Chapter 31 - Jatuh Sakit

Keesokan paginya, Aiden terbangun saat cahaya matahari mengintip dari sela-sela tirainya. Ia menutupi matanya dengan menggunakan lengannya, berusaha untuk menyingkirkan cahaya yang mengganggu matanya. Cahaya itu menyilaukan. Meski hanya sedikit saja, cahaya itu sudah cukup untuk membuat matanya merasa tidak nyaman.

Kapan matanya akan kembali seperti dulu? Meski saat ini ia tidak benar-benar buta total dan masih bisa melihat samar-samar, ia ingin penglihatannya sempurna seperti dulu. Sampai kapan ia harus seperti ini ...

Ia segera mengalihkan pandangannya dari jendela dan melihat Anya masih tertidur pulas di sampingnya. Wanita itu tertidur dengan nyenyak sambil meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri seakan berusaha untuk melindungi dirinya dari kejamnya dunia.

Aiden berharap, suatu hari nanti Anya tidak perlu meringkuk seorang diri seperti ini. Karena ia lah, tangannya lah yang akan memberi Anya perlindungan. Memeluknya dan menjaganya dari apa pun yang membuatnya ketakutan. Memeluknya dari malam hari hingga terbangun keesokan harinya.

Suatu hari nanti …

Kata-kata itu terngiang di benak Aiden saat ia membelai rambut Anya dengan lembut.

Aiden membiarkan Anya tertidur lebih lama sementara ia memasuki kamar mandi, bersiap-siap untuk berangkat kerja. Tidak butuh waktu lama bagi Aiden untuk bersiap-siap. Ia mengenakan pakaian kerjanya dengan rapi dan menggunakan gel untuk merapikan rambutnya. Setelah ia keluar dari kamar mandi, ia menemukan Anya masih meringkuk dalam posisi yang sama.

Ia duduk di sisi ranjang dan mencium dahi Anya dengan lembut, berpamitan sebelum ia pergi kerja. Ia hanya bisa melakukan ini saat Anya tertidur. Kalau saja wanita itu bangun, Anya pasti sudah menjerit ketakutan melihat apa yang ia lakukan. Atau mungkin wajahnya akan memerah karena malu ...

Namun, sebelum Aiden bangkit berdiri, ia merasa ada yang aneh. Tubuh Anya terasa sedikit hangat.

Apa itu hanya perasaannya saja? Kemarin Anya terlihat baik-baik saja …

Ia segera mengambil kotak obat-obatan yang tersedia di laci nakasnya dan mencari termometer digitalnya agar ia tidak perlu membangunkan Anya untuk mengetahui suhu tubuh wanita tersebut.

36,9 …

Suhu tubuh Anya masih normal. Sepertinya, itu hanya perasaannya saja ...

Aiden segera menyimpan termometer itu kembali di tempatnya dan meninggalkan kamarnya. Saat ia turun, ia melihat Hana sudah berada di dapur, menyiapkan berbagai macam sarapan untuk mereka.

"Anya masih tidur. Tidak usah dibangunkan, biarkan dia beristirahat," kata Aiden pada Hana.

Hana bisa memahaminya. Kemarin adalah hari yang berat bagi Anya. Mungkin apa yang telah terjadi kemarin telah membuat wanita itu kelelahan hingga bangun kesiangan.

Namun, rasa kecewa sedikit muncul di hatinya. Sebenarnya, Hana menantikan sarapan pagi mereka. Menurutnya, sarapan pagi mereka kemarin adalah sarapan yang paling menyenangkan. Mereka bisa duduk bersama, mengobrol dan bercanda seperti keluarga.

Setelah sekian lama, ia bisa melihat Aiden membuka hatinya kembali. Hana bisa melihat hati Aiden yang dingin seolah luluh karena kehangatan Anya. Sikapnya yang dulu dingin perlahan berubah menjadi lembut. Walaupun perubahan itu tidak terlihat jelas, insting keibuan Hana bisa merasakannya. Ini adalah perubahan yang baik bagi Aiden!

Tetapi sepertinya, sarapan itu tidak akan terulang hari ini ...

Hana hendak meninggalkan meja makan dan membiarkan Aiden sarapan seorang diri seperti biasanya. Namun, tiba-tiba Aiden memanggilnya. "Bu Hana dan Harris mulai hari ini makan di meja makan saja," kata Aiden.

Tidak hanya Hana saja yang merasakan bahwa sarapan mereka kemarin terasa menyenangkan. Hati Aiden pun merasa hangat dengan keberadaan orang-orang ini, orang-orang terdekatnya. Ia menyadari bahwa ia tidak lagi sendiri. Ada banyak orang di dekatnya yang tulus mencintainya, seperti Hana yang menganggapnya sebagai putra sendiri.

Mata Hana berkaca-kaca saat mendengar kata-kata Aiden. Ia merasa sangat gembira. Benar dugaannya, keberadaan Anya bagaikan matahari kecil bagi Aiden, matahari yang perlahan mampu membuat hati Aiden yang beku mulai mencair ...

...

Anya terbangun dengan perasaan yang sangat tidak nyaman. Saat ia membuka matanya, ia bisa melihat cahaya matahari yang mengintip dari jendela sudah sangat terik. Sepertinya ia bangun kesiangan.

Namun, seluruh tubuhnya terasa lemas. Ia merasa kepanasan dan tubuhnya terasa gatal-gatal. Badannya berkeringat karena suhu tubuhnya yang tinggi, membuat bajunya basah.

Ia ingin bangun untuk mengganti bajunya, tetapi kepalanya terasa pusing saat ia duduk.

Mengapa ia tiba-tiba merasa tidak enak badan seperti ini? Rasanya kemarin ia baik-baik saja.

Kemudian, ia teringat kopi yang disiramkan ke wajahnya oleh Natali. Apakah ia tidak sengaja menelan kopi itu? Anya berusaha mengingatnya, namun kepalanya terasa panas, otaknya seolah tidak bekerja.

Sepertinya begitu …

Natali menyiramkan kopi itu saat ia sedang berbicara dengan ayahnya. Mungkin saja kopi itu tidak sengaja masuk ke mulutnya dan tertelan karena ia sedang membuka mulut.

Ia harus segera minum obat alergi, namun tubuhnya terasa sangat berat sehingga ia tidak bisa bangkit berdiri. Akhirnya, Anya menjatuhkan kepalanya kembali ke bantal, merasa sangat lelah dan tidak kuat untuk bangun. Ia memejamkan matanya dan kembali tertidur ...

...

Hari sudah siang, tetapi Anya belum keluar juga dari kamarnya. Hana merasa sedikit khawatir karena Anya melewatkan makan pagi dan sekarang sudah waktunya makan siang. Mungkin ia harus membangunkannya! Hana memutuskan untuk keadaan Anya ...

Ia mengetuk pintu kamar utama. Satu kali, dua kali, tiga kali ...

Tidak ada jawaban.

Hana mengintip ruangan itu masih gelap, tirai masih menutupi jendela sehingga cahaya matahari tidak bisa masuk ke dalam ruangan untuk meneranginya. Ia bisa melihat tubuh Anya masih berada di atas tempat tidurnya, tertimbun di bawah selimut.

Ia memutuskan untuk mendekatinya dan berusaha untuk membangunkannya. "Anya, sudah waktunya makan siang ..." Hana memelankan suaranya agar Anya tidak terkejut. Namun, tidak ada tanggapan dari Anya.

Suaranya saja tidak bisa membangunkan Anya sehingga Hana mengulurkan tangannya, ingin membangunkannya dengan mengguncang tubuh Anya pelan. Ia baru saja meletakkan tangannya di bahu Anya, belum sempat mengguncang tubuhnya, tetapi ia bisa merasakan suhu tubuh Anya yang panas.

Apakah Anya sakit?

Hana segera mengulurkan tangannya untuk memegang dahi Anya. Ia merasakan dahinya panas dan tubuhnya berkeringat.

Anya bisa merasakan tangan seseorang menyentuhnya sehingga ia langsung membuka matanya. Samar-samar ia bisa melihat Hana yang menyentuh dahinya.

"Bu Hana?" tanyanya.

"Anya, badanmu panas. Apakah kamu sakit?" tanya Hana.

"Hmm ... Badanku rasanya tidak enak semua," gumam Anya sambil memejamkan matanya sekali lagi. Kepalanya terasa pusing.

Hana segera mencari termometer di kotak obat kamar utama dan mengukur suhu Anya.

38,5 ...

Ia segera menelepon Aiden untuk memberitahukan kondisi Anya.

"Tuan, Nyonya sakit. Badannya panas ..." kata Hana dengan cemas.

Mendengar hal itu, dalam hati Aiden mengutuk. Benar dugaannya tadi pagi, Anya sedang tidak enak badan. Seharusnya ia tidak perlu pergi ke kantor dan bekerja dari rumah saja.

"Bu Hana, saya akan segera pulang. Tolong telepon Dokter Tara, suruh ia untuk datang ke rumah," kata Aiden sambil membereskan barang-barangnya. Dokter Tara adalah dokter keluarga Atmajaya.

"Baik Tuan," jawab Hana. Ia segera menelepon Dokter Tara, memintanya untuk segera datang ke rumah.

Sementara itu di kantor, Aiden meminta Elise untuk menunda semua pertemuannya hari ini dan mengajak Harris untuk segera pulang.

Pagi tadi ia sudah merasa bahwa tubuh Anya sedikit hangat, namun ia pikir itu hanya perasaannya saja karena suhu tubuh Anya normal saat ia mengeceknya.

Seharusnya ia tidak usah berangkat kerja dan memastikan bahwa Anya baik-baik saja. Toh, ia bisa mengerjakan pekerjaannya dari rumah. Namun, entah mengapa ia malah memilih untuk pergi ke kantor dan meninggalkan Anya sendiri di rumah.

Ia merasa bodoh ...