"Kalo kamu keberatan dengan deskripsi pekerjaan yang saya tawarkan untuk mengurus Sabine, kamu boleh mundur hari ini juga. Saya bisa cari pengganti kamu," ujar Bu Carmen lugas.
Pagi itu, setelah mengantar Sabine ke sekolah, Niko menemui Bu Carmen. Dia mempertanyakan perihal deskripsi pekerjaan yang menurutnya sedikit berlebihan. Tapi jawaban Bu Carmen di luar dugaannya.
Niko terdiam. Dia sudah terlanjur 'sayang' ke diri Sabine. Apalagi sejak mendengar kisah hidup Sabine yang sebenarnya dari Erni. Terbayang lelaki asing lain yang akan mengambil alih kerjanya, mengurus Sabine, 'menyentuh' Sabine. Apa mungkin lelaki lain itu akan lebih baik dari dia, akan lebih siap dari dirinya. Atau mungkin malah lebih parah dan Sabine akan mengalami nasib bur….
"Ok. Saya terima pekerjaaan ini, Bu. Saya jaga Sabine," ujar Niko akhirnya. Dia juga tidak ingin kehilangan pekerjaan yang baru saja dia jalani beberapa hari ini. Lagipula gajinya sangat besar baginya.
***
Café seberang kampus Niko ramai di pagi menjelang siang. Niko dan dua temannya, Bira dan Roy, asyik bercakap-cakap sambil merokok.
"Jadi kerjaan lo sedetail itu, bro?," tanya Bira. Salah satu sahabat dekat Niko.
Niko mengangguk sambil menjentik-jentikkan rokoknya, lalu menghisapnya dalam-dalam. Sepertinya dia sedang menceritakan pekerjaan barunya ke dua temannya.
"Iya..., ck...," decak Niko. Dia kembali mengingat apa yang dia lakukan di tiap-tiap harinya mengurus Sabine.
"Haha..., jangan sampe lo jadi pedopil," sela Roy diiringi tawa keras. Bira pun ikut tertawa. Dan Niko hanya mencibir, sedikit mengutuk nasibnya.
"Gile. Cantik amat anaknya. Blasteran ya?,"
Bira dan Roy melihat foto Sabine yang ada di layar ponsel Niko yang tergeletak di atas meja.
"Iya. Jawa Perancis,"
"Makanya..., lo cepet selesain kuliah. Cari kerja yang lebih baik. Kayak kita-kita, meski gaji nggak segede gaji lo, tapi kerjaan bikin tenang dengan berbagai jaminan. Nggak mungkin lama-lama lo kerja beginian. Tuh anak ntar dah gede, lain cerita..., lo bisa naik peringkat jadi gigolo...,"
Kepala Bira ditoyor Roy.
Bira dan Roy sudah bekerja. Bira bekerja di sebuah perusahaan keuangan di kawasan Bintaro, dan Roy bekerja sebagai manajer hotel di daerah Kuningan. Wajar mereka mendapatkan pekerjaan, karena kuliah mereka sudah selesai dua tahun lalu. Sementara Niko masih bersusah payah menyelesaikan kuliahnya yang terhambat oleh masalah keuangan.
"Ya..., makin gede anaknya, job description diubah kali, Birrr," timpal Roy membela Niko. "Gaji gede lagi, Birrr..., tujuh belassss," lanjutnya.
"Ahh, ogah, tiap malam nahan muncrat. Bisa pusing gue, muntah-muntah... atas bawah,"
Niko senyum-senyum saja melihat tingkah dua sahabatnya. Untung saja dia memutuskan meneruskan pekerjaan menjaga Sabine. Terbayang di benaknya, Sabine diurus pemuda lain yang belum tentu bisa menahan diri seperti dirinya. Sabine memang gadis kecil yang cantik luar biasa.
"Menurut gue, lo atur waktu berapa lama lo bakal kerja begituan," usul Roy.
"Iya sih...,"
"Evi tau?,"
"Ya nggaklah..., bisa-bisa nggak jadi kawin gue tahun depan. Yah..., lumayan buat bayar SPP sama modal kawin..., ya nggak?,"
"Yaiyalah..., setahun aja kalo lo hemat, ratusan juta di tangan. Cukuplah..., udah waktunya nikah, Bro. dah lama juga kalian pacaran,"
"Lo lo kapan? Jomblo melulu," tanya Niko.
"Ya..., gimana ya. Niat pacaran aja nggak. Apalagi niat kawin. Haha,"
"Bira nih, niatan mau jadi Sugar Daddy katanya,"
"Bacot lo, Roy,"
"La lo bilang ke gue saban hari..., lo mau nyontoh Akhyar, bos lo. Gonta ganti Sugar Baby. Ahayyy,"
Niko geleng-geleng melihat tingkah dua sahabatnya.
***
Hari-hari Niko kini berubah seiring waktu. Dia sudah terbiasa dengan pekerjaannya. Tidak terasa sudah dua kali gaji dia terima. Niko bertambah semangat bekerja. Apalagi mengingat sang kekasih yang kian hari selalu mengingatkannya tentang impian hidup bersama selama-lamanya. Mereka berencana mengakhiri hubungan mereka dengan pernikahan tahun depan.
"Om, kapan mau jalan-jalan sama Tante Evi?," tanya Sabine yang saat itu sedang belajar di kamar Niko.
"Ntar. Kita atur waktu. Kan Tante Evi sibuk kerja," jawab Niko.
Malam itu Niko merasa lebih lelah dari biasanya.
"Om kayaknya capek banget...,"
"Iya, Sabine. Ntar nggak usah baca buku sebelum tidur bisa ya?,"
Sabine cemberut. Dia memang sangat manja. Sejak Ika berhenti, Erni yang menggantikan kerjaan Ika menjelang Niko datang. Erni yang pendidikannya hanya sebatas SD hanya bisa memandikan dan mempersiapkan baju, juga menemani Sabine makan. Tentu berbeda ketika Niko hadir, Sabine merasa Niko paket lengkap. Bisa memenuhi semua kebutuhan sehari-harinya. Apalagi, sikap Niko yang sangat jauh berbeda dibanding Ika. Sangat hangat dan tidak pernah membantah, membuat Sabine sangat merasa nyaman di sisi Niko.
Niko melihat wajah Sabine yang berubah murung.
"Oke deh. Om baca buku. Tapi jangan bedtime stories yang panjang ya?,"
Sabine mengangguk tersenyum.
***
Evi takjub melihat penampakan asli Sabine. Sangat cantik. Dipeluknya Sabine erat.
"Akhirnya kita ketemu juga ya, Sabine," pekiknya sambil mencium-cium pipi Sabine.
Sabine senang hari itu dipertemukan Niko dengan Evi. Selama ini dirinya dan Evi hanya berhubungan lewat videocall.
Minggu itu mereka bertiga bersenang-senang menyusuri sebuah mall mewah.
Niko senang melihat Evi yang selalu memegang tangan Sabine ke mana-mana. Apalagi saat dilihatnya wajah Sabine yang tidak henti-henti menunjukkan kebahagiaan. Sabine memang jarang sekali bersenang-senang di luar rumah. Meski Mama Carmen baik, tapi tetap saja dia jarang menghabiskan waktu bersama Sabine. Mereka jarang bersama. Semua di rumah itu sibuk masing-masing.
______
"Kasihan ya, Niko. Dia senang banget kita ajak jalan tadi. Apalagi pas antri di bioskop. Senyumnya itu loh, bikin aku terenyuh. Kayak nggak pernah diajak ke luar," ujar Evi ke Niko yang sedang menyetir menuju rumahnya. Tampak tubuh Sabine terbaring di kursi bagian belakang mobil. Dia tidur nyenyak sekali.
"Iya..., kamu bayangin aja. Mama kandungnya aja kayak nggak acuh gitu. Nggak pernah hubungi dia sejak tinggal bareng sama Bu Carmen. Mana Bu Carmen juga sibuk sekali. Jarang-jarang ketemuan. Dia taunya kebutuhan Sabine cukup secara materi. Nggak begitu peduli apa Sabine hepi atau nggak..., apalagi papanya..., ah aneh-aneh hidup ini,"
"Padahal anaknya cantik banget ya, Niko. Duh. Kalo disia-siain gitu, biar dia ikut kita aja kalo kita menikah nanti,"
"Nggak segampang itu, Sayang. Kamu ada-ada aja,"
Selama di mall, Evi memanjakan Sabine. Apa yang diinginkan Sabine, Evi belikan. Cerita-cerita Niko tentang anak itu membuat Evi simpati. Meskipun Sabine dari keluarga berkecukupan, tapi sisi sedih dari hidupnya sungguh menyentuh. Wajar saja Sabine membutuhkan pendamping di rumah, dan memang butuh perhatian khusus.
————
Mobil yang dikendarai Niko kini sudah berhenti tepat di depan pagar rumah Evi.
"Hm..., dia masih nyenyak banget. Pengen nyium," ujar Evi saat melihat Sabine yang masih tidur.
"Cium aku aja...," sela Niko.
Evi tertawa manja, lalu dibiarkannya Niko mencium keningnya.
"Sampai nanti, Niko. Ntar kalo dah nyampe, telpon aku,"
Niko mengangguk.
***