Yudhistira dan Kirana sedang berjalan santai setelah rapat bulanan dengan seluruh tim dokter di Rumah Sakit Amerta. Setelah menghadiri 2 jam rapat yang sangat membosankan, akhirnya mereka bisa pergi ke kafetaria untuk makan.
"Aku heran deh sama Pak Tanjung. Bisa-bisanya dia membahas gosip kamu pacaran dengan cucu konglomerat Dewandra pas rapat tadi," celetuk Yudhistira.
Ekspresinya kesal. Ia ingin sekali menghentikan ocehan Pak Tanjung soal gosip pacaran itu. Tapi urung dilakukannya karena ada Kirana di dalam ruang rapat.
Kirana setuju dengan ucapan Yudhistira.
"Pak Tanjung sukses bikin aku malu di depan semua dokter. Kalau aku gak ingat dia yang menggajiku, udah aku sumpal mulutnya," Kirana kesal.
Kirana mendengus sebal.
Dia mengingat kembali saat Pak Tanjung, manajer rumah sakit membahas isu kedekatan dirinya dengan Bastian. Pak Tanjung bahkan bilang kalau Kirana adalah dokter yang sangat beruntung karena disukai oleh seorang cucu konglomerat.
Parahnya semua dokter di ruang rapat setuju. Bahkan beberapa dokter menasehati untuk segera menikahi pria kaya. Ada dokter senior yang bilang kalau putrinya menikahi cucu konglomerat dan hidup dengan sangat nyaman, tidak perlu bekerja dan hanya mengurus anak.
Di sisi lain ada juga berbisik-bisik kalau Kirana mulai mendekati pria kaya. Mereka tidak menyangka kalau Kirana yang hidupnya hanya bekerja bisa punya waktu untuk pacaran.
"Hari ini kamu mau makan apa?" tanya Yudhistira untuk mengalihkan kekesalan Kirana.
"Aku pengen makan bakso," kata Kirana.
Dia mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Tepatnya saat ia dan Bastian makan malam di sebuah restoran mewah. Kirana yang tidak terbiasa makan makanan mahal tidak nyaman. Untung Bastian sadar akan hal itu.
Bastian mengajak Kirana makan di tempat yang membuat gadis itu nyaman. Kirana menyarankan agar mereka makan bakso di pinggir jalan dekat apartemennya.
Seumur hidup Kirana belum pernah melihat ekspresi terkejut seseorang ketika pertama kali makan bakso di pinggir jalan. Bastian kaget luar biasa dengan rasa bakso itu.
Bahkan dengan polos dia bilang baru pertama kali makan bakso di pinggir jalan setelah 28 tahun hidup di dunia. Dia mengaku kalau orang tuanya selalu melarang untuk makan di pinggir jalan. Namun berkat Kirana, ia bisa mencicipi makanan enak di pinggir jalan.
Kirana jadi senyum-senyum sendiri mengingat semua kejadian itu. Tiba-tiba dia merindukan momen makan dengan Bastian.
Saat perjalanan menuju kafetaria, Yudhistira dan Kirana melihat sebuah ranjang pasien di dorong terburu-buru menuju UGD. Salah seorang perawat berlari ke arah Kirana dan Yudhistira.
"Dokter Yudhis, Dokter Kirana, gawat ada pasien darurat di UGD sekarang!" kata perawat itu panik.
Mau tidak mau Kirana dan Yudhistira langsung berlari ke UGD. Sesampainya di UGD mereka melihat wanita berumur 30an sedang terbaring pucat diatas ranjang pasien. Tangannya kanannya robek. Tepat diatas pembulu nadi.
"Apa yang terjadi?" Yudhistira bertanya pada perawat yang sedang memasangkan infus.
"Sepertinya ibu ini mencoba bunuh diri, Dok," kata perawat.
Deg.
Mendadak tubuh Kirana menegang. Dia tidak menyangka akan melihat pasien percobaan bunuh diri di depan matanya.
"Anaknya pasien ini ada di luar, Dok. Katanya dia yang menemukan ibunya mencoba bunuh diri di kamar mandi dengan pisau. Sekarang anaknya diluar," lanjut perawat itu.
Melihat Kirana yang diam tegang tak berkutik, Yudhistira mengambil alih memberikan pertolongan pertama untuk si pasien. Ia membersihkan luka di tangan si ibu. Lalu mulai menjahit lukanya.
"Sus, ambilkan persediaan darah. Pasien ini kehabisan banyak darah," Yudhistira memberi instruksi.
Kirana masih mematung. Ia tidak bisa bergerak untuk membantu Yudhistira menolong pasien itu.
"Kir, mending kamu istirahat aja. Aku bisa menangani ini sendirian," kata Yudhistira.
Kirana hanya mengangguk lemah.
Dia berjalan lemah keluar dari UGD. Melihat tangan yang berlumuran darah, Kirana teringat masa lalunya. Masa lalu yang membayangi tidurnya selama sepuluh tahun terakhir.
Ibunya yang paling dicintai di dunia juga bunuh diri. Bedanya ibunya memilih lompat dari atap rumah susun alih-alih memotong nadinya.
Sejak saat itu Kirana selalu takut melihat orang yang mencoba bunuh diri. Apalagi kalau ada pasien percobaan bunuh diri. Kirana mendadak lemah, takut darah dan jantungnya berdebar-debar.
Sekarang Kirana hanya bisa duduk lemas di depan UGD. Ia tidak punya tenaga untuk melangkahkan kakinya kemanapun.
Lalu seorang perawat mendekatinya. "Dok, itu anaknya pasien tadi."
Tak jauh dari tempat Kirana duduk, ada seorang anak kecil laki-laki. Usianya sekitar 12 tahun. Tubuhnya kurus dan kulitnya gelap. Kirana melihat anak itu terisak di kursi.
"Oke, aku akan coba bicara dengan anak itu," kata Kirana pada perawat.
Kirana memberanikan diri menghampiri si anak.
"Halo, nama kamu siapa?" Kirana bertanya dengan hati-hati.
Anak itu mendongak menatap Kirana dengan kedua mata sembabnya. "Leon."
"Kamu bisa panggil kakak Dokter Kirana. Kakak ini dokter yang merawat ibumu," Kirana memperkenalkan diri.
Kirana duduk di samping bocah bernama Leon itu. Ia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan mulai menghapus air mata di wajah bocah itu.
"Jangan khawatir, Leon. Ibumu bakal baik-baik aja. Dokter akan berusaha menyelamatkannya," kata Kirana sambil menepuk-nepuk pundak Leon.
Leon diam tak bergeming. Ia masih menangis.
Kirana sangat memahami perasaan terpukul yang dialami Leon. Anak itu masih kecil tapi harus melihat ibunya berusaha bunuh diri.
"Ayo kita makan. Kamu pasti lapar," ajak Kirana.
Kirana menggandeng Leon menuju kafetaria. Bocah itu menurut dan mengikuti Kirana.
Di kafetaria, Kirana memesankan Leon semangkuk sup ayam, susu coklat hangat dan kue.
Leon sudah tidak menangis lagi namun tetap diam. Ia tidak makan meskipun makanannya sudah ada di depan mata.
"Leon," Kirana memanggil bocah itu.
Leon tetap dia. Dia sedang melamun.
Kirana melambai-lambaikan tangannya ke Leon. "Leon."
Leon tersadar dari lamunannya. Ia memandang Kirana dengan tatapan sedih.
"Kenapa gak makan? Nanti makanannya keburu dingin lho," kata Kirana.
"Apa ibuku bisa selamat?" Leon tiba-tiba bertanya.
Kirana mengangguk. "Pasti. Ibumu pasti selamat."
Berikutnya Leon mulai menangis lagi. Kirana sampai bingung. Apakah aku baru saja mengatakan kata-kata yang membuat Leon sedih lagi, batinnya.
"Leon kenapa menangis?" Kirana mengusap kepala Leon.
Leon terisak. "Leon takut sama kondisi ibu. Leon juga takut kalau gak bisa bayar biaya rumah sakit."
Mendengar pengakuan Leon, hati Kirana terasa disayat. Ia merasakan kesedihan Leon. Kirana merasa melihat cerminan dirinya ada pada Leon.
Sewaktu kecil, Kirana pernah mengalami masa-masa yang berat. Setelah perceraian kedua orang tuanya, Kirana tinggal bersama adik laki-laki dan ibunya di sebuah rumah susun kecil. Suatu kali saat Kirana masih duduk di kelas 6 SD, ibunya kena demam tinggi sampai harus masuk ke rumah sakit.
Sayangnya pihak rumah sakit menolak merawat ibunya karena tidak memiliki biaya. Sampai akhirnya ibunya jatuh pingsan di rumah sakit karena demam tinggi.
Saat itu Kirana hanya bisa memeluk adiknya, Keenan. Ia tidak tahu harus berbuat apa agar ibunya bisa sembuh. Untung sahabat ibunya datang dan mau membantu membiayai pengobatan.
"Leon jangan sedih. Kita akan mencari cara untuk membayar biaya rumah sakit," Kirana berusaha menenangkan hati Leon.
Leon memeluk Kirana dengan erat.
"Kalian jangan khawatir," sebuah suara muncul dari belakang Kirana. Itu suara Bastian.
Bastian sedang berdiri tepat di belakang Kirana. Ia mendengar semua percakapan Leon dan Kirana dari tadi.
Bastian berjongkok di sisi Leon. Ia mengusap kepala Leon. "Jangan khawatir. Nanti kakak akan bantu biaya rumah sakitnya ya. Kamu harus makan. Jangan menangis lagi."
"Benarkah?" tanya Leon sambil mengucek matanya.
Bastian tersenyum. "Tentu saja."
Dalam hati Kirana sangat lega melihat Bastian menawarkan diri untuk membantu kesulitan Leon dan ibunya.