Ada kecurigaan yang muncul di kepala Leo. Dia tidak ingin mempercayainya, kalau itu benar dia akan sangat kesal. Kaki sudah mulai mau melangkah kedalam kampung, tapi rasa penasaran kian berlipat ganda. Dengan wajah kesal Leo mulai meletakan tangan ke pintu gerbang.
Creeecckkk!
Walaupun butuh sedikit usaha, pintu gerbang terbuka ke arah luar tanpa terkunci. Leo hanya bisa terdiam membisu. Membayangkan semua penderitaan yang dialami karena tidur diluar. Melirik tanganya yang bentol bentol merah karena nyamuk. Mengusapi perutnya yang lapar. Hanya karena pintu gerbang itu tidak ada peganggan pintu, dia mengira pintu gerbang itu terbuka kedalam. Leo hanya meneteskan air mata, meratapi kebodohannya sendiri.
Kaki kembali menelusuri jalan menuju permukiman.
Tok! Tok! Tok!
Paman!
Tapi tidak ada balasan dari dalam rumah.
Tok! Tok! Tok!
Bibi!
Sekali lagi Leo tidak mendapat balasan apapun.
Tok! Tok! Tok!
TIMOOOOO!
Suara Leo semakin nyaring, namun hasil seperti semula. Tidak ada orang dirumah. Ini semakin aneh, Leo takut terjadi sesuatu dengan mereka. Berlari Leo menuju pintu belakang. Hampir semua orang di kampung Baya membuat pintu belakang tanpa kunci tanam seperti pintu depan. Hanya menggunakan sebuah balok kayu kecil yang dipaku ditiang pintu, bisa diputar untuk dikunci dan dibuka.
Leo menarik balok untuk membelah kayu dibelakang rumah. Meletakannya didepan pintu belakang sebagai pijakan. Dari situ Leo menggeser papan kayu atas pintu yang tidak terpaku. Menyelamkan tangan dari atas kebawah, kemudian meraih dan memutar kunci pintu.
Kreeekk!
Leo sedikit hati hati membuka pintu belakang yang terhubung dengan dapur. Memegang alu ditangan kiri. Melirik kearah tungku, tidak ada tanda tanda digunakan. Itu saja sudah mencurigakan. Karena bibi selalu bangun pagi untuk masak. Melirik ke arah panci dan kuali, masih bersih dan tergantung di dinding dapur. Membuka rice cooker, juga kosong.
Kewaspadaan meningkat, langkah Leo semakin pelan menuju ruang makan. Sebuah ruang yang terhubung dengan dapur melalui sekat pintu yang tidak berpintu. Meja makan masih tertata rapi, piring piring masih ada dilemari. Air galon di dispenser masih utuh, tidak ada tanda tanda penggunaan gelas.
Leo semakin cemas, langkah semakin cepat. Segera Leo memeriksa ruang keluarga. Tempat dimana TV berada yang terhubung langsung dengan ruang makan. Hanya tersekat oleh sebuah lemari piring. Juga tidak ditemukan siapa siapa. Alu jatuh dari tangan, Leo berlari keruang tamu, lari lagi ke kamar tidur, bahkan mendobrak WC belakang. Paman, Bibi, dan Timo tidak ditemukan dimanapun.
Paman!
Bibi!
Timo!
Berlari keluar rumah Leo mulai berteriak memanggil mereka. Jangankan balasan dari mereka, bahkan setelah berteriak nyaring dijalan kampung. Tidak ada tanggapan dari satu orangpun. Seolah olah kampung ini tidak berpenghuni sama sekali. Sepi bagai kampung mati yang terbengkalai.
Leo yang mulai panik mulai berlari kerumah warga disekitar. Menggedor satu demi satu pintu. Melirik disetiap celah dinding rumah. Berlari ke arah generator listrik, mesin penggiling padi, gundang penampung karet, sekolah, puskesmas, balai desa, bahkan penampungan air umum Leo singgahi. Hasilnya tetap sama. Tidak ada satu orangpun terlihat. Tidak ada tanda tanda kehadiran orang. Jangankan orang, bahkan hewan seperti ayam, anjing, kucing, sapi juga tidak ada.
Muka Leo mulai pucat, ini sudah diluar normal. Leo berusaha tenang, kaki mulai pelan melangkah. Namun mata semakin tajam melirik kiri dan kanan. Mungkin saja ada tanda tanda tertentu, seperti perkelahian yang terjadi di kampung. Karena cuma ada satu yang masuk di akal, DUNGEON. Sebuah musibah yang menimpa seluruh bumi. Leo tidak percaya kampung Baya adalah pengecualian ketika semua tempat lain terkena. Bisa jadi ada monster yang menyerang kampung dan orang kampung pada ngungsi semua.
Untuk membuktikan itu, Leo kembali kerumah paman. Tidak cukup sampai disitu, beberapa rumah warga juga dijebol Leo. Semua barang barang penting mereka tidak ada yang dibawa. Beberapa warga yang memiliki kendaraan bermotor, masih terparkir didekat rumahnya. Truck pengangkut hasil ladang warga juga terparkir rapi di balai desa.
Apa mungkin mereka ngungsi tinggalkan itu semua?
Tidak!
Leo menggelengkan kepala. Orang kampung memang kurang dalam wawasan dunia luar, tapi mereka tidak bodoh. Tidak akan mungkin mereka meninggalkan semua ini, belum lagi tidak ada tanda tanda perkelahian yang bisa menuntut mereka kedalam ketergesa gesaan.
Bulu kuduk Leo mulai berdiri, biar kata dia sedang lapar. Leo tidak perduli, segera kaki melangkah menuju gerbang. Dia harus keluar dari kampung Baya ini. Bahkan itu menuntutnya berjalan 3 jam lagi, bahkan itu juga menuntutnya berjalan kaki sampai ke Bengkayang. Apapun itu dia tidak perduli, dia harus keluar dan melaporkan hal ini kepada pihal berwajib.
Sampai depan gerbang, Leo melihat ada semacam kabut yang menyelimuti diluar sana. Jarak pandang semakin minim, Leo bahkan tidak bisa melihat jalan melalui kabut ini, namun Leo tidak perduli. Segera berjalan menerobos melewati kabut, tapi setelah beberapa langkah Leo terdiam. Apa yang dilihat dari balik kabut tidak bisa dipercaya sama sekali.
Menoleh kebelakang ada gerbang kampung disana, menoleh lagi kedepan ada permukiman warga, menoleh ke kanan ada gereja kampung, ke kiri rumah tua terbengkalai. Sedikit menyipitkan mata, mungkin saja salah liat. Tetap saja, semua itu nyata.
Kali ini Leo berlari kearah gerbang menembus kabut, sekali lagi dia tiba didepan gerbang kampung. Leo tidak mau pasrah, pantang menyerah dia mencoba lagi. Bahkan setelah 10 kali percobaan hasil tetap sama.
SIAALLLLLLL!
Leo berteriak kesal sambil menendang batu kerikil dijalan. Sesaat kemudian sebuah batu kerikil terbang dari arah kabut dan berguling disisinya. Bahkan batu saja tidak bisa keluar. Cuma ada satu kata di kepala Leo, TERJEBAK.
low battery please charge!
low battery please charge!
Sebuah pemberitahuan suara terdengar dari hp disaku. Meraih hp disaku indikator baterai sudah berwarna merah dan sekarat, baterai tersisa 10%. Melirik kearah indikator sinyal, sebatang sinyalpun tidak ada. Berlari Leo kerumah terbengkalai di kiri. Satu satunya rumah yang dibangun diatas gundukan tanah yang tinggi dikampung Baya. Tetap saja, walau melompat lompat sinyal tidak tertangkap.
low battery please charge!
low battery please charge!
low battery please charge!
Kesal dengan bunyi HP, Leo menekan tombol volume sampai nol dan kemudian menekan tombol turn off.
Jika tidak bisa menghubungi orang luar, Leo mulai memikirkan cara lain keluar kampung. Berlari kembali kerumah paman, leo mencari kursi dan pemotong kawat. Tidak mau pasrah menerima kenyataan, Leo menuju sisi pagar bagian Timur. Berbekal kursi untuk pijakan Leo mulai memotong kawat duri satu demi satu. Memanjat dan melompati pagar, Leo kembali ke tempat dimana dia meletakan kursi sebagai pijakan.
Sekali lagi Leo kembali kerumah paman mencari linggis. Selanjutnya bergerak ke sisi Barat pagar, membongkar salah satu kayu dan membuat lubang disana. Mereka merangkak melalui lubang itu, Leo keluar dari lubang itu dan kembali kekampung yang sama.
Apa apaan ini!
bangkit berdiri Leo teringat jalan belakang kampung yang menuju perkampungan lama. Berdiri dijembatan gantung Leo bisa melihat kabut yang berada ditengah jembatan.
Yang benar saja!
Leo menghela nafas, tapi tetap juga dia melangkah pelan melalui jembatan gantung itu. Untuk kesekian kalinya, dia kembali lagi ke Kampung Baya. Dengan tangan terjuntai kebawah, kepala sedikit menunduk, Leo melangkah pelan kembali ke rumah paman.
Meneguk beberapa gelas air putih, Leo terduduk lemas dilantai ruang makan. Masih tertunduk, raut wajah tidak jelas terukir disana. Semua emosi bercampur aduk, mulai dari rasa sedih, marah, kesal, kecewa, sepi, takut, malas, rindu, bahkan pasrah.
Grollll
Perut mulai berbunyi tanda lapar. Pagi ini Leo hanya menyantap 2 buah ubi, sekarang hari sudah siang. Melakukan semua aktifitas semua itu telah membuat rasa lapar menggila. Tapi Leo masih duduk termenung meratapi nasib sialnya. Tidak ada tanda tanda ingin bergerak, masih terus tertunduk dengan gelas kosong ditangan.
Sore akhirnya tiba, jam sudah menunjukan pukul 4 sore. Tidak tahan akan rasa lapar, Leo bangkit menuju kedapur mencari sesuatu. Ada beras, ikan asin, bayam, mentimun, serta bumbu dapur seperti bawang, garam, minyak dll. Namun ketika mencoba memasak nasi menggunakan rice cooker lampu indikator tidak menyala. Sontak Leo teringat generator kampung. Jadwal listrik hanya berlaku malam hari sejam jam 6 malam sampai jam 6 pagi. Karena tidak ada orang, jika Leo tidak menghidupkannya sendiri, selamanya listrik tidak akan ada.
Leo beralih kepanci dan mulai menghidupkan tungku api. Satu sisi untuk masak nasi dan satu lagi digunakan untuk masak sayur. Menyantap itu semua akhirnya Leo bisa memuaskan rasa lapar. Leo bahkan makan sampai 2 piring lebih, sebagai bentuk pembalasan atas nasib sialnya. Dari situ, seiring waktu mata Leo mulai terasa berat. Secara perlahan pandangan mulai sedikit kabur. Leo tertidur sambil duduk tersandar didinding ruang makan.
Teng! Teng! Teng!
Jam dinding tua diruang tamu mulai berbunyi sepuluh kali. Menandakan hari telah menunjukan jam 10 malam. Perlahan mata Leo terbuka ketika mendengar bunyi jam. Dia bisa mencium bau asem dari badannya yang berkeringat. Tapi sayang, tong air di WC kosong.
Meraih ember yang berisi perlengkapan mandi, handuk dipundak, parang dipinggang, serta pelita minyak ditangan lain. Kaki segera melangkah ke penampungan air umum. Sebuah tong besar untuk menampung air bersih dari gunung. Digunakan oleh warga kampung demi kebutuhan air bersih, namun bukan tempat untuk mandi.
Rasa malas Leo jauh lebih tinggi dari rasa takut, daripada bolak balik isi bak WC untuk mandi. Jauh lebih efektif dan efisien mandi ditempat, dan juga tidak ada orang disini yang bisa melarangnya mandi.
Ibu! Ibu! Ibu!
Dimana kamu!
hiks Hiks Hiks
Leo belum juga selesai mandi, badan masih penuh dengan busa sabun. Tiba tiba mendengar suara anak kecil. Yang sudah seharian dia mencari diseluruh sudut kampung, dan itu dipastikan kosong. Tahu tahu dari kejauhan dimalam hari kedengaran suara anak kecil menangis mencari ibunya. Apa tidak membuat bulu kuduk Leo merinding. Parang didekat dia segera dicabut dari sarung.
Coba saja kesini!
Parang ini telah banyak memenggal kepala ayam!