Chereads / CEO's Beloved Doctor / Chapter 19 - Pacar?

Chapter 19 - Pacar?

19.00 WIB

Bastian sedang menunggu kliennya di sebuah restauran bernama Madam Rose. Ini adalah salah satu restoran favorit kakek untuk makan steak. Sebenarnya alasan Bastian memilih bertemu klien di restoran favorit kakek karena Adi merengek ingin makan steak sejak minggu lalu.

Hari ini pakaiannya sangat rapi. Ia memakai setelah jas hitam tanpa memakai dasi. Ia ingin penampilannya tidak terlalu formal tapi tetap berkelas. Rambutnya sudah di sisir ke belakang menggunakan gel rambut hingga rapi.

Seperti biasa seluruh mata pengujung restaurant memandanginya sambil terperangah. Mendapat perhatian publik seperti ini adalah hal yang biasa baginya.

Bastian memilih tempat duduk di dekat jendela restoran. Tempat duduk ini sudah direservasi oleh Adi, asisten sekaligus sekertarisnya. Adi sedang duduk di depannya sambil memesan steak tenderloin.

"Tuan yakin gak mau makan?" tanya Adi bersemangat.

Bastian menggeleng dan mencibir. "Sudah gak perlu menawariku. Kita di sini kan karena kamu ngidam steak seperti wanita hamil."

Adi hanya tersenyum lebar. Dia sudah kebal dengan semua cibiran dan omelan tuannya. Dia tidak akan mudah sakit hati sekalipun Bastian blak-blakan memarahinya.

Bastian mulai gelisah. Ia terus menatap pintu masuk restoran berharap klien yang sedang ditunggu-tunggunya segera datang. Harus ia akui klien kali ini cukup penting untuk rencana impiannya.

Pintu restoran terbuka. Seorang gadis masuk lalu menengok ke kanan ke kiri seperti mencari tempat duduk yang kosong.

Gadis itu seperti cahaya. Sosoknya bersinar di balut gaun satin hitam. Rambutnya ikal sebahu di biarkan terurai dan hanya di beri jepitan rambut kecil. Dan gadis itu adalah Kirana.

Mata Bastian seakan tidak bisa berkedip. Ia bahkan tidak mendengar ketika Adi mengajaknya bicara tentang rasa steak yang begitu enak. Seluruh indranya seakan diam bergeming. Hanya terfokus pada sosok Kirana yang paling bersinar di tempat ini.

"Dia selalu bersinar terang," guman Bastian pelan.

"Apa? Bersinar?" celetuk Adi.

Lamunan Bastian berakhir.

Kirana menuju kursi di bagian tengah restoran. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang. Siapa yang ditunggu ya, batin Bastian.

Tak beberapa lama seorang pria berkacamata mendatangi Kirana sambil menjabat tangan gadis itu. Apakah pria itu pacarnya?

"Eh, bukannya itu Dokter Kirana?" kata Adi melihat ke arah Kirana.

"Pelankan suaramu, Di," kata Bastian kesal.

"Iya, Tuan," jawabnya. "Gak kusangka Dokter Kirana sudah punya pacar. Pacarnya lumayan juga. Tinggi, cukup ganteng.."

"Cukup ganteng dari mana?" Bastian menyela sambil mendelik. "Wajahnya seperti kutu buku gitu dan pakaiannya biasa saja. Lagipula mana ada sih orang pacaran hal pertama yang mereka lakukan malah jabat tangan?"

Bastian kesal dengan Adi. Perkataan Adi yang mengira Kirana sudah punya pacar dan pacar Kirana 'cukup ganteng' membuatnya telinganya gatal.

"Oh, kayaknya mereka lagi kencan buta," celetuk Adi.

"Apa? Kencan buta?"

Adi menyipitkan mata. "Tuan, gak tahu kencan buta ya?"

Bastian hanya berdeham pura-pura tidak mendengar kata-kata Adi barusan. "Coba jelaskan."

"Kencan buta itu ketika cowok dan cewek makan bersama untuk mengenal satu sama lain. Biasanya mereka belum pernah ketemu sebelumnya. Tapi yang jelas mereka sedang melakukan penjajakan cinta," Adi menjelaskan sambil menahan tawa melihat ketidaktahuan tuannya. "Kalau dari yang saya lihat, sepertinya Dokter Kirana menyukai cowok itu."

"Suka dari mana?! Kirana kelihatan gak menyukai cowok itu sama sekali tau!" kata Bastian sengit.

"Tuan tahu dari mana kalau Dokter Kirana gak menyukai cowok itu?" tanya Adi polos. "Dia tersenyum ke arah cowok itu. Berbicara dengan lembut."

"Kamu gak lihat kalau Kirana bosan setengah mati ngobrol sama tuh cowok? Lihat, dia menguap 3 kali," Bastian menunjukkan tangan ke arah Kirana yang sedang menguap.

"Mungkin Dokter Kirana ikut kencan buta pecomblangan. Kayaknya ada orang yang mengenalkan mereka berdua, Tuan," timpal Adi. "Saya pikir Dokter Kirana itu maniak kerja yang gak punya waktu untuk mencari jodoh. Ternyata dia juga manusia biasa yang ingin punya hubungan. Wah."

Selama ini mata-mata yang ditugaskannya untuk mengawasi Kirana tidak pernah melaporkan kalau Kirana sedang berkencan dengan seseorang. Bastian tidak peduli apakah Kirana kencan buta atas kemauannya atau karena percomblangan.

Ia merasa heran dengan Kirana yang sedang berkencan. Entah mengapa Bastian juga merasa kesal memikirkan Kirana ingin mencari pacar.

Tiba-tiba 2 orang wanita dan 1 orang pria mendekat ke meja Dokter Kirana. Wanita pertama masih muda dan cantik seperti artis. Wanita kedua dan si pria terlihat paruh baya. Bastian tidak tahu siapa ketiga orang itu. Yang jelas ekspresi mereka seperti membenci Kirana. Mereka, terutama kedua wanita itu menatapnya dengan tatapan tajam, jijik dan menghina.

Ada sesuatu yang mengganjal di hati Bastian. Ia merasa terluka dan sedih melihat ekspresi Kirana ketika berbicara dengan ketiga orang asing itu. Kirana terlihat ingin menangis. Mata mungil gadis itu berkaca-kaca.

Tanpa Bastian sadari kakinya berdiri. Ia mulai berjalan ke arah meja Kirana.

"Lho Tuan mau kemana? Sebentar lagi klien kita datang," cegah Adi. Tapi sayangnya Bastian tidak mendengar suara Adi. Sekarang seluruh pikirannya hanya terpusat pada wajah sedih Kirana.

….

Kirana kaget luar biasa. Sejak pertemuan terakhir mereka di pameran lukisan, Kirana selalu berharap bisa bertemu dengan Bastian. Kini harapannya terwujud. Bastian Dewandra ada di sampingnya. Memeluk pinggangnya erat.

"Bastian Dewandra?" tanya Tante Liz kaget.

Bastian tersenyum. "Iya. Saya pacar Kirana."

Kirana, Leo, Tante Liz, Miranda dan ayah mendelik mendengar kata-kata Bastian barusan. Kirana tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut Bastian.

"Jadi saya harap bapak, ibu dan nona tidak berpikiran macam-macam tentang Kirana," kata Bastian pada Miranda, Tante Liz dan ayah.

"Kirana tidak bisa menghadiri ulang tahun ayahnya karena dia sudah ada janji dengan saya. Dia mau menemani saya menemui klien. Saya minta maaf karena gara-gara saya, Kirana tidak bisa datang ke ulang tahun ayahnya," lanjut Bastian.

Yang di maksud klien oleh Bastian adalah Leo. Bastian sekarang sedang berakting kalau Kirana menemaninya menemui klien untuk urusan bisnis.

"Jadi dia tidak sedang menggaet pria kaya untuk bertahan hidup. Dia sudah pacar kaya sejak lama," kata Bastian membela.

Pacar kaya yang di maksudnya adalah dirinya sendiri.

"Satu lagi, Kirana ini sudah dewasa. Maklum kalau dia sibuk bekerja. Selama ini dia memang sibuk menjaga UGD rumah sakit. Dia tidak bermaksud acuh pada keluarga apalagi pada ayahnya. Yang saya lihat Kirana justru bekerja begitu keras supaya tidak merepotkan keluarganya lagi."

Bastian memandang Kirana sambil tersenyum. Sementara Kirana, Leo, Tante Liz, Miranda dan ayah syok mendengar semua perkataan yang meluncur bebas dari Bastian.

"Kalau tidak keberatan, kami mohon pamit dulu," Bastian membungkukkan badan memberi hormat lalu menggandeng tangan Kirana. Mereka berjalan keluar meninggalkan restoran.

….

Kirana duduk di dalam mobil bersama Bastian. Mobil yang mereka kendarai meluncur menembus jalan-jalan padat di ibukota.

Kirana duduk di sebelah Bastian dengan perasaan syok yang masih membekas. Ia malu sekaligus kaget.

Kejadian satu jam lalu saat Bastian menyelamatkan dirinya dari Tante Liz, Miranda dan ayahnya seolah seperti mimpi. Kirana sampai harus menepuk pipinya untuk meyakinkan apakah semua ini hanya mimpi belaka.

"Jadi kita mau kemana?" tanya Bastian sambil memandangi Kirana yang diam membeku.

Kirana masih diam.

"Kirana?" panggil Bastian.

Kirana terlonjak kaget. "Iya?"

"Kamu sepertinya suka melamun," kata Bastian sambil tersenyum.

"Iya," hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulut Kirana.

"Maaf ya," kata Bastian berikutnya.

Kirana menoleh ke arah Bastian. "Maaf untuk apa?"

"Karena mengacaukan kencan dan berbicara lancang di depan orang tuamu," ada nada sesal dalam ucapan Bastian.

Kirana buru-buru menggeleng. "Gak mengacaukan kok. Justru aku yang harus berterima kasih ke kamu. Kamu membelaku di depan keluargaku dan menyelamatkanku dari kencan itu."

"Kok menyelamatkan dari kencan? Memang kamu gak suka kencan sama cowok itu?" tanya Bastian penasaran.

"Gak suka banget malah. Sebenarnya aku kencan sama cowok itu karena Vero, sahabatku menjodoh-jodohkanku sama tuh cowok. Aslinya aku malas banget datang. Cowok itu benar-benar sombong. Rasanya bosan setengah mati pas ngobrol sama cowok itu," cerita Kirana sambil menggeleng-geleng kesal.

"Menurutku kamu gak bicara lancang di depan keluargaku kok. Terima kasih karena sudah membelaku, Bas," kata Kirana tulus. "Kalau kamu gak datang, mungkin aku akan semakin dimarahi mereka."

Bastian melihat wajah sedih Kirana begitu menyebut kata 'keluarganya'. Seolah keluarganya adalah beban yang sangat berat untuknya.

"Kamu gak terlalu dekat dengan keluargamu ya, Kir?" tanya Bastian tiba-tiba.

Kirana diam sejenak. "Mmm.. aku malu harus mengakui kalau memang aku gak dekat dengan keluargaku. Aku gak terbiasa pergi makan malam dengan ayah, ibu tiri dan adik tiriku. Kalau aku makan bersama mereka suasananya jadi canggung. Gak enak banget rasanya."

"Orang tuamu bercerai?"

Kirana mengangguk. "Iya. Mereka udah bercerai sejak aku masih kelas 5 SD. Lalu ayahku menikah lagi. Dan ibu tiriku itu dulunya selingkuhan ayahku. Jadi bisa kamu bayangkan kan rasanya harus satu meja makan dengan orang-orang yang menghancurkan keluargamu rasanya gimana?"

Bastian mengangguk setuju. Ia sadar bahwa tidak mungkin seorang anak bisa tertawa bahagia makan malam dengan orang-orang yang menghancurkan keluarganya. Tidak mungkin seorang anak bisa begitu saja melupakan trauma masa lalunya.

"Bastian, terima kasih juga karena pura-pura jadi 'pacar kaya'. Berkat kata-katamu mereka gak akan memandang rendah ke aku lagi," senyum Kirana mengembang. "Oh ya ngomong-ngomong kamu tahu dari mana kalau aku bekerja keras menjaga UGD supaya gak merepotkan keluargaku lagi?

"Kelihatan banget kalau kamu itu tipe wanita pekerja keras. Buktinya pas aku di rumah sakit, kamu mondar-mandir merawat pasien dan UGD. Belum lagi pas kamu shift jaga anak-anak kanker," Bastian menjelaskan. "Dari situ aku asumsikan Dokter Kirana gak ingin merepotkan keluarga."

"Oh gitu," Kirana tertawa.

Bastian tidak pernah merasa begitu lega dan bahagia hanya dengan mendengar suara tawa Kirana. Tawanya Kirana yang begitu lega. Seolah beban berat yang berada di pundaknya baru saja terlepas.

"Oke, Kirana," Bastian ikut tertawa. "Jadi kita mau kemana?"

"Kalau gak keberatan bisa antar aku pulang aja?"

Bastian mengangguk. "Oke. Ayo kita pulang."