Hoon masih terus menatap wajah Risa yang bersandar pada telapak tangannya.
"Bagaimana seorang wanita membuat begitu nyaman dan menyenangkan" gumam Hoon menahan tawa kecil.
Dia sudah lama kehilangan sosok mama dalam keluarganya. Tak lama setelah Nyonya Park, istri tuan Jung meninggal, suasana rumah berubah. Ketegangan antara Eun dan tuan Jung tak pernah menemukan titik temu. Usaha Hoon untuk menyambung antara nuna dan papa nya tak pernah berhasil, bahkan kini Eun tak menyukai Hoon.
"Kau kadang seperti mama yang selalu perhatian, terkadang kau seperti nuna ku yang cerewet. Kau membuatku nyaman dengan semudah ini" ujar Hoon bicara pada Risa yang tidur. Hoon teringat wajah sedih Risa, itulah mengapa mereka di sini malam ini, Hoon tak menyukai wajah sedih gadis di sebelahnya ini.
"Tapi wajah mengesalkan mu itu lebih baik dari pada wajah sedihmu. Aku tak mau kau sedih lagi" bisik Hoon tanpa suara. Dia mengangkat tubuh Risa dan membaringkan di ranjang. Hoon merapi kan selimut dan mengatur posisi Risa. Dia menatap sejenak lalu mematikan lampu.
"Hyung memilih wanita yang hebat untuk menemaniku di sini. Aku merasa sangat betah dan nyaman" ujar Hoon menahan senyuman sebelum menekan kontak lampu. Hoon meraih selimut yang lain dan sebuah bantal. Dia berbaring di sofa, mulutnya yang menguap, jelas dia sangat mengantuk, dia tadi terjaga karena haus, Hoon sangat lelah karena berkeliling di gudang siang tadi, dia segera tidur tak lama setelah berbaring.
"Sofa ini adalah kasur terburukku" bisiknya sebelum terlelap.
***
"Bonjour, madame" bisik Glen mendaratkan telapak tangan pada pundak istrinya. Cahaya cerah pagi ini membuat pemandangan sungguh sedap dipandang. Eun masih fokus pada streamingnya, dia tersenyum menyambut suami yang merangkulnya dari belakang.
"Sayang, aku belum selesai" bisik Eun, tampilan Glen dengan setengah badan tentu membuat heboh fans online Eun, mereka mengirimkan banyak komentar, dan penasaran sosok pria beruntung yang menjadi pasangan hidup Eun si barbie hidup.
"Dia suamiku, orangnya pemalu, tak mau di sorot kamera. Aku minta maaf mengecewakan kalian" balas Eun terhadap beberapa komentar yang penasaran akan Glen.
"Aku melihat guratan otot jarinya, dia pasti pria yang gagah" Eun tertawa membaca komentar random di layar laptopnya, dia tersenyum mendapat perhatian dari penggemar onlinenya.
"Terima kasih, dan kau benar sekali, suami ku itu sangat tampan dan gagah" ucap Eun sembari melirik ke arah Glen. Pria itu menawarkan segelas coklat hangat dan Croissant. Eun mengangguk. Glen menunggu istrinya selesai siaran.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Glen setelah Eun menutup saluran onlinenya, dia belum bisa menjawab karena segera menyambar suapan roti di tangan suaminya.
"Semua baik baik saja, walau banyak yang kecewa tapi tak sedikit yang mendukung pernikahan kita" jelas Eun dihiasi senyuman.
"Kau sendiri, bagaimana dengan pabrik dan toko?" Eun balik bertanya sambil mengangkat kedu kakinya, berselonjor pada paga suaminya. Glen memijat lembut tanpa diminta. Keduanya duduk di balkon kamar menikmati cuaca cerah dan pemandangan padat kota Paris.
"Sepertinya semua baik, Kim tak memberikan laporan buruk satupun." jawab Glen sembari mengangkat cangkir coklat dan memberikan pada istrinya, Eun menyeruput pelan. Menikmati layanan Glen.
"Aku sudah membuat beberapa sketsa untuk musim depan, kuharap kau tak perlu lagi ke pabrik setelah papa tiada" Glen mengangguk setuju. Tuan Jung memang yang mengatur Glen pada posisi di pabrik, padahal seharusnya dia ada di kantor pusat duduk di jajaran direksi. Hanya saja. Tiba-tiba Glen teringat akan Risa.
"Mm.. tapi ada yang harus ku selesaikan di pabrik" Eun mengerutkan dahi, "Bukankah Hoon disana, serahkan saja pada dia" saran Eun dibalas gelengan kecil kepala Glen.
"Aku juga ingin memastikan Hoon baik baik saja disana" ujar Glen membuat alasan.
"Kau terlalu memikirkan bocah brengsek itu" guman Eun tak begitu tertarik.
"Bukankah dia harus pulang dan memperpanjang visa setelah tiga bulan?" tanya Glen, Eun mengangkat bahu tak peduli.
"Biarkan saja bocah itu, dia bahkan tak tertarik untuk bekerja" jawab Eun enggan. Glen mengangguk setuju. Bukankah itu bagus. Glen menahan senyum sinisnya, dia bisa membayangkan bagaimana pegawai pabrik tak menyukai Hoon. Bahkan rekan Risa tak menyukai dirinya yang sempurna, apalagi Hoon. Pemuda iru sangat ceroboh dan sering melakukan kesalahan, Glen menahan tawa membayangkan Hoon menjadi topik pembicaraan diantara rekan Risa.
"Aku harap dia tak menarik belas kasihan Risa, gadis itu memiliki hati yang lembut" menyadari demikian Glen sedikit cemas. Batinnya mulai berkata macam-macam.
"Aku lupa akan hal penting. Harusnya aku mengirim Hoon pada kepala Gudang bukan menitipkannya pada bu direktur!" batin Glen kesal sendiri.
"Semoga direktur Mei tetap sibuk seperti selama ini hingga dia tak punya waktu untuk mengurusi Hoon" dengan penuh harap Glen mencoba menenangkan diri.
"Setidaknya aku harus segera menghubungi dia" Dengan menelan coklat hangat batin Glen terus bergejolak tak tenang. Kenapa dia jadi risau sendiri. Bukankah sudah memiliki sosok sempurna dalam pangkuannya, wanita yang cantik dan kaya raya. Kenapa Glen masih saja memikirkan Risa, bukankah dia hanyalah gadis biasa yang terlalu gembira karena rayuan maut Glen. Glen menarik nafas berat. Aku merindukannya!
***
Dalam kantor
Hoon memperhatikan wajah Risa dengan seksama. Risa menyadari itu, bahkan sejak sarapan pagi, di perjalanan Hoon terus mencuri tatap pada wajahnya. Ada apa sih. Risa mengangkat ponsel dan memeriksa bayangan wajahnya, semua baik-baik saja, ujar batin Risa, dia heran kenapa Hoon terus menerus menatap nya.
"Kau kenapa sih!" tanpa menoleh Risa jelas menyelidik arti tatapan Hoon padanya. Menyadari kalimat Risa, Hoon membuang pandangan, meneruskan tugas yang Risa berikan.
"Tidak ada" balas Hoon singkat. Jelas dia berbohong, wajah gugup Hoon membuat Risa berpikir kemana-mana.
"Kau tak perlu bohong, sepertinya itu bukan bakatmu! kau jelas terlihat gugup" Hoon mencibir insting Risa, gadis itu benar sekali.
Hoon menatap Risa lagi. Risa segera menoleh dan memasang wajah kesal.
"Apa ada sesuatu di wajahku?" tanya Risa dengan anda ketus. Hoon mengangguk, Risa meraut heran.
"Dimata mu ada kotoran!" ujar Hoon, Risa segera meraih tisu dan membersihkan matanya, tidak ada tuh! Hoon menahan tawa, jelas dia membuat lelucon kan!
"Ga lucu!' sungut Risa kesal. "Kau menyembunyikan sesuatu kan!" tuding Risa membuat Hoon emngangguk polos.
"Kau benar menyembunyikan sesuatu ya!" suara Risa meninggi, dia beranjak dari kursi mendekati kursi Hoon. "Kau menyembunyikan apa?" tanya Risa penasaran.
Hoon menatap Risa sejenak dengan wajah serius. Apa apaan wajah ini? kenapa dia berubah serisu? tanya batin Risa harap harap cemas, Hoon merahasiakan apa? Risa kian penasaran.
"Aku melihatmu terus melihat ponsel, sebenarnya kau sedang menunggu apa?" deg! jantung Risa berdetak cepat seketika. Ah, ternyata dia menyadarinya, batin Risa tersenyum getir. Dia kembali ke kursinya. Risa tak menjawab pertanyaan Hoon.
"Hey, apa kau tak mendengar ku!" sekarang giliran Hoon yang ketus. "Aku bertanya pada mu, apa kau menunggu seseorang menghubungi mu?" tanya Hoon penasaran. Wajah Risa kembali sendu, Hoon menyadari itu. Ah perasaan ku jadi tidak menentu melihat raut sedih di wajahnya, Hoon cemas sendiri.
"Apa kau ada masalah?" tanya Hoon lembut, kali ini dia beranjak dari kursinya dan menghampiri Risa. Dia menarik kursi dan duduk di hadapan Risa. Mereka hanya terhalang meja. Hoon menatap dalam wajah murung Risa.
"Kau kenapa?" Hoon merasa cemas, dia ragu. Dalam hati dia ingin meraih dan menggenggam telapak Risa, tapi Hoon mengurungkan niatnya. Ketika Hoon mengangkat tangan, Risa juga ikut mengangkat tangan dan menopang dagu.
"Baikalah kalau kau tak bisa cerita" ujar Hoon kemudian lalu hendak beranjak dari kursi kembali ke mejanya.
"Aku sedang menunggu seseorang" kalimat Risa menghentikan gerakan Hoon. Dia kembali duduk di hadapan Risa.
"Ahh.." gumam Hoon akhirnya, dia tak bisa membalas kalimat Risa, Hoon kehilangan kata kata, padahal tadi dia yang begitu penasaran dengan wajah murung Risa.
"Dia tak menghubungi ku sekalipun, dia juga belum pernah mengangkat panggilan teleponku" ujar Risa membuat Hoon serius mendengarkan curahan hati rekan seruangannya. Risa menahan kelopak matanya untuk tegar, matanya sudah berkaca kaca.
"Aku merindukannya" ujar Risa dengan suara serak, gadis itu menahan sesak akan kata rindu di dalam hatinya. Risa merindukan bos Glen. Hoon mencoba berpikir cepat, wajah sedih dan sekarang dengan air mata, Hoon sedikit menyesali keingintahuannya, seharusnya Risa tak perlu menangis jika Hoon tak banyak tanya. Dasar kepo!
"Apa kau sudah mengirim pesan?" Risa mengangguk
"Apa kau mengirim pesan manis?" Risa mengangkat wajahnya, menatap Hoon sesaat, pria tampan itu menggaris senyum. Risa menggeleng.
"Katakan kau rindu padanya" ujar Hoon terus mempertahankan senyumnya, tapi di hatinya terasa hal aneh. Apa ini? Hoon sendiri tak mengerti.
"Kirimi dia pesan, dan katakan perasaanmu, supaya dia bisa mengerti" ujar Hoon kemudian kembali ke kursinya, dia melirik sekali lagi dan mendapati Risa sudah mengangkat ponsel pintarnya.
"Tapi aku belum pernah menulis pesan seperti itu" keluh Risa ragu. Hoon mencoba meyakinkan.
"Mungkin itu yg dia tunggu" melihat dukungan Hoon, Risa menarik nafas mencoba menekan huruf huruf di keyboard ponselnya.
"Ah, aku tidak yakin" gumam Risa menggeleng pelan. Hoon mencoba menatap wajah rekannya, dia menarik senyuman sekali lagi, aku ingin mendukung dan memberimu semangat, tapi di dalam hatiku ada sesuatu yang mengganjal, Hoon membatin ketika melihat wajah risau Risa.
"Coba saja, mungkin pesan manis mu akan menyita waktu sibuknya"
"Entahlah, aku tidak yakin"
"coba saja dulu" pinta Hoon lagi
"Baiklah.." akhirnya Risa menurut juga. Dia menulis, apa kabar mu? aku merindukan mu. Sebelum menekan send Risa menoleh pada Hoon sekali lagi, teman tapi musuh nya itu tersenyum tipis.
"Sudah ku kirim" ujar Risa. Hoon mengangguk
Perasaan macam apa ini?! Hoon menggigit bibir tak ingin mengerti. Dia tak suka perasaan aneh ini!