Chapter 30 - Rasa Nyaman

Anya menuruni tangga sambil memikirkan bagaimana ia harus menghadapi Aiden. Perdebatan terakhir mereka di mobil pada akhirnya membuat pria itu marah kepadanya. Aiden meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa Anya lakukan, tetapi ia paham bahwa pria itu hanya memikirkan kebaikannya. Pria itu tidak bersalah, hanya saja keadaan yang memang tidak memungkinkan.

Sepertinya, ia harus meminta maaf padanya agar suasana di antara mereka tidak kembali canggung.

Walaupun mereka tidak saling mencintai, saat ini mereka telah terikat oleh pernikahan untuk selamanya. Mereka akan hidup bersama dalam waktu yang sangat panjang. Walaupun tidak ada cinta di antara mereka, mereka tetap harus bisa hidup berdampingan. Meski mereka tidak saling mencintai, mereka masih bisa hidup bersama sebagai sahabat. Oleh karena itu, mereka harus mempertahankan agar hubungan mereka tetap baik-baik saja.

Ia harus meminta maaf pada Aiden!

Anya memasuki ruang makan dan melihat kursi meja makan itu kosong meski berbagai makanan sudah disajikan di atasnya. Aiden tidak menunggunya di kursi meja makan seperti biasa. Saat ini, pria itu sedang berdiri menghadap ke arah jendela, memandang ke arah danau yang tenang, di luar jendela. Pria itu berdiri membelakanginya, tetapi Anya bisa merasakan suasana hati Aiden sudah membaik.

Sepertinya, kemarahan yang dirasakan pria itu sudah surut …

Ia berjalan menghampirinya, memastikan bahwa ia mengeluarkan suara untuk menunjukkan kedatangannya. Ia tidak ingin Aiden terkejut karena kedatangannya yang tiba-tiba karena pria itu tidak bisa melihatnya. Namun, tanpa perlu melakukan itu pun sebenarnya Aiden sudah mengetahui kedatangan Anya. Ia bisa melihat sosok wanita itu menghampirinya dan pantulan kaca jendela di hadapannya.

Aiden melihat wanita itu telah mengganti pakaiannya dan mengenakan pakaian rumah. Rambut panjangnya terurai dan sebuah jepit kecil berusaha untuk membuat rambutnya tampak lebih rapi.

Aiden sangat menyukainya. Ia menyukai pemandangan ini. Ia suka melihat Anya berada di rumahnya, mengenakan pakaian santai yang menunjukkan bahwa ia juga nyaman berada di rumah ini. Semua itu membuatnya merasa bahwa Anya adalah miliknya.

Meskipun wanita itu tidak mengingatnya …

Anya berdiri di samping Aiden, memberi sedikit jarak di antara mereka agar mereka tidak bersentuhan. Jarak yang tidak disukai oleh Aiden. Anya berdiri terlalu jauh darinya. Hatinya seakan mendorongnya, menyuruhnya untuk merengkuh Anya ke dalam pelukannya dan menguburkan wajahnya ke rambut wanita itu. Ia bisa membayangkan wangi bunga yang tercium dari tubuh Anya. Ia ingin merasakan kedekatan dengan wanita itu, merasakan hangat tubuhnya.

"Apa kamu masih marah padaku?" tanya Anya dengan suara pelan. Matanya menatap ke arah Aiden, namun pria itu tidak membalas tatapannya. Aiden memandang ke arah luar jendela sementara tangannya terlipat di belakang punggungnya.

Pria itu tidak perlu bergerak untuk menunjukkan ketampanannya. Diam di hadapan jendela, dengan sinar remang-remang dari cahaya bulan, membuat Aiden terlihat sangat tampan di mata Anya. Saat berdiri di samping Aiden, kepala Anya hanya bisa mencapai pundak pria itu.

"Apakah kamu tahu mengapa aku marah padamu?" tanya Aiden. Ia tetap memandang lurus ke depan, sama sekali tidak menatap wanita yang berdiri di sampingnya. Namun, suaranya tidak terdengar marah. Hanya ada ketenangan, seperti air jernih yang tidak bergelombang.

Mereka berdiri bersebelahan, memandang danau yang memantulkan cahaya bulan, sementara makan malam mereka yang telah disajikan di atas meja makan terlupakan. Keheningan menyelimuti mereka, tetapi keheningan ini bukan keheningan yang canggung seperti saat mereka bertengkar.

Kesunyian di antara mereka terasa damai dan menenangkan …

"Iya … Aku tahu …" jawab Anya.

Anya tahu, Aiden marah karena ia memedulikannya. Aiden marah karena ia mengkhawatirkannya. Pria itu selalu memikirkannya dan membantunya. Meskipun Anya tidak mencintai suaminya itu, ia bersyukur bisa memiliki seseorang yang bisa diandalkan seperti seorang sahabat.

Anya menyandarkan kepalanya ke lengan Aiden sambil tetap memandang ke arah danau. "Terima kasih …" katanya.

Aiden bisa merasakan kehangatan Anya di lengannya. Tetapi ia memutuskan untuk tidak bergerak. Bukan karena ia tidak mau, tetapi karena ia ingin memberikan Anya kebebasan untuk melakukan apa pun yang ia mau. Aiden tidak ingin tiba-tiba saja menyentuh atau memeluk wanita itu dan membuatnya terkejut. Ia tidak mau Anya semakin menjauh darinya.

Mereka terdiam di posisi itu untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Aiden mengajak Anya untuk makan malam.

"Minggu depan aku akan pergi ke luar kota," kata Aiden saat mereka sedang menikmati makan malam mereka.

"Ke mana kamu akan pergi?" tanya Anya sambil tetap menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Sekarang suasana makan malam tidak secanggung sebelumnya. Bahkan mereka bisa makan sambil mengobrol ringan.

"Ada beberapa urusan pekerjaan yang harus aku selesaikan," jawab Aiden.

"Berapa lama?" tanya Anya.

"Tiga hari …" kata Aiden, namun sebelum Anya bisa menanyakan hal lain, ia bertanya secara tiba-tiba, "Apa kamu mau aku tetap di rumah? Aku bisa membatalkannya."

Tangan Anya berhenti menyendok makanannya saat mendengar pertanyaan Aiden yang mendadak itu. "Ah, tidak, tidak!" kata Anya sambil menggoyang-goyangkan tangannya. "Mana mungkin aku bisa mencegahmu untuk pergi. Urusanmu pasti sangat penting."

Aiden mengerutkan keningnya ketika mendengar jawaban itu. Anya tidak berusaha untuk mencegahnya pergi. Malahan, wanita itu tampaknya sangat senang saat mengetahui ia akan meninggalkan rumah selama beberapa hari.

Anya memang merasa sedikit senang karena ia bisa bebas. Hati kecilnya sedikit merasa bersalah karena rasa senang itu muncul di dalam hatinya. Seharusnya ia tidak boleh merasakan seperti ini. Aiden selalu berbuat baik kepadanya. Jadi, seharusnya ia juga melakukan hal yang sama untuk pria itu. Namun, perasaan senang itu muncul dengan sendirinya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Saat melihat pria itu mengerutkan keningnya, ia memutuskan untuk mengatakan sesuatu seperti yang biasa dikatakan oleh seorang istri untuk membuat pria itu sedikit senang. "Aku akan menunggumu kembali di rumah," katanya dengan lembut.

"Hmm …" Seperti dugaan Anya, kata-kata itu memang membuat Aiden merasa senang. Ia merasa senang ketika mendengar Anya akan menunggunya kembali. Selama ini, ia selalu tinggal seorang sendiri. Kedatangannya hanya akan disambut oleh para pelayannya karena mereka menerima gaji darinya.

Tetapi sekarang kehidupannya telah berubah. Ia memiliki seorang istri yang akan menanti kepulangannya. Meskipun istrinya itu tidak mencintainya, tidak apa-apa asalkan wanita itu tetap berada di sampingnya …

Setelah makan malam selesai, mereka segera kembali ke kamar. Anya segera mandi karena sebelumnya ia tertidur dan belum sempat membersihkan badannya. Ia merasa tubuhnya gatal dan badannya sedikit tidak nyaman.

Setelah ia kembali dari kamar mandi, ia melihat Aiden sudah berbaring di sisi tempat tidurnya. Mata pria itu terpejam matanya, tetapi Anya tidak yakin apakah Aiden sudah tertidur atau belum. Ia sering melihat Aiden memejamkan mata untuk mengistirahatkan kedua matanya itu saat ia tidak bekerja.

Anya segera bersiap untuk tidur. Ia berjalan ke arah sisi tempat tidurnya dan berbaring dengan perlahan, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara berisik. Ia tidak mau mengganggu istirahat Aiden.

Mereka berbaring di sisi masing-masing, tidak bersentuhan sama sekali. Namun, kehangatan mereka seolah terpancar satu sama lain, membuat mereka merasa nyaman. Mereka merasa nyaman dengan keberadaan satu sama lain.

Entah sejak kapan perasaan itu ada di hati mereka berdua, terutama di hati Anya …

Apakah perasaan ini muncul karena Aiden adalah seseorang yang bisa ia andalkan?

Atau ia mulai jatuh cinta padanya?

Tidak mungkin!

Tidak mungkin ia bisa mencintai orang lain dengan begitu mudahnya setelah …

Anya memejamkan matanya, membiarkan kantuk perlahan menyelubunginya dan membawanya ke alam mimpi.