Lingga Sambara, menyeka keringatnya yang bercucuran. Jujur, ia lelah. Karena, sejak tadi mengecat lapangan basket tidak kelar-kelar. Kalau saja, saat kelompok lain sedang presentasi di depan kelas tadi, ke empat teman-temannya itu tidak membuat keributan. Mungkin, tidak akan begini jadinya. Ya, asal kalian tahu saja, karena ulah ke empat temannya itu, kini mereka diberi hukuman oleh pak Jaksana selaku guru Sejarah dan Wakasek untuk mengecat lapangan basket sekolah. Gara-gara ribut saling tuduh mengambil pena.
Jujur, dirinya merasa malu. Karena, kini semua penduduk sekolah mempertontonkan mereka layaknya sebuah adegan pertunjukan. Tak tinggal, sambil meneriakki kata-kata semangat, dan sorak-sorak mengejek. Sialan!
Beruntung, hukuman itu dikerjakan bersama teman-temannya, coba kalau hanya sendirian? Mau taruh di mana mukanya yang ganteng!
Matahari kian naik ke atas, hingga teriknya pun mampu menusuk-nusuk kulit dan menggosongkan badan. Lingga, tidak mau menjadi gelap seperti Kamingsun, temannya.
"WOY! JANGAN MAEN-MAEN BISA NGGAK!" tegur Lingga kepada Kaming, Menang, dan Untung. Sontak, ketiga nama yang ditegur itu pun berhenti melakukan adegan ke kanak-kanakkan dan menoleh ke arahnya.
Lingga, kesal. Lantaran, ketiga komplotannya itu justru bermain-main dengan tongkat roller cat. Yang mereka jadikan sebagai pedang-pedangan. Dasar masa kecil kurang sempurna!
Padu, cowok yang memiliki nama asli Perpaduan itu menyambung perkataan Lingga. "TAHU NIH! LO BERTIGA BISA BERHENTI MAEN-MAEN NGGAK! MAU SAMPAI KAPAN KITA JADI TUKANG BEGINI! MALAH PANAS BANGET LAGI! SIALAN!" kata Padu, sambil berkacak pinggang. Setelah itu, mengibas-ngibaskan kaos bajunya karena, gerah.
Untung, Menang, dan Kaming, menyengir.
Kaming berkata, dengan tongkat roller cat yang dipegangnya. "IYA ELAH, DU! KAYAK NGGAK PERNAH DI HUKUM AJA BARENG KITA-KITA! ANGGAP AJA INI SEBAGAI HIBURAN! YA ITUNG-ITUNG, OLAHRAGA BIAR SEHAT. YA ENGGAK, TUNG! NANG!"
"Hiburan palak lo!" timpal, Lingga.
"BENER TUH! KALIAN BERDUA SANTAI AJA. LAGIAN, KARENA HUKUMAN INI KITA NGGAK MASUK PELAJARANNYA PAK REMBO, GURU FISIKA YANG KILLER SEJAGAT MAYA!" sambung Untung dengan gaya bersilang dada, laki-laki dengan nama asli Untung Luganda itu bangga dengan apa yang menimpanya kini.
"SEJAGAT RAYA!" sambar, Kemenangan Ananda. Yang di panggil, Menang.
Lingga berdecak kesal. "BACOT LO PADA!" Lingga melemparkan kuas cat pada, Kaming. Dengan cekatan, Kaming menerimanya.
"Asialan! Baju kaos gue kena cat nih!" kesal Kaming. Lingga tidak mempedulikan.
Hap.
"Buru, kerjain yang bener! Jangan kebanyakan main! Elo elo pada nggak mau kan, kalau kulit kalian gosong? Mau jadi saingan, Kaming? Huh?!" kata Lingga dengan melirik Kaming sebentar.
Semua bergodek-godek, ogah! Ya, mana mau menjadi saingan, Kaming. Yang kalau mati lampu perawakannya bener-bener nggak kelihatan lagi. Seperti masa depan Menang, gelap!
"OGAH!" kompak Untung, Padu, dan Menang. Ditambahi oleh Untung yang bilang, "SORRY BERRY STOBERI! JADI, SAINGAN KAMING MAH BERASA HINA BET DERAJAT GUE!"
Kaming mendengus dan menghempaskan tongkat roller cat itu begitu saja ke ubin lapangan. Kaming pun berkata,
"HEH! SEKATE-KATE BANGET YA LO PADA! SAMA TEMEN SENDIRI DI NISTAIN!" omel Kaming yang kini sudah berkacak pinggang. "MESKI GUE ITEM! INI TUH BERKAH!"
Semua temannya tertawa mengejek.
Menang pun menimpal, "BERKAH DARI MANE?! SEKATE-KATE AMAT LO KALO NGOMONG! INGET DOSA LO KALO NGOMONG!"
"BERKAH! DENGAR YA, WAHAI MAKHLUK HIDUP!" Kaming menjeda sebentar. "ITEM-ITEM BEGINI PEMBAWA KEBERUNTUNGAN DI KELUARGA GUE!"
"Iya. Di keluarga lo aja!" sambar Untung. Lalu, pura-pura tak melihat keberadaan Kaming yang berdiri di dekatnya. Justru, setelah bicara demikian ia malah mengedipkan matanya genit kepada cewek-cewek yang berjalan di pinggir lapangan.
"JANGAN SEMBARANG LO, TUNG!" kesal, Kaming. Untung pun kembali menoleh dan melihat Kaming.
Kaming melanjutkan fatwanya.
"SAAT EMAK GUE MELAHIRKAN GUE KE PLANET INI. INDONESIA YANG SAAT ITU SEDANG SUSAH-SUSAHNYA, KARENA NAIKNYA HARGA BBM, BAWANG SAMA CABE, JADI TURUN!!"
Untung, dan Menang tertawa dan menunjukkan ekspresi seolah bilang, "TERUS LO BANGGA GITU?"
Lingga, peduli amat enggak! Dengan perdebatan itu. Tanpa, Untung, Menang, dan Kaming tahu, cowok itu pamit ke toilet kepada, Padu. "Wc dulu, Du."
Lingga, berjalan menjauhi teman-temannya. Berjalan santai, dengan seragam putih sekolah yang ia bawa di pundak kanan. Lingga, hanya mengenakan singlet hitam. Sehingga, semua mata dapat melihat tubuhnya yang kekar dan lengannya yang berotot. Sengaja, ia lepas seragam putih sekolahnya, karena takut terkena cat.
Meski, semakin jauh Lingga melangkahkan kakinya dari lapangan basket. Tetap saja, suara perdebatan tak penting itu samar-samar terdengar di telinganya. Dasar teman-temannya itu! Sedetik kemudian senyumnya merekah. Bye bye! Pikirnya.
Kaming, kembali lagi berfatwa.
"ENGGAK CUMA ITU! SAAT GUE TERLAHIR DI DUNIA, SEMUA JADI MAKMUR! TERLEBIH, EKONOMIS KELUARGA GUE. KARENA, BAPAK GUE NAIK JABATAN!"
Untung pura-pura berbisik pada Menang, namun suaranya itu dapat di dengar oleh, Kaming dan Padu.
"Nang, dia pikir dia tuh pupuk apa yak? Yang bisa bikin makmur tanaman!"
"Tanaman tuh subur, Tung! Bukannya, makmur!" kata, Menang. Kembali lagi membenarkan kata-kata si Untung.
Padu, mengambil alih kuas cat yang di pegang oleh Kaming. "HEH! DARIPADA BANYAK BACOT, MENDING LANJUTIN LAGI NGECAT-NYA! ENTAR PAK JAKSANA MARAH, TAHU KITA BELUM KELARIN NIH LAPANGAN!"
Kini, Padu mulai berjongkok dan menggantikan posisi Lingga yang membuat line garis lapangan.
Melihat Padu mulai bergerak kembali, Menang pun mengikuti. "AYO LANJUT LAGI!" katanya, dan mulai mengecat menggunakan tongkat roller cat itu.
Kaming, mengambil kembali tongkat rollet cat yang sengaja di buangnya tadi. Lalu, mengikuti Menang yang kini mulai bergerak.
Untung, menghela napas. Cowok itu pun mengikuti apa yang di lakukan ketiga temannya. Mau tak mau, yasudahlah!
Saat hendak memulai, Untung tersadar. Jika, satu komplotannya tidak ada. Untung, yang tadinya merunduk jadi menegapkan kembali badannya dan bertanya pada, Padu.
"DU!" panggilnya. Padu jadi menoleh dan berdehem."Hem."
"LINGGA MANA?!" kata Untung dengan gerakkan dagu naik ke atas singkat.
Tanpa melihat wajah Untung dan serius mengecat, Padu menjawab. "WC!"
"HAH SIAPA YANG KE WC?!" Menang tiba-tiba menyambar ucapan, Padu. Membuat, ketiga temannya melihat ke arahnya.
"Lingga," jawab, Padu. Kemudian, kembali melanjutkan pekerjaannya.
Menang berkata, "KE WC APE KE WC! ENTAR TAHU-TAHUNYE MALAH NANGKRING DI KANTIN LAGI?!"
Deg.
Deg.
Deg.
Karena perkataan Menang itu, membuat Untung, Padu, dan Kaming berhenti bekerja dan melihatnya.
Menang, menghempaskan tongkat roller cat ke ubin lapangan dan berkacak pinggang. Lalu, kembali berkata, "KALIAN KEK KAGAK TAHU, LINGGA AJA!"
Lingga tuh ya, otaknya otak banded! Maksudnya, cerdik. Ya, cerdikiawan!
Untung, Padu, Kaming, dan Menang. Memandang wajah satu sama lain dengan tatapan yang hanya mereka saja yang tahu artinya.
Untung, menganggukkan kepala sekali. Padu, juga. Setelah itu, Kaming. Terakhir, Menang.
"CABUT!" ajak Untung.
Mereka pergi, tanpa merasa berdosa dan tidak takut di lihat oleh Pak Jaksana, karena meninggalkan lapangan basket saat tengah di hukum. Dengan santainya ke empat cowok itu pergi meninggalkan lapangan basket yang belum sepenuhnya tercat.
Peralatan cat pun tergeletak asal begitu saja.
🌵🌵🌵