Semenjak kepulangannya dari Apotik, Alea masih saja merutuki kebodohannya.
Yang mau menikah dengan Erwin, dan sanggup mencintainya meskipun hati Alea berkata tidak.
"Tuhan please help Me," pinta Alea didalam hatinya.
Meminta pertolongan yang maha kuasa, setelah apa yang ia sanggupi dan berujung keresahan.
Ponsel Alea berbunyi, satu pesan dari Erwin masuk yang menanyakan dirinya sedang apa.
Alea hanya menjawab seperlunya, tak ada yang ingin Alea bahas dengan Erwin toh gimana lagi meskipun ada Alea sangat malas untuk berbicara dengan lelaki itu.
Kini Alea menjatuhkan tubuhnya dikasur miliknya, sambil menatap langit-langit kamar dan memikirkan tentang pernikahannya.
"Apakah Ayah akan baik-baik saja, jika bilang kalo Erwin bukan yang diharapkan," gumannya dalam hati.
Alea mengacak rambutnya sendiri, merasa gemas dengan otaknya yang tak mampu bergerak cepat untuk mencari solusinya.
Merasa tiduran tak menemukan ide dan hal apapun, Alea kembali bangun kini ia berjalan menuju lemarinya dan menarik laci kecil yang berisi foto seseorang lelaki yang Alea tunggu selama ini.
Lelaki yang memakai kemeja pantai itu terlihat tersenyum, sambil memasang gaya coolnya.
Menambah kadar ketampanan Herdy, "Pulang Her, aku butuh kamu," lirih Alea sendu.
Hatinya menjerit menangis karena harus menikah dengan lelaki yang tak dicintai olehnya sama sekali. "Aku mungkin akan melupakan kamu selamanya, cepatlah pulang dan nikahi aku," guman Alea kembali.
Pintu kamar Alea terdengar ada yang mengetuk, Alea segera mengusap lelehan air matanya yang tak sengaja jatuh.
Dengan cepat Alea kembali memasukan foto Herdy, dan segera membuka pintu kamar miliknya.
"Ayah.." kata Erin.
Ayahnya itu tersenyum, "Boleh Ayah masuk?" tanyanya.
Alea kemudian membukakan pintu lebar-lebar, agar Ayahnya bisa masuk kemudian Alea mendorong kursi rodanya.
"Ayah mau ngomong apa?" tanya Alea, kala dirinya tengah duduk dipinggiran kasur.
Lelaki tua tersebut terlihat mendesah pelan terlihat berat untuk membuka suaranya.
"Ayah cuman mau pesen sama kamu sekali lagi, Nduk. Jangan sampe kamu membuat Erwin kecewa, terima dia apa adanya, karena Mas Erwin pun menerima kamu apa adanya," Ayah Alea menjeda sedikit ucapannya. Karena napasnya terasa berat kala berbicara.
"Cinta bisa datang jika kalian bisa bersama, yang terpenting kamu mau membuka hatimu dan menerimanya," sambungnya kemudian.
Alesa hanya bisa terdiam, semua yang diucapkan oleh Ayahnya tak ada yang salah.
Semuanya benar, "Lea minta maaf, Yah. Lea memang masih belum bisa menerima Mas Erwin, karena masih menunggu seseorang," ucapnya pelan.
Alea hanya mampu menundukan kepalanya, tak sanggup jika harus melihat wajah sang Ayah.
Alea takut jika Ayahnya kecewa kepadanya, bukan hanya itu Alea pun tak bisa mempertahankan Herdy.
"Nduk, jika seseorang yang kamu tunggu itu masih belum datang. Lebih baik kamu lupakan, Lelaki yang serius tak akan menunda untuk meminang wanitanya," ucapan Ayah Alea merasa sangat menusuk ke jantung hatinya.
Tak sedikit pun salah, benar sangat benar dan itu kenyataan jika Herdy memang serius kepadanya mungkin lelaki itu telah melamarnya dan datang kerumah untuk menemui Ayahnya.
Sejenak hening sesaat kemudian Alea mendongkak kan wajahnya, menatap Ayahnya yang tengah tersenyum.
"Alea akan membuka hati untuk Mas Erwin, Yah." Tak ada lagi yang harus Alea khawatirkan bukan.
Erwin mungkin memang jodohnya yang nyata, dan hal itu membuat Ayah Alea senang dan merasa bahagia mendengar ucapan sang putri yang mau menerima Erwin disisinya.
"Ayah harap kamu bahagia, lupakan yang tak serius kepadamu, Nduk," Ayah Alea pun pamit.
Setelah menasehati putrinya itu, dari hari kemarin gelagat Alea memang telah terbaca oleh dirinya.
Maka dari itu lelaki tersebut segera menasehatinya, tak ingin jika putrinya terus berharap kepada yang tak pasti bahkan tak pernah sama sekali menampakan batang hidung dihadapannya.
Sementara Alea hanya mampu menangis pilu, harapan untuk menikah dengan lelaki pilihannya harus kandas dan sirna begitu saja.
Namun bagaimana lagi, Herdy telah ingkar dan tak muncul kembali setelah bertahun-tahun pergi.
***
Pagi-pagi sekali Erwin telah mendatangi rumah Alea, membawa sekeranjang buah-buahan yang segar.
"Selamat pagi, Ayah," sapa Erwin kemudian menyalami tangannya.
"Wah terima kasih Nak, sudah mau datang pagi-pagi," ujar Ayah Alea.
Erwin hanya tersenyum, hari ini adalah jadwal kontrol gula darah calon mertuanya.
"Lea dimana Yah?" tanya Erwin, ketika tak melihat sosok Alea disisi sang Ayah.
"Ada didalam lagi ambil air, bentar lagi dateng. Tuh dia," sosok Alea terlihat muncul dan segera mengunci pintu.
"Eh ada Mas Erwin," kata Alea.
Sedikit aneh sebenarnya jika harus mulai menyukai Erwin, "Pelan-pelan, ngga usah terburu-buru," ujar Erwin.
Alea sedikit meringis, sangat ketara sekali wajahnya untuk memaksakan sesuatu.
"Ayo berangkat," Ayah Alea menjadi penyelamat untuk Alea yang tengah kikuk.
Erwin mengambil alih kursi roda dan mendorongnya, sementara Alea hanya mengekori Erwin dari belakang.
"Ayah duduk dibelakang aja, biar kamu didepan bareng Mas Erwin," ujar sang Ayah.
Alea hanya mengangguk patuh, tak mungkin menolak permintaan Ayahnya.
Erwin mengusap pundak Alea dengan lembut, "Kalo keberatan bisa dibelakang kok," bisiknya agar calon mertuanya tak mendengar.
"Aku nggak apa-apa kok Mas, tenang aja," balasnya.
Erwin merasa lega jika Alea memang tak keberatan sama sekali, syukur-syukur untuknya bisa melihat Alea dari jarak dekat.
Mobil yang dikendari Erwin pun melaju, membelah jalanan menuju rumah sakit terbesar dikota tersebut.
Sepanjang jalan Erwin mencoba mengobrol ringan, Alea pun membalas dengan bertanya ini itu membuat orang tua dibelakangnya tenang.
"Nanti Ayah agak lama, kalian tunggu diluar aja ngga usah ikut kedalam," pinta Ayah Alea.
"Baik Ayah." Sahut Alea dan Erwin kompak.
Setelah sampai di Rumah Sakit dan Ayah Alea masuk kedalam ruangan, Erwin terlihat duduk disamping Alea.
Bersisian hingga jarak pun hanay beberapa sentimeter, bisa dihitung oleh jari.
"Haus enggak?" tanya Erwin.
Alea mengeleng pelan, "Aku bawa minum kok Mas," sahutnya.
Erwin terkekeh pelan merasa konyol, bukankah tadi calon mertuanya bilang jika Alea tengah mengambil air minum.
Erwin mengaruk tengkuknya yang tak gatal, mencoba meredakan rasa malu yang tiba-tiba saja menyerangnya.
"Mas Erwin haus?" kini Alea bertanya balik.
"I—y-ya," sahutnya gugup.
Alea menyodorkan botol minumnya, kemudian Erwin raih dan membukanya karena rasa malu tadi.
Erwin meminum air tersebut dengan cepat, hingga air didalam botol tandas seketika.
"Mas habisin ya, maaf." Ringisnya.
Alea hanya tersenyum kecil merasa terhibur oleh tingkah konyol Erwin.
"Ngaak apa-apa kok Mas, nanti kalo aku haus tinggal beli," terangnya.
Erwin merasa tak enak hati dengan hal itu, "Mas beliin aja ya?" tawarnya.
Alea mengeleng bersungguh-sungguh jika ia beneran tak apa-apa.
"Maaf sekali lagi," sesal Erwin sambil mengenggam tangan Alea.
Pintu ruangan terbuka tiba-tba sosok Ayah Alea pun keluar dari ruangan tersebut, "Walinya di panggil sama Dokter," kata sang suster mendorong kursi rodanya untuk keluar.
Alea segera masuk meninggalkan Erwin dan sang Ayah yang baru saja diperiksa.
"Pagi Dok," sapa Alea.
"Pagi..walinya Pak Hamzah?" tanya sang Dokter.
"Iya, Dok," sahut Alea tegang.
Dokter yang memeriksa kondisi Hamzah pun langsung menceritakan tekanan gula darah sang Ayah semakin meninggi.
Padahal obat dan insulin pun terus digunakan untuk menekan tinggi gula darah tersebut, namun bukan hal itu saja yang menjadi pemicunya.
Pikiranlah yang membuat Ayah Alea semakin kacau, "Terimakasih Dok sarannya," ujar Alea.
"Sama-sama perhatikan pola makannya lagi ya," nasehatnya.
Alea segera keluar dari ruangan Dokter tersebut, retina matanya menangkap sosok sang Ayah yang tengah tertawa lepas bersama Erwin.
Mungkin sudah saatnya memutuskan untuk memilih Erwin, semoga keputusan yang diambil olehnya benar dan tak membuat Alea menyesal suatu saat nanti.