Flashback 08.00
Bastian tersenyum memandangi layar ponselnya. Ia sangat senang setelah mengirim pesan menanyakan keberadaan Kirana. Ia lega gadis itu baik-baik saja dan tidak terlibat masalah.
Entah sejak kapan, Bastian selalu mengkhawatirkan Kirana. Ia selalu merasa gadis itu selalu dalam bahaya dan kesulitan. Sejujurnya kalau ada kesempatan ingin rasanya pergi ke rumah sakit setiap hari sekedar melihat aktivitas Kirana.
Sayangnya semua itu tidak mungkin. Ada banyak proyek dan klien yang harus diurus Bastian. Belum lagi Bastian masih harus memperhatikan kinerja Adi, asistennya.
"Ehem," Adi membuyarkan lamunan Bastian. Ia sudah bisa menduga kenapa mood tuannya bagus hari ini. Pasti karena Dokter Kirana.
Bastian menatap Adi.
"Mobil sudah siap, Tuan," kata Adi.
Hari ini Bastian akan menengok proyek di Serang. Bastian berniat membuat kantor cabang disana.
Bastian bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu keluar rumahnya.
….
Adi sedang duduk di bawah pohon. Kakinya pegal sekali. Sudah dua jam lebih ia mengikuti Bastian berjalan kesana kemari untuk mengecek bagaimana pembangunan kantor cabang di Serang.
Yang bikin Adi geleng-geleng kepala adalah tuannya sama sekali tidak lelah. Mungkin karena tuannya setiap hari gym. Apakah aku juga harus gym biar kuat kayak Tuan Bastian, batin Adi.
Kalau Adi tidak memohon supaya diijinkan untuk istirahat, ia yakin dirinya sudah di seret Bastian ke kota-kota lain untuk melihat proyek disana. Bastian memberi Adi waktu 1 jam sebelum mereka melanjutkan perjalanan untuk rapat di Tangerang.
Adi membuka smartphonenya. Ia ingin mengecek sosial media. Sekarang Adi sudah punya Instagram setelah Bastian bilang kalau dirinya ketinggalan jaman.
Di Instagramnya muncul berita "Seorang Dokter Berniat Bunuh Diri." Berita itu dilengkapi foto seorang dokter dan pasien sedang berdiri di tepi atap rumah sakit. Waktu Adi memperhatikan dengan seksama, ia bisa melihat kalau orang di foto itu adalah Dokter Kirana. Mata Adi mendelik. Ia bahkan mengucek-ucek kedua matanya.
Ini benar-benar foto Dokter Kirana!
"Astaga!!!!" Adi langsung berlari panik. Dia harus segera memberi tahu tuannya.
Bastian sedang memeriksa desain kantor cabangnya. Dia ingin melihat seperti apa rancangan arsitektur beserta rancangan interior gedungnya ini.
"Tuaaaannnnn..." Adi berteriak sambil berlari tunggang langgang.
Bastian hanya bisa mendengus kesal melihat tangkah polah asistennya. Harusnya dulu aku tidak menerima Adi sebagai asistenku, batinnya.
"Ada apa?"
"Ya Tuhan gawat. Gawat, Tuan!" kata Adi sambil ngos-ngosan.
"Gawat apanya sih, Di?" alis Bastian naik. Ia bingung.
"Dokter Kirana mau bunuh diri," kata Adi.
Bastian langsung memandang Adi dengan tatapan serius.
"Apa maksudmu?!"
Adi menunjukkan berita yang muncul di sosial media.
Deg!
Tanpa Bastian sadari dia melepaskan dokumen yang sedang diperiksanya. Bastian langsung berlari menuju mobil.
Adi kaget dan tidak menyangka tuannya akan berlari menuju mobil. Ia pun mengejar.
"Tuan mau kemana? Habis ini kita ada rapat di Tangerang," Adi berusaha menghalangi Bastian masuk ke mobil.
Dengan satu hentakan tangan Bastian berhasil menyingkirkan Adi yang menghalanginya masuk ke mobil. "Batalkan semua rapat!"
Sedetik kemudian Bastian sudah menyalakan mobil dan menjalankan mobil sedannya dengan kecepatan tinggi.
"Sial, sial, sial!!!" Adi mengutuki dirinya sendiri.
Gara-gara omongannya barusan, Bastian jadi langsung tancap gas kembali ke Jakarta. Padahal mereka akan mendatangi rapat yang penting.
Adi hanya bisa menghentak-hentakkan kakinya sebal. Setiap Bastian membatalkan rapat dirinya lah yang akan kerepotan. Harus menghubungi seluruh orang kalau rapat di batalkan, menjadwalkan ulang rapat dan mencari seribu satu alasan agar klien tidak marah karena rapat dibatalkan.
Kuku-kuku jari Bastian memutih. Tangannya berkeringat dingin. Ia sangat panik. Selama 28 tahun hidup belum pernah ia merasa sepanik dan sekhawatir saat ini.
Dengan mata kepalanya, ia melihat Kirana sedang berdiri di pinggiran atap rumah sakit bersama seorang pasien. Kirana ingin bunuh diri. Dia harus mencegah gadis itu. Apapun caranya. Dia tidak akan membiarkan Kirana meninggalkannya begitu saja.
Bastian menyetir gila-gilaan. Dia memacu mobil dengan kecepatan sangat tinggi di jalan. Pikirannya sedang kalut. Dia tidak bisa membayangkan Kirana mati lompat dari gedung rumah sakit.
Berkali-kali Bastian menelpon ponsel Kirana tapi tidak ada jawaban. Pikiran-pikiran buruk mulai bergelayut di otaknya. Bagaimana kalau dirinya sudah terlambat untuk menemui gadis itu? Bagaimana kalau pesan tadi pagi adalah pesan terakhirnya bersama Kirana?
Sesampainya di Rumah Sakit Amerta, Bastian langsung memarkirkan mobilnya sembarangan. Ia tidak peduli akan kena tilang karena di pikirannya hanya satu. Kirana.
Bastian berlari memasuki rumah sakit. Dia bertanya pada setiap perawat bagaimana keadaan Kirana. Bastian takut kalau Kirana benar-benar melompat. Apa yang harus ia lakukan jika Kirana tidak ada lagi di dunia?
Setelah mencari-cari sosok Kirana, Bastian melihat seoarang gadis berbaju dokter sedang berdiri di taman belakang rumah sakit. Wajahnya pucat dan matanya lelah. Itu Kirana.
Tidak ada kata yang bisa menggambarkan betapa leganya melihat Kirana masih berdiri dan bernapas. Kirana masih ada di dunia yang sama dengannya. Seolah semua kecemasan dan ketakutan Bastian sirna.
Bastian berlari ke arah Kirana dan langsung memeluk gadis itu. Kalau tidak ada orang di rumah sakit pasti Bastian sudah meneteskan air mata bahagia.
"Syukurlah kamu baik-baik aja," katanya penuh kelegaan. Bastian bisa bernapas. Cahaya yang menyinari hidupnya tidak redup ataupun mati.
Bastian melepaskan pelukannya. Ia memagang wajah Kirana mencari apakah gadis itu terluka atau sakit.
"Apa kamu gak tahu kalau aku hampir gila melihat berita kamu mau lompat dari gedung? Apa yang kamu pikirkan, Kirana? Kenapa kamu mau bunuh diri? Apa kamu ada masalah?" Bastian mencecar Kirana dengan banyak pertanyaan.
Kirana hanya bisa merunduk. Ia merasa bersalah pada Bastian. Pasti pria itu mengkhawatirkan dirinya yang bertindak bodoh.
"Maaf," hanya itu kata yang bisa keluar dari mulut Kirana.
"Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu dan ibu Leon harus ada di pinggir atap seperti itu?" kini Bastian memegang bahu Kirana dan menatapnya lurus-lurus.
"Sebenarnya aku gak berniat bunuh diri."
"Lalu?" tanya Bastian.
Kirana menghela napas. "Sebenarnya itu caraku untuk mencegah ibu Leon lompat dari gedung."
"Maksudmu dengan mencegah itu kamu juga harus berdiri di atap gedung yang berbahaya itu?"
Bastian kehilangan kata-kata. Dia sangat tidak memahami bagaimana Kirana melakukan hal berbahaya seperti itu demi pasiennya.
"Maaf," Kirana menyesal.
"Mulai sekarang kamu gak boleh melakukan hal-hal berbahaya lagi. Kalau sampai kamu melakukannya sekali lagi, aku akan…"
Bastian menghentikan kalimatnya. Ia bingung harus mengatakan apa. Ia melihat Kirana sedang menatapnya penasaran akan kelanjutan kalimat itu.
Aku akan hancur, batin Bastian.
"Mmm… aku akan marah padamu," Bastian berbohong. Ia tidak berani mengungkapkan isi hatinya.
Kirana tersenyum lemah. "Iya aku janji gak akan berbuat sembrono lagi."
"Oh ya bagaimana keadaan ibu Leon? Bagaimana keadaan Leon?" Bastian bertanya.
"Entahlah. Setahuku Yudhistira yang merawat mereka sekarang."