————
My first love
Thinks that I'm too young
He doesn't even know
Wish that I could show him what I'm feeling
Cause I'm feeling my first love
My first love
(Keith Ciancia, Nikka Costa, Justin Stanley)
My First love….
Niko berhasil membujuk Bu Carmen ikut menyaksikan penampilan Sabine menari balet di Bogor. Bahkan Erni ikut serta. Selama perjalanan, Sabine tidak pernah berhenti berceloteh saking senangnya. Hingga Bu Besti mengucapkan terima kasih karena Sabine tampil prima dan penuh percaya diri.
Sejak itu, hubungan Carmen dan Sabine lebih akrab. Bahkan Bu Carmen mulai sering bertanya-tanya tentang sekolah Sabine juga kegiatan-kegiatannya. Bu Carmen lebih memperhatikan Sabine. Kehadiran Niko memang memberi kesan yang sangat baik buat jiwa Sabine.
______
"Om Niko. How long do you go out with Tante Evi?," tanya Sabine yang siap-siap menyudahi kegiatan belajarnya dengan Niko.
"Five years,"
"First love?,"
Niko tersenyum. Diacaknya rambut Sabine.
"Buat apa nanya-nanya?,"
"Just curious,"
"Kalo Om kasih tau, Kamu bakal ngasih tau Tante Evi?,"
Sabine tertawa, "Berarti ada dong. Hihi…, ketawan deh,"
"Ada. Dulu waktu SMP kelas 2. Cinta pertama Om namanya Mia. Dia pindah ke Kediri. Putus…,"
"Then, you met Tante Evi,"
"Yep,"
"Masih kring kring Mia?,"
Niko menggeleng.
"Rara temen aku udah pacaran lo, Om Niko. Dia pacaran sama Fikri,"
Niko tertawa. Duh, anak SD udah pacaran? Gimana pacarannya?
"Suka pegang-pegang tangan di balik pintu kelas. Trus ciuman gitu,"
"Kamu liat?,"
Sabine menggeleng. "Temenku yang ngasih tau,"
"Kamu jangan pacaran. Pacarannya pas udah gede. Kuliah…, trus jangan macam-macam juga,"
Sabine mengangguk-angguk.
"Iya, Om,"
Sejak percakapan malam itu, ada sedikit perubahan di sikap Sabine. Niko awalnya tidak menyadarinya. Namun, di setiap saat Niko memandikannya, dan memakaikan pakaian ke tubuhnya, Sabine seakan-akan mengulur-ngulur waktu agar lebih lama Niko melihat tubuhnya yang tidak berbaju. Kadang, Sabine sengaja menggerak-gerakkan tubuhnya di hadapan Niko. Niko tetap menahan diri.
Sempat ingin dia utarakan perubahan sikap Sabine ini ke Bu Carmen atau bahkan Evi. Tapi dia urungkan karena bisa saja Sabine kembali dikucilkan. Akhirnya Niko hanya menjaga dan menahan diri saja.
***
Setelah menghabiskan kopi dan rokoknya. Niko bergegas menjemput Sabine.
"How's your school, Sweetheart?," tanyanya ketika Sabine sudah memasuki mobil di belakang.
"Okay…, as usual,"
Tampak beberapa teman Sabine menyapa Niko dengan sopan. Setelah itu mereka cekikikan. Aneh, menurut Niko. Tapi dia tetap bersikap biasa setelahnya.
Selama perjalanan menuju pulang Niko memperbaiki kaca spion mobil. Dilihatnya Sabine tengah menatapnya sambil mengerdipkan matanya. Entah apa maksudnya, Niko hanya menggeleng.
_______
"Boleh aku cium pipi Om Niko?," tanya Sabine setelah Niko membacakan buku sebelum tidur.
Niko tersenyum.
"Sabine. Kamu masih sepuluh tahun. Nggak seharusnya kamu memikirkan hal-hal seperti ini. Memikirkan Om. Tugas kamu belajar. Om tau kamu suka sama Om. Tapi coba kamu buang jauh-jauh perasaan kamu itu pelan-pelan ya? Om sudah punya pacar. Tugas Om jaga kamu, supaya kamu jadi anak baik, pintar, dan selalu bahagia…,"
Niko lalu merangkul Sabine erat, dan mengecup kepala Sabine yang wangi.
Ini yang ditakutkan Niko sejak awal bekerja. Dia sayang Sabine. Tapi bukan sayang yang 'itu'. Dia pun bertanya ke dirinya sendiri, apa sikapnya berlebihan? Sepertinya tidak juga. Aneh rasanya disukai gadis kecil sepuluh tahun. Berkali-kali dia menggeleng tidak percaya. Sabine memang memiliki paras cantik, senyum manis, gigi yang rapi, mata yang indah, rambut pendek sedikit pirang. Menggemaskan.
Entah kenapa Sabine berubah.
Dan hari-hari berikutnya, perasaan Niko tidak begitu semangat mengurus Sabine. Dia terus berusaha menahan diri. Hingga tidak disadari sikapnya cenderung dingin terhadap Sabine. Ini membuat Sabine sedih. Biasanya Niko selalu tersenyum dan hangat.
"Kamu kalo terus-terusan begini, gimana kamu meraih nilai yang bagus? Sebentar lagi kenaikan kelas lo. Kamu pernah bilang mau naik ke kelas unggul. Kalo begini? Om nggak yakin kamu masuk kelas itu," keluh Niko dengan nada kecewa. Akhir-akhir ini Sabine malas-malasan ketika dibimbing Niko. Kosentrasinya pun menurun drastis.
"Om nggak akan bacain cerita malam ini. Ini hukuman buat kamu," ancam Niko malam itu.
Sabine tampak menahan tangis mendengar ancaman Niko. Matanya mengerjap seolah ingin menguasai dirinya agar tidak tampak sedih. Sabine berusaha mengerjakan PR-Prnya dengan baik.
"Om. Baca cerita ya? Ini Sabine udah ngerjain PRnya," mohon Sabine lirih. Dia takut tidak bisa tidur malam itu jika tidak dibacakan cerita oleh Niko.
"Ok…," ucap Niko pendek. Sinisnya tidak bisa dia sembunyikan. Niko kesal.
Setelah membersihkan Sabine di kamar mandi dan memakaikan baju tidur ke tubuh Sabine. Seperti biasa, Niko lanjut membacakan cerita buat Sabine.
Malam itu beda. Niko yang biasanya semangat membacakan cerita, malam itu nadanya terdengar datar. Tidak ada ekspresi di wajahnya. Tidak ada intonasi. Niko tidak menjiwai apa yang dia baca.
Sabine yang di sampingnya tentu kecewa. Tapi dia juga tidak ingin menuntut banyak. Dia mulai menyadari bahwa sikapnya tidak disukai Niko.
"Ok, goodnight, Sabine," ucap Niko setelah tugasnya selesai. Sabine diam saja tidak membalas ucapan Niko. Dia malah menarik selimutnya dan menutup wajahnya.
Niko benar-benar dingin. Dia tidak memberi kecupan di kepala Sabine. Niko langsung saja ke luar kamar tanpa berkata apa-apa.
Dan ini sangat menyakitkan Sabine. Dia terisak dari balik selimutnya.
Niko ternyata tidak benar-benar menuju kamarnya. Dia malah menyenderkan tubuhnya di balik dinding kamar Sabine, mendengar isak tangis Sabine. Kini perasaannya kembali terusik. Tidak tega mendengar isak tangis gadis kecil itu.
Niko kembali memasuki kamar Sabine.
"Sabine…, please, no more cry." Niko yang duduk di atas kasur, membuka perlahan selimut yang menutupi penuh wajah Sabine.
"Maaf, Om," ucap Sabine yang masih terisak.
"Aku nggak bisa usir perasaan ini. Maaf," ulangnya memohon maaf.
Sesak dada Niko melihat wajah Sabine yang penuh dengan air mata. Ini kali pertama Niko melihat seorang gadis menangis. Evi tidak pernah menangis. Karena Niko memang selalu membuatnya bahagia. Sabine?
Perasaan Niko kacau. Ternyata wajah perempuan yang menangis itu sungguh sangat menyayat. Sedih.
Niko hanya diam menatap wajah Sabine yang penuh dengan air mata.
"Om…, satu kecup saja," mohon Sabine di tengah isaknya.
Niko menyeka keningnya setelah melepas kacamatanya. Ditatapnya wajah Sabine yang memohon. Perlahan dia mendekatkan wajahnya ke wajah Sabine. Lalu mengecup bibir gadis kecil itu dengan mata terpejam. Hangat yang dirasa Niko. Tidak tahu kenapa, dia menyukainya.
Sabine langsung tenang. Dia tidak terisak lagi. Wajah sedihnya berubah senang.
"Makasih, Om Niko. Aku sayang Om Niko," ucapnya bahagia.
Niko memperbaiki letak selimut Sabine. "Goodnight, Sabine," ucapnya sambil mengenakan kacamatanya.
"Goodnight, Om Niko," balas Sabine.
***
Niko duduk termenung di tepi kasurnya. Dia tidak menyangka dengan apa yang sudah dia lakukan barusan. Mengecup bibir gadis kecil? Dia menyukainya? Memalukan. Ini aib besar baginya.
Niko lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur menatap langit-langit kamar. Kini pikirannya penuh dengan rencana. Dia merasa harus melakukan sesuatu.
________
"Kamu bisa jaga rahasia?," tanya Niko ketika dirinya dan Sabine berada di dalam mobil. Sabine tampak sedang membenarkan sabuk pengamannya.
"Rahasia apa, Om?," Sabine balik bertanya.
"Tentang kecupan semalam. Jangan sampai orang lain tau."
Senyum tipis menghiasi wajah Sabine. "Of course I will keep it a secret."
Niko lega mendengarnya. Nada suara Sabine terdengar sungguh-sungguh.
"No more lip kiss for you,"
"Okay," lirih Sabine. Dia tidak begitu semangat. Perasaannya kembali gundah.
Niko kembali menyetir menuju pulang siang itu.
Tiba-tiba di dalam perjalanan, Sabine merasa ada yang aneh dengan posisi duduknya. Seperti ada yang mengalir deras dari sela pahanya. Sabine pun cemas. Ingin dia melapor ke Niko. Tapi sepertinya Niko sedang kosentrasi menyetir.
"Hei, Sabine! Apa-apaan kamu!!," teriak Niko yang tidak sengaja melihat Sabine sedang membuka celana dalamnya di dalam mobil lewat kaca spion.
"Om Nikoooo…, Kok bedaraaaahhh!!!," pekik Sabine histeris.
"Apaan, Sabine??!!,"
Niko langsung menepikan mobil.
"Iniiiii!!!." Sabine menunjukkan jari tangannya penuh darah dari tempat duduknya.
Niko panik. Dia langsung ke luar dari mobil menuju Sabine.
Sabine menangis sejadi-jadinya.
"Ooom…, Sabine sakit apa?! Nggak bisa Sabine tahan…, ke luar sendiri darahnyaaa…," isak Sabine seraya memohon Niko memeluknya.
Niko bergidik melihat darah yang mengucur dari sela paha Sabine. Diambilnya tisu sebanyak mungkin dari bagian depan mobil, lalu menyumpalnya perlahan ke va….na Sabine.
"Sabar, Sayang. Tenang dulu ya? Ntar Om jelasin. Ini nggak papa," ujar Niko menenangkan Sabine yang terisak hebat.
"Om…, takuut," isak Sabine sambil menunjukkan jari-jarinya yang masih penuh darah. Niko langsung menutupnya dengan tisu.
_______