Chereads / CEO's Beloved Doctor / Chapter 25 - Ibu yang Ingin Pergi

Chapter 25 - Ibu yang Ingin Pergi

[Bastian: Apa kamu sudah di rumah sakit?]

Kirana buru-buru membalas.

[Kirana: Belum. Aku masih di apartemen]

[Bastian: Mau kujemput?]

[Kirana: Gak usah, Bas. Vero mau mengantarku ke rumah sakit kok]

[Bastian: Oke. Selamat bekerja, Kirana]

Kirana sangat senang. Sejak kejadian rumah sakit diserbu banyak wartawan, Bastian jadi sering menghubunginya. Sering bertanya Kirana sedang dimana, sedang apa, kapan pulang dan apakah sudah makan.

Jauh di dalam lubuk hati Kirana ia bertanya-tanya. Apa yang membuat Bastian begitu memperhatikan dirinya? Apakah pria itu khawatir atau hanya berusaha menebus kebohongannya soal berpacaran dengan Kirana?

"Kiranaa!" Vero melambai-lambaikan tangannya di depan wajah sahabatnya.

Kirana yang sedang melamun jadi tersentak kaget.

"Ini udah jam berapa? Katanya mau buru-buru ke rumah sakit," omel Vero.

"Sori, sori, Ver," kata Kirana buru-buru memasukkan handphone dan dompet ke dalam tasnya.

Vero menyipitkan mata. "Itu tadi yang chat siapa sih? Kok kamu senyum-senyum sendiri?"

"Bukan siapa-siapa."

"Jangan-jangan si Bastian ya?" Vero makin penasaran.

Kirana malas sekali kalau sahabatnya menduga dirinya punya ketertarikan dengan Bastian. Nanti Vero akan mulai menasehati untuk tidak menolak Bastian seperti tempo hari lagi.

"Udah, jangan banyak tanya. Hari ini aku punya pasien penting yang harus ku cek kondisinya," Kirana langsung menggandeng tangan Vero menuju pintu.

Belum sempat protes dan mengintrogasi lebih lanjut, Kirana sudah menyeret Vero. Hari ini dia memiliki pasien yang penting. Pasien yang dua hari belakangan ini membuat Kirana khawatir.

….

Kirana baru saja sampai di rumah sakit.

"Dok," seorang perawat memanggil Kirana.

"Apa apa, Sus?" tanya Kirana.

"Pasien percobaan bunuh diri kemarin sudah sadar," si perawat memberi tahu.

"Oke. Setelah ini aku akan memeriksanya," kata Kirana. Ia berjalan menuju ruang kerjanya untuk berganti pakaian.

Kirana masuk ke ruang pemulihan di lantai 2. Kemarin Bastian membayar seluruh biaya rumah sakit dan memindahkan ibu Leon ke kamar VIP agar lebih nyaman.

Di dalam ruangan VIP, seorang wanita berambut pendek sedang duduk melamun diatas tempat tidur. Matanya menerawang ke jendela.

"Selama pagi, Bu," sapa Kirana.

Ibu Leon menoleh. "Pagi, Dok."

"Gimana perasaan ibu sekarang? Apa masih ada yang terasa sakit?" tanya Kirana sambil memeriksa luka di tangan ibu Leon.

"Sudah mendingan kok, Dok," jawabnya datar.

Kirana mengecek tekanan darah, detak jantung dan mengganti infus ibu Leon. Ia sangat lega dengan kondisi ibu Leon yang mulai membaik.

Dibandingkan kemarin, ibu Leon tampil dengan wajah yang lebih segar dan tidak pucat. Meski begitu Kirana bisa melihat ekspresi sedih dan tertekan di wajah ibu Leon.

"Leon sangat khawatir dengan ibu," Kirana memulai pembicaraan sambil menyiapkan jarum suntik.

Ibu Leon memandang ke arah Kirana. "Apa dia baik-baik saja?"

Kirana mengangguk. "Dia baik-baik saja. Dia menginap di bangsal anak-anak bersama pasien anak lainnya. Dia gak mau pulang ke rumah sejak ibu di rawat di sini. Dia bahkan bertanya pada saya dan dokter-dokter lainnya kapan ibunya sembuh."

Ibu Leon terdiam. Kedua matanya mulai berkaca-kaca.

"Dia anak yang sangat baik," kata ibu Leon.

Kirana setuju. Leon anak yang baik dan dewasa. Untuk seukuran anak seusianya, Leon tampak tegar dan menunjukkan bahwa ia kuat.

Kemarin sebelum Kirana pulang ke apartemen, ia melihat Leon membawakan bunga yang dipetiknya dari taman rumah sakit. Leon memasukkan bunga-bunga itu ke vas yang terletak di sebelah ranjang ibunya.

Kirana juga melihat Leon membelai rambut dan mencium kedua pipi ibunya yang sedang tidur dengan penuh kasih. Hati Kirana sangat terharu melihat semua itu.

"Dokter, apakah tahu tempat yang aman untuk anak yatim piatu tinggal?" tiba-tiba ibu Leon bertanya.

"Saya tahu, Bu. Salah satu teman kuliah saya membuka sebuah yayasan untuk anak-anak yatim piatu. Mirip panti asuhan tapi lebih baik. Soalnya anak-anak di sana diberi pelatihan dan dibiayai sekolah," cerita Kirana.

"Oh begitu," ibu Leon mengangguk pelan.

"Kenapa ibu bertanya begitu?"

Ibu Leon tersenyum lemah. "Gak apa-apa kok, Dok. Saya cuman penasaran aja."

….

Kirana, Mita dan Yudhistira sedang makan siang di kafetaria. Mereka sedang beristirahat setelah seharian memeriksa semua pasien kecelakaan di UGD hari ini.

"Jadi pasien yang mencoba bunuh diri itu selamat?" tanya Mita.

Kirana menyuapkan mi ayam ke mulutnya. "Iya. Tadi pagi aku udah ngecek kondisinya. Mulai membaik. Cuman butuh istirahat beberapa hari lagi."

"Wah wah aku gak nyangka di jaman sekarang masih ada orang yang pengen bunuh diri. Pasti dia punya masalah yang berat banget," kata Mita.

Yudhistira mengangguk. "Aku rasa di jaman sekarang makin banyak orang yang pengen bunuh diri deh. Hidup makin berat sekarang."

"Itu yang namanya depresi. Mereka butuh penanganan dari psikiater. Sayangnya di Indonesia orang-orang depresi jarang pergi ke psikiater," Mita menghela napas sedih.

"Karena masyarakat kita kejam. Orang yang pergi ke psikiater malah di cap gila," Yudhistira menimpali.

Mendengar kedua sahabatnya berbicara soal depresi, Kirana jadi tersentak.

"Mit, kamu masih ingat gak ciri-ciri orang depresi?" Kirana sontak bertanya pada Mita.

"Lho emang kamu gak tahu ciri-cirinya? Bukannya pas kuliah dulu kita belajar tentang itu?"

Kirana meringis. "Aku lupa."

Mita cuman geleng-geleng kepala. "Ciri depresi itu mengalami cemas berlebihan, emosinya gak stabil dan putus asa."

Tiba-tiba pikiran Kirana mengingat pertemuannya dengan ibu Leon tadi pagi. Ibu Leon menanyakan pertanyaan apakah ada tempat yang aman untuk anak yatim piatu tinggal. Lalu ekspresi ibu Leon dengan mata berkaca-kaca hampir menangis tiba-tiba berubah tersenyum. Emosinya tidak stabil.

"Astagaaaa… gawat!" Kirana tersentak lalu berdiri dari kursi.

Yudhistira dan Mita kaget bukan main.

"Harusnya aku gak meninggalkan ibunya Leon sendirian di ruang pemulihan."

"Hah maksudnya?" Yudhistira ikutan bingung.

Tanpa mempedulikan pertanyaan kedua sahabatnya, Kirana buru-buru berlari ke lantai 2 menuju ruang pemulihan ibunya Leon. Kirana sangat cemas. Ia harap dugaannya barusan salah.

Kirana lupa kalau ibunya Leon mengalami depresi. Ia hanya sekedar memeriksa kondisi fisik ibu Leon. Padahal yang sakit bukan fisik tapi jiwanya.

Ketika masuk ke ruang pemulihan ibu Leon, Kirana tidak menemukan keberadaan wanita itu. Kirana hanya menemukan sepucuk surat berisi tulisan:

Tolong jaga Leon. Tolong bawa dia ke yayasan yang aman.

Mati aku, batin Kirana. Ia mencari ke seluruh kamar dan seluruh ruangan di lantai 2. Sayangnya tidak ada tanda-tanda keberadaan wanita itu.

"Suster," Kirana memanggil beberapa perawat di lantai 2 dengan panik. "Tolong cek semua tempat di rumah sakit. Ada pasien yang kabur."

Mendengar Kirana berkata ada pasien yang kabur, seluruh perawat jadi sibuk memeriksa setiap sudut rumah sakit. Bahkan Kirana menyuruh tim pengaman rumah sakit untuk ikut membantu pencarian.

Di tengah pencarian ibu Leon yang menghilang, Kirana mengingat wajah polos Leon. Apa jadinya kalau sampai Leon tahu semua kejadian ini? Kirana tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati bocah manis itu.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Kirana berharap dugaannya salah. Ia berharap ibu Leon yang kena depresi tidak mencoba bunuh diri sekali lagi.