,"

"Sepertinya wajar sih Sabine sedih pas kamu berhenti mengurusnya. Dia juga sayang banget sama kamu. Dia kehilangan sosok ayah dari kecil. Lalu ketemu kamu yang mengurus hidupnya. Yang menyayanginya. Pasti Sabine sedih banget. Aku bisa ngebayangin, juga merasakannya. Sepi, sendiri, di rumah yang besar. Jadi ikut sedih ingat Sabine...,"

Niko tersenyum. "Mungkin awal-awal sedih. Ntar lama-lama juga hilang sedihnya. Aku yakin Sabine sudah senang sekarang. Temannya sudah ada beberapa yang dia ajak main ke rumah. Dia nggak akan kesepian lagi, Vi,"

Niko mengecup bibir Evi bertubi-tubi.

"Aku yakin dia baik-baik saja. Aku sudah membimbingnya. Hanya sekarang, nggak tau tiba-tiba teringat dia saja. Kangen sama celoteh dan manjanya dia...,"

Evi tergelak. Sabine memang sangat menggemaskan. Cukup sering dia bertemu dengan gadis itu, khususnya di awal-awal bulan saat menerima gaji. Sabine senang diajaknya jalan-jalan.

"Ntar kalo punya anak perempuan. Aku pinginnya kayak dia, cantik, pintar, penurut,"

Niko menjawil hidung Evi dan menggigit-gigit kecil.

***