Sabine yang manja kerap marah-marah sendiri jika ada hal yang tidak berkenan di hatinya. Seperti pagi ini, dia kehilangan pena kesukaannya. Dia ngomel-ngomel sambil sesekali menggerutu manja ke Niko yang juga ikutan khawatir.
"Emang kamu letak di mana habis pake?" tanya Niko yang sedang berada di bawah kolong tempat tidur Sabine.
"Lupa, Om" jawab Sabine. Wajahnya cemas.
Niko mengeluarkan tubuhnya dari kolong tempat tidur, karena dia tidak menemukan pena yang dimaksud Sabine.
"Ya, pake pena lain aja," usulnya.
"Nggak mauuu..., nggak mau sekolaaah," rengek Sabine.
"Sabine. Nggak boleh gitu, Sayang,"
Dengan sabar Niko kembali mencari-cari pena yang dimaksud Sabine. Lumayan menyita waktu hanya untuk mencari pena kesayangan Sabine. Niko hampir kehilangan kesabaran karena dia juga punya janji dengan dosen pembimbingnya di pagi itu.
"Dapat, Om. Ini...," seru Sabine senang. Ternyata benda itu terselip di antara tumpukan buku-buku dongengnya.
Fiuuuh. Niko terduduk di sisi tempat tidur Sabine. Perasaannya langsung lega. Saking leganya, diburunya Sabine dan digendongnya tubuh Sabine sambil meraih tas sekolah, berlari menuju mobil yang sudah dipersiapkan untuk mengantar Sabine.
Erni yang sedang membersihkan dapur menoleh ke arah Niko yang buru-buru. Sempat keheranan melihat gelagat Niko. Tapi setelah mendengar teriakan dan tawa manja Sabine yang digendong Niko, Erni tersenyum simpul. Pasti buru-buru lagi, pikirnya.
Ternyata kejadian ini pernah terjadi sebelumnya. Sabine juga pernah lupa dengan jepit rambut kesayangannya. Hampir tidak pergi ke sekolah waktu itu. Tapi Niko yang menemukannya di atas meja wastafel kamar mandi.
Kedekatan Niko dan Sabine sangat membahagiakan Bu Carmen. Dia akhirnya bisa menjalankan kegiatannya dengan tenang. Dulu, ketika masih dijaga Ika, dia kerap menghubungi Erni, menanyakan keadaan Sabine. Jawaban Erni sih emang baik-baik saja si Sabinenya, tapi nada bicaranya seperti kurang meyakinkan. Beda dibandingkan sekarang, Sabine sangat sumringah jika sedang dijaga Niko. Anak itu selalu senang. Apalagi sejak sering diajak Niko ke luar dengan pacarnya, Evi. Kadang ke Mall, arena bermain, bioskop, kolam renang. Hubungan Niko dan Sabine seperti tidak bisa terpisahkan.
_______
Sabine tidak begitu bergairah mengikuti les balet Selasa sore ini. Entah kenapa dia tidak semangat mendengarkan instruksi dari Bu Besti, guru baletnya. Beberapa kali dia ditegur oleh gurunya karena kerap tidak kosentrasi mengikuti latihan. Padahal Sabine ditunjuk sebagai salah satu anggota inti di event internasional yang akan diadakan di Bogor minggu depan.
"Mas Niko. Hari ini Sabine kurang semangat latihannya. Coba Mas tanya kenapa?" Bu Besti mengeluhkan sikap Sabine selama mengikuti latihan balet ke Niko yang sedang menunggu Sabine yang masih berada di kamar ganti.
"Oke, Bu Besti. Nanti saya tanyakan," balas Niko dengan wajah serius.
_______
"Aku lagi males aja. Bete," ungkap Sabine ketika Niko bertanya tentang sikapnya di les balet.
"Bete boleh, Sayang. Tapi jangan sampe merepotkan Bu Besti. Dia harus kerja keras membimbing kamu. Minggu depan lo tampilnya,"
"Males banget, Om,"
"Ayo cerita. Kamu punya masalah apa? Sekolah? Temen? Mama? Atau Om?,"
Sabine menghempaskan tubuhnya di atas kasurnya. Tak lama dia terisak.
"Aku iri liat kakak-kakak di Melbourne. Kayaknya senang banget mereka di sana. Aku juga pengen ke sana, Om. Mau ngomong sama Papa nggak berani...,"
Niko menghela napas. Sabine sebelumnya pernah bercerita ingin ikut papanya yang kini berada di Melbourne.
"Lain kali kamu nggak usah lagi liat-liat blog mereka. Bikin kamu bete,"
Sabine menyeka air matanya.
"Ntar kalo kamu ke Melbourne. Om Niko sama siapa di sini?" tanya Niko dengan nada membujuk. Dia lalu menggenggam tangan mungil Sabine.
Sabine menatap wajah melas Niko. Dia tersenyum.
"Nah gitu dong. Nggak usah iri. Kamu tau kakak-kakakmu nggak suka sama kamu. Kamu yang bilang. Kalo kamu ke sana, bukannya malah lebih bete kan? Mending di sini. Ada Om, Mbak Erni, Mama Carmen, sama Tante Evi. Kita bisa senang-senang tiap Minggu. Ntar minta jajan lagi sama Tante Evi. Dia punya banyak duit."
Sabine tertawa kecil. Evi memang kerap menraktirnya.
"Yuk. Mandi," ajak Niko sambil menggelitik perut Sabine. Sabine menjerit tertawa.
Dan sore itu, terdengar suara riuh rendah Niko dan Sabine dari dalam kamar mandi. Suara nyaring Sabine yang riang membuat Erni ikut berlenggak lenggok di dapur. Dia pun jadi semangat mempersiapkan makan malam buat Niko dan Sabine.
***
Niko menghela lega saat laporan akhir kuliahnya diterima baik oleh pembimbingnya. Laporannya nyaris tidak ada perbaikan. Lebih lega lagi, proses wisudanya akan dipermudah pihak kampus. Niko bisa mengikuti wisuda akhir tahun ini.
"Halo, Maniiiiis," sapa Niko ke Evi lewat ponselnya. Dia sedang santai tiduran di atas tempat tidur.
"Selamat, Niko sayang. Aku ikut senang. Siap-siap buat lamaran kerja ya? Lalu lamar aku. Kita nikah tahun depaaaaan," sorak Evi penuh semangat.
Entah kenapa setelah menghubungi Evi dan menceritakan tentang kuliahnya yang sebentar lagi selesai, gamang dirasa Niko. Apalagi saat ditatapnya buku-buku pelajaran Sabine yang bertebaran di atas meja kerjanya. Menikah, lalu bekerja di tempat lain, lalu Sabine?
Niko menghela napas sangat panjang. Tiba-tiba dia merasa sangat berat akan berpisah dengan makhluk kecil lucu nan cantik itu. Siapa yang akan mengurus Sabine yang manja itu? Siapa yang akan membimbingnya? Apa Sabine siap menerima orang lain? Apa aku bawa saja dia?
Niko mendengus kecil. Kini wajah Sabine yang membuatnya galau. Niko sangat sayang anak itu.
***