Leo hanya bisa menghela nafas. Namun kaki masih belum melangkah maju. Dia tahu, hukuman adat tidak akan lepas kalau dia memasuki perkampungan. Terkait bisa terkena petaka, bencana, ataupun musibah karena melanggar adat. Leo tidak terlalu ambil pusing. Orang berpendidikan seperti dia, rasa mistis seperti itu sudah sangat berkurang.
Ya sudahlah!
Paling juga hanya satu hari!
Besok datang lagi aja sudah!
Leo merangkul ransel dan mulai duduk dibawah pohon dekat tepi jalan. Hari masih juga pagi, walau jalur ini terkadang sepi, paling tidak biasanya ada truk yang lewat. Leo berniat numpang dengan truk untuk kembali ke bengkayang.
Hari menjelang siang, jangankan truck. Motor saja tidak ada yang lewat. Belum lagi rasa lapar kini sudah mulai menerpa. Namun Leo masih bertahan, dia tidak percaya tidak ada satupun kendaraan yang tidak akan lewat.
Waktu sudah menunjukan pukul 16.30 WIB. Tidak ada satupun kendaraan yang lewat. Leo benar benar tidak menduga ini.
Apa mungkin di Kecamatan Ledo sudah separah ini?
Jalur persimpangan masuk kampung Baya ada di antara Kecamatan Bengkayang dan Kecamatan Ledo. Kota di Bengkayang cukup besar dibanding Ledo. Terkadang banyak orang dari Ledo yang berbelanja ke Bengkayang. Mengingat hanya membutuhkan satu jam perjalanan.
Apa yang tidak diketahui oleh Leo adalah dungeon yang lahir di Kecamatan Ledo berada pada bekas benteng Jepang. Tempat yang tidak jauh dari jalan raya penghubung Ledo dan Bengkayang. Tempat yang dianggap angker oleh penduduk setempat. Terutama kisah tentang hantu Jepang. Oleh karena itu, tidak ada orang yang berani mendekat ataupun melewati jalan. Dan sekarang, akibat ketakutan itu lahirlah dungeon benteng Jepang. Ada banyak mahluk menyerupai tentara Jepang dari zaman penjajahan.
Dengan perut lapar Leo bangkit berdiri dan meraih ransel. Terus melangkah melewati penghalang. Tidak mungkin dia harus bermalam dijalan. Mengingat dari simpang jalan sampai ke perkampungan membutuhkan 1 jam perjalanan. Itu kata orang kampung dikala kendaraan tidak ada dan ojek tidak masuk kampung. Bagaimanapun juga Leo belum pernah melakukannya.
Dia harus bergerak sekarang, jika tidak malam akan tiba dan jalanan semakin sepi dan sulit. Bukan hantu yang ditakutkan Leo. Apa yang dia khawatirkan tidak lain yang merupakan hewan liar dan berbahaya, terutama legenda orang kampung setempat.
Seperti cerita tupai gila. Seseorang dari kampung pernah dikejar tupai sampai ke rumah. Dikala dia sedang mencari sarang burung. Sialnya dia menjarah sarang tupai. Bahkan setelah dirumah, tupai tersebut masih mengintai dari pohon sekitar selama 3 hari.
Ada lagi kisah tentang babi hutan yang mesum. Penduduk kampung percaya, kalau sudah musim kawin warga dilarang berburu dan keluar jauh dalam hutan. Terutama babi hutan, Karena pas masa itu, setiap mahluk yang hidup dan bergerak. Baik hewan maupun manusia, akan dianggap sebagai kompetisi memperebutkan betina. Pasti akan dikejarnya dan diseruduk. Dengan taring yang panjang dan tajam itu, tidak ada warga kampung yang berani macam macam. Kalau yang ditemui wanita, ya kalian juga tahu ujungnya selama itu menyangkut wanita.
Yang lebih gila lagi, kisah ular tukang palak. Ini Leo dapat dari pamannya, yang dia dengar juga dari kawan, dan kawan itu dengar dari kawan yang lain. Seorang pemburu yang baru mau pulang kekampung dengan ayam hutan ditangan. Menemui ular besar, sebesar paha yang melintang dijalan. Entah itu jadi jadian, maupun ular asli, tetap saja pemburu itu tidak punya nyali melewati jalan.
Memutar kedepan melewati semak, ular itu maju kedepan juga. Berbalik arah memutar kebelakang, ular itu mutar badan melintang kebelakang juga. Akhir cerita, si pemburu melempar ayam hutan hasil buruannya. Baru setelah itu ular mulai menyingkir dan menyantap ayam. Setelah cukup jauh, si pemburu menoleh kebelakang, eh ular itu sudah melintang lagi.
Ada masih banyak lagi cerita horor orang kampung Baya. Bagaimanapun juga hanya itu yang ada dikepala Leo saat ini. Jalan sendiri dan sepi, tidak banyak yang bisa diperbuat selain menghayal legenda kampung. Bagi orang berpendidikan seperti Leo, hal itu cukup gila. Namun bukan berarti orang kampung berbohong. Ada kebenaran dibalik cerita yang telah dibumbui. Cerita dari mulut ke mulut selalu berakhir begitu.
Kisah si tupai, bayangkan saja rumah mu diobrak abrik orang, pasti marah kan? begitu juga si tupai. Jika manusia beragam ragam tempramennya, sama juga dengan tupai. Lalu kisah si babi, kalau pemburu menemui babi hutan, sudah pasti dikejar pakai parang atau lantak, kenapa tidak bisa sebaliknya, iya kan? Mengenai ular tukang palak, menurut Leo itu cuma akal akalan seorang suami, supaya tidak kena marah istri ketika pulang kerumah tanpa hasil. Bisa jadi dia membawakan ceritanya sangat menyakinkan, apa tidak mungkin semua orang percaya.
Hos! Hos! Hos!
Keringat bercucuran, Leo terlihat sangat kecape'an. Orang kampung bilang hanya perlu satu jam untuk sampai kesini. Tapi, Leo telah menempuh waktu hampir 3 jam. Segala macam omelan keluar dari mulut. Memakin orang kampung yang menipu dirinya. Walaupun dia belum pernah berjalan sejauh ini, seharusnya hanya beda beda tipis. Paling tidak 1 jam lebih, atau 1 jam 35 menit, hampir 3 jam itu terlalu gila.
Berbekal senter handphone, Leo akhirnya tiba depan gerbang kampung. Matanya melotot tidak percaya. Memang benar perkampungan dikelilingi pagar kayu, tapi tidak sekokoh ini. Seingat Leo, pagar kampung sudah ada sejak zaman dulu. Dimulai dari wabah yang menyebar diperkampungan lama, letaknya arah belakang kampung baru. Sejak itu mereka mendirikan tembok pagar pembatas. Sekarang hanya digunakan untuk menangkal babi hutan yang sering meneror rumah warga.
Namun apa yang disenter Leo, terlihat ada kawat berduri yang digulung gulung diatas pagar kayu. Belum lagi tinggi mencapai hampir 3 meter tanpa ada celah untuk menyelinap.
Sejak kapan ada pagar kayak gini?
Segera Leo menyusuri pagar arah kiri dan kanan gerbang. Semua disemati kawat berduri. Leo terbengong, sudahlah dia kecapean jalan, kelaparan, sekarang pagar kayu sudah ada kawat berduri semuanya.
"Cam mana aku masuk? apa harus ku dobrak ini gerbang?", omelan Leo terus terdengar ketika dia masih mondar mandir depan gerbang. Mencoba mendorong pintu gerbang, namun tidak bergeming sama sekali. Seingat dia pagar kayu tidak serapat ini, terakhir kali dia tinggalkan kampung seharusnya masih ada beberapa celah lubang. Kini sekilas di senter, semua terlihat berbeda. Sempat terlintas mungkin salah kampung, tap setahu dia jalan ini hanya menuju satu kampung, Kampung Baya. Arah belakang itu kampung lama yang sudah tidak ditempati. Tapi tetap saja harus melewati kampung baya jika mau ke kampung lama.
Leo meratapi nasib malang yang menimpa dirinya. Tapi apa mau dikata, seingatnya kebun bibi tidak jauh dari sini. Juga ada pondok disana. Mulai Leo melangkah ke arah Timur pagar, terus menyusuri jalan karet warga. Namun Leo tidak menemukan ladang bibinya, melainkan bekas peladangan. Sudah tidak di olah lagi, bahkan pondok sudah rusak. Tapi masih ada beberapa ubi kayu yang tertinggal, juga mentimun liar.
Memanfaatkan bekas tungku, LEo mulai membakar ubi. Sambil mengunyah mentimun. Sedikit merapikan pondok, Leo memutuskan bermalam disini.
Tidur dipondok tidak senyaman yang Leo kira, di gigit nyamuk, terpaan angin malam, belum lagi ada suara keributan dari arah kampung. Benar benar buat kesal disaat mendengar keriuhan warga kampung. Walau jarak cukup jauh, mereka masih membuat kegaduhan disaat dia mendekam kedinginan di pondok. tidur melengkung sambil menutup telinga, Leo berpura pura tidak mendengar dan berusaha tidur.
******
Hoaaammm!
Mata lebam, badan lemah, pipi sedikit cekung, kulit terlihat bentol bentol merah. Duduk santai di pondok sambil menunggu ubi bakar. Dengan mata sedikit sayup, nampak Leo tidak dapat tidur tenang semalaman.
Apa sich yang orang kampung itu pikirkan!
Pake adat tolak bala eh ribut cam pesta kawin!
Apa ke!!
Rasa kesal tidak terelakan, tapi karena keletihan, mata terpejam dan Leo mulai tertidur.
:::::::::::::: Pagi Hari ::::::::::::::::::::
Setelah selesai makan Leo mulai melangkah menuju gerbang kampung. Leo mulai berteriak memanggil warga kampung. Bahkan setelah sepuluh menit, tidak ada tanda tanda balasan. Melirik melalui lubang kecil pagar, tidak ada satu orangpun terlihat.
Apa aku terlalu pagi?
Tapi orang noreh saja berangkat subuh, seharusnya pagi ini dah balik ke rumah!
Leo mencoba lagi sampai serak suara. Sekali lagi tidak ada tanda tanda orang. Tidak bisa masuk cara normal kini Leo mencari jalan lain. Melirik kiri dan kanan Leo mencoba cara masuk dengan memanjat. Bagaimanapun juga dia tidak bisa membongkar pagar. Selain dipaku dengan kokoh, Leo juga takut kena marah warga karena merusak gerbang.
Dengan dahan pohon mati sebagai tangga. Leo mulai merentangkan kawat berduri yang sedikit renggang ke arah atas. Sehingga tercipta rongga yang muat bagi dirinya untuk masuk.
Begitu kaki jejak ditanah, kabut tipis mulai menyelimuti. Pagi hari tadi seharusnya sedikit cerah, kabut yang tiba tiba ini membuat Leo merasa tidak nyaman. Ketika mata melihat gereja, perasaan tenang sedikit menyelimuti. Bahwa dia benar tidak salah kampung.
Di kampung Baya, memang satu Gereja yang tidak jauh dari gerbang maupun pagar desa. Disamping gereja ada lampangan bola, biasa disulap juga sebagai lapangan voli. Baru setelah itu ada permukiman warga. Didepan gereja merupakan jalan kampung dan juga gerbang kampung. Seberang jalan itu, ada satu rumah tua yang tidak ditempati lagi. Cukup jauh terpisah dari rumah lainnya.
Sedikit penasaran, Leo mulai melirik dari lubang jendela gereja. Tidak ada orang disana, coba membuka pintu maupun jendela. Sepertinya terkunci rapat. Setahu dia biasanya paman dia, selaku kepala kampung, merangkap sebagai petugas gereja, pagi hari terkadang datang ke gereja untuk bersih bersih. Namun hari ini pamannya tidak terlihat.
Melangkah kejalan kampung, mata Leo terpandang ke balok kayu penyanggah pintu gerbang. Balok itu membentuk sudut 45 derajat yang ujung bawah terkunci ditanah dan satu lagi menyanggah pintu gerbang.
Jangan bilang gerbang itu bukanay keluar!?