Chapter 57 - Bab 57

Lagi, Soully mengeluarkan isi perutnya. Ia tak mempedulikan darah yang menetes dari punggung tangannya akibat mencabut paksa infusannya.

Miller hanya bisa berjalan mondar mandir di depan pintu kamar mandi yang Soully kunci dari dalam. Ia tak ingin Miller masuk ke dalam dan menimbulkan kesalahpahaman nanti ketika Yafizan datang.

"Soully, kau tak apa? Tolong buka pintunya! Biarkan aku membantumu!" teriak Miller yang terus mengetuk pintu kamar mandi. Dia pun sangat takut ketika melihat bercak darah yang menetes di lantai.

***

Yafizan berjalan santai dengan membawa dua bungkusan plastik di tangannya. Segera ia melangkah menaiki lift menuju kamar tempat Soully dirawat. Sosoknya yang menawan mampu membuat orang-orang terfokus saat melihatnya. Tak jarang para suster yang mengetahui serta mengagumi dirinya, saling berbisik-bisik membicarakannya.

"Sedang apa pengusaha muda itu sebenarnya? Dari semalam dia ada di sini. Memangnya siapa yang sakit?"

"Kudengar istrinya yang sakit."

"Istrinya yang sangat dicintainya itu? Yang benar saja..."

"Bukankah Tamara  itu istrinya?"

"Entahlah, waktu pernyataan cintanya di acara talkshow itu, dia tidak memberitahu kalau Tamara istrinya. Apa mungkin yang dirawat di kamar VVIP itu istrinya? Bukankah dia asisten pribadinya ya..."

"Bukankah perempuan itu pasien koma tiga tahun yang dirawat dokter Erick?"

"Entahlah, siapapun perempuan itu, dia sungguh beruntung dikelilingi pria-pria tampan seperti mereka yang mencemaskannya. Lagipula dia memang cantik. Oh, aku sungguh iri..."

.

.

Langkah Yafizan terhenti ketika ia melihat sosok pria yang dikenalnya. Bimo, pria itu sedang duduk manis di kursi tunggu depan kamar VVIP tersebut.

Detak jantungnya semakin cepat karena ia tahu, jika Bimo ada, pasti bosnya yang sedikit gila itu ada.

Dengan langkah cepat Yafizan segera masuk namun apa yang dilihatnya tak seperti apa yang difikirkannya, dia sedikit bernafas lega. Namun, sepertinya ia tak bisa berlega diri ketika ia melihat noda bercak darah yang berceceran di lantai serta botol infus yang masih menggantung utuh pada tempatnya, sedang istrinya yang sedang dirawat tak ada di tempat tidurnya.

Yafizan tak bisa menahan diri lagi. Dengan cepat ia langsung menghajar Miller setelah mendapati sekotak buah pepaya yang sepertinya sudah di makan setengahnya.

"Kurang ajar!!" beberapa bogem mentah melayang di wajah mulus Miller. Miller jatuh tersungkur ke lantai.

"Sayang!! Buka pintunya!!" Yafizan berteriak sambil mengetuk pintu kamar mandi. Ketukan berubah menjadi gedoran pintu yang cukup keras ketika ia tak mendengar suara Soully dari dalam. Beruntung kekuatan bisa mendengar suara hati itu ia punyai.

"Sayang...tolong aku...aku sudah tidak kuat lagi. Aku begitu lemas dan sakit perutku ini semakin menjadi..."  dalam hatinya, Soully meminta tolong. Ia menjatuhkan tubuhnya lalu tak sadarkan diri di lantai bawah wastafel kamar mandi.

Tanpa menunggu lebih lama, Yafizan mendobrak pintunya. Lalu mendapati Soully yang sudah tergeletak lemah di lantai. Memangku kepangkuannya lalu mengangkatnya cepat ke tempat tidur.

"Sayang, bangunlah. Sayang!...Dokter!!" Yafizan berteriak meminta pertolongan.

Kamar VVIP itu tiba-tiba menjadi ramai. Soully sudah ditangani kembali. Suster dan dokter Anne yang memeriksanya pun berlalu.

Yafizan menatap Miller dengan penuh emosi. Keterangan dari dokter Anne sebelumnya cukup membuat Miller tersadar dan mengerti. Seluruh tubuhnya seperti runtuh. Beruntung Bimo yang sedari tadi ada di samping tuannya ketika kegaduhan itu terjadi segera menopang tubuh tuannya yang melemah. Bukan karena sakit, tapi karena pernyataan yang harus di dengarnya.

Lagi, Miller hampir membuat Soully kehilangan nyawanya.

"Kenapa...dulu, bahkan kemarin, dia sangat menyukainya..." ucap Miller tak percaya.

"Kenapa? Seharusnya kau cukup sadar akan kelakuanmu itu! Apa benar tadi dia sungguh ingin memakannya? Apa dia yang menginginkannya? Hah?!" Yafizan mulai tersulut emosi. Miller sadar jika tadi memang dia yang memaksanya, lalu ia meremas rambut kepalanya frustasi. Dia sudah bersikap egois!

"Istriku terlalu baik hati untuk menolaknya, bukan? Bahkan ia rela memakan sesuatu yang sebenarnya ia tak suka. Ini kedua kalinya kau hampir menghilangkan nyawa istriku!" teriak Yafizan. "Sebaiknya kau bawa tuanmu itu dari sini, Bimo! Jangan sampai tuanmu yang gila itu menampakkan diri lagi di hadapanku!" usirnya.

Bimo pamit membawa Miller pergi dari ruang perawatan. Pandangan matanya tetap menatap wajah Soully yang pucat.

"Aku terlalu bodoh! Seharusnya aku tak meninggalkanmu sendirian. Maafkan aku, Sayang..." Yafizan menggenggam tangan Soully, mencium punggung tangannya.

***

Miller membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur miliknya. Rasanya ia enggan hanya untuk sekedar makan sekarang saat Bimo menawarkan makan malam untuknya. Fikirannya sekarang masih dipenuhi dengan kata-kata dokter dan Yafizan. Rasanya masih tidak mungkin ketika Yafizan bilang Soully tak menyukai buah pepaya dan kini ia terbaring di rumah sakit gara-gara memakan buah itu. Dan lagi, kopi. Kopi juga bukan jenis minuman kesukaannya.

"Bagaimana mungkin. Dia bahkan memakan dan meminum habis di hadapanku. Apanya yang salah, Bimo? Katakan padaku?"

"Menurutku bukan buah dan kopinya yang salah. Walaupun itu mungkin salah satu faktor pendukungnya. Karena Nona Soully mempunyai semacam alergi atau hal lain yang memicu sakitnya. Tapi pola makan yang salah mungkin juga penyebabnya. Akhir-akhir ini anda begitu sibuk mempersiapkan proyek acara reality show yang akan diadakan beberapa hari lagi. Kami yang bukan manusia biasa tentu saja kuat jika tidak makan seharian bahkan berhari-hari. Namun, akan berbeda ceritanya jika manusia biasa seperti...Nona Soully..." Bimo dengan ragu untuk meneruskan ucapannya.

"Tapi kenapa dia tak makan saja jika ia lapar."

"Apa anda pernah memberinya celah untuk makan?"

"Aku..."

"Akhir-akhir ini anda bahkan membiarkannya terus berdekatan dengan anda dan memberikan file pekerjaan yang tak ada habis-habisnya. Kemarin, kapan terakhir anda melihatnya makan? Dan buah pepaya itu, kurasa dia terpaksa memakannya karena merasa lapar. Setelahnya, apa anda melihat dia makan? Sampai pada malam hari ketika anda memberikannya kopi itu..." Bimo tak melanjutkan ucapannya lagi karena melihat perubahan raut wajah tuannya.

"Sebaiknya anda beristirahatlah, jangan fikirkan masalah ini lagi. Doakan saja untuk kesembuhan Nona Soully," pamit Bimo.

Miller memejamkan matanya. Terlelap dalam tidurnya. Fikirannya membawa ia ke alam bawah sadarnya.

***

Ia melihat Soully (Malika) dalam mimpinya. Mimpi ketika ia dengan fokus melukis pemandangan di dekat danau. Malika yang saat itu setia menemani di sampingnya hanya duduk berjongkok menopangkan dagu dengan kedua tangannya. Bosan, mungkin itulah yang dirasakan gadis muda itu. Sesekali ia melirik ke arah pria di sampingnya. Lalu melihat langit yang menyelimuti mereka. Cacing-cacing di perutnya sudah berdemo minta di beri makanan. Hari sudah sangat siang, matahari sudah sangat menampakkan cahaya teriknya, rasanya perih saat menembus kulit putihnya.

"Aku sangat lapar..." keluhnya dalam hati. "Kakak, apakah sudah selesai?" tanyanya kemudian.

"Jika kau bosan atau lelah, pergilah. Aku tak pernah memintamu menemaniku. Kehadiranmu justru membuatku tidak fokus. Kau saja yang terus menerus menempeliku." Miller mengusirnya dengan bersikap ketus dan dingin.

"Baiklah, maaf..." Malika pasrah dan hendak pergi.

"Sekali saja kau melangkah maka kuanggap kau membatalkan perjodohan kita."

Apa-apaan itu?  Kau bahkan menghinanya tanpa ekspresi . Jika dulu aku tak menyukainya kenapa juga menahannya dengan ancaman murahan itu? Cih, kau sungguh munafik. Bahkan kau tak rela jika dia pergi meninggalkanmu. -Miller-

Malika dengan pasrah duduk kembali ke tempatnya semula. Miller mengeluarkan kotak makanan di sampingnya. Ia membuka kotak itu dan memakan isinya. Terdapat buah pepaya di dalamnya. Miller memang sangat menyukai buah kaya akan serat itu.

Malika menatap dengan tatapan lapar. Buah pepaya yang sungguh menggoda membuat dirinya yang sebenarnya tidak menyukai buah itu tiba-tiba terhipnotis seolah ingin memakannya.

"Kau mau?" Miller menawarkan buah itu dan Malika hanya menggelengkan kepalanya. "Makanlah. Atau kau tak usah jadi istriku!" perintah sekaligus mengancam.

"Tapi...aku..." ragu-ragu Malika mengambil buah itu.

"Ya sudah, kau memang tidak mencintaiku."

"Tidak tidak. Baiklah aku akan memakannya." Gerakan cepat Malika memasukkan satu persatu potongan buah pepaya itu ke dalam mulutnya.

Lihatlah, dulu kau memang menyukai buah itu, bukan? Kau makan dengan begitu lahap. Lalu di mana letak kesalahannya? Dulu dan sekarang kenapa bisa berbeda? Kenapa dirimu yang sekarang tidak menyukainya? -Miller-

Petang hari ketika Miller sudah menyelesaikan lukisannya. Malika mengekorinya dari belakang. Dengan jalan terseok-seok ia sudah merasakan tak enak dalam tubuhnya.

"Cepatlah! Jalanmu lambat sekali," serunya.

Malika berjalan ketinggalan dari belakang. Miller tak mempedulikannya, dia sungguh meninggalkannya.

Tsk, kau dulu memang brengsek, Miller! Gadis secantik dan sebaik itu dan kau tak melihatnya sedikit pun. Kau malah mengabaikan dan meninggalkannya. -Miller-

Hari sudah gelap ketika Malika tiba di istana keluarga Miller. Ia masuk ke dalam kamarnya dengan susah payah. Dia merebahkan dirinya di tempat tidur. Rupanya aroma buah pepaya yang di makannya masih terasa di tenggorokan. Malika berlari ke kamar mandi lalu memuntahkan dan mengeluarkan semua isi perutnya hingga terakhir ia hanya memuntahkan cairan yang tersisa dalam tubuhnya.

Tubuh Malika sudah sangat lemah, wajahnya pun pucat. Ia terbaring lemas sepanjang hari di tempat tidurnya. Sudah berapa kali ia bolak balik kamar mandi, mungkin sudah tak terhitung.

Miller yang keesokan harinya memang tidak mendapati Malika yang menempel padanya, merasa senang. Namun, seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya.

Perasaan aneh apa ini sebenarnya? Kenapa sekarang aku merindukan dia.

Miller tidak mengetahui jika Malika ⁿsedang berjuang dalam hidup dan matinya. Mungkin, istilah dunia medis sekarang Malika sedang mengalami dehidrasi. Beruntung selalu ada pelayan setia yang sudah seperti temannya dan kepala pelayan yang baik hati mengurus calon nona mudanya. Malika terbaring lemah tak berdaya saat ini. Bahkan di saat dirinya yang sedang kesakitan, dia hanya memikirkan pria yang akan menjadi suaminya. Dia sangat merindukan dan berharap Miller menjenguknya.

"Maaf, Nona Malika. Tuan Miller dia..." lapor pelayan istana yang dekat dengannya.

"Dia bahkan tak ingin mendengarkan alasanmu menemuinya, bukan?" tebak Malika.

"Iya, Nona. Maaf..."

"Tak apa. Aku saja yang terlalu berharap. Seharusnya aku tahu dia takkan mau menemuiku. Aku kira jika mendengar aku sakit, dia akan segera berlari menemuiku..." isak Malika kemudian.

"Yang sabar ya, Nona. Suatu hari, Tuan Muda, dia akan sadar dan melihat betapa besar cinta Nona untuknya," ucap pelayan itu menenangkan. "Seharusnya Tuan Muda tahu Nona sakit gara-gara dia. Tuan Muda sungguh egois. Nona kenapa memaksa diri memakan buah pepaya yang tidak Nona suka? Dan Nona menahan lapar seharian. Lihat kondisimu, Nona! Bahkan Tuan Muda tidak menyadarinya." Pelayan itu bersungut-sungut.

"Tak apa, demi dia aku rela memakan habis satu buah pepaya."

"Tapi jika Nona mati setelah memakan buah itu?"

"Aku akan ikhlas dan bahagia karena bisa memenuhi keinginannya. Apapun, jika untuk Kak Miller, aku sungguh rela. Karena aku sangat mencintainya. Kuharap dia juga bisa menerima dan mencintaiku...kelak, walaupun hanya sedikit." Tetesan air matanya makin lama semakin mengalir deras. Sungguh sangat sakit, namun terasa menyenangkan karena ia masih bersikap egois untuk tetap memiliki Miller sebagai calon suaminya.

Miller menangis dalam mimpinya. Ia menyesal melihat gadis yang dulu ditolaknya ternyata begitu sangat mencintainya dan menunggu mendapatkan balasan cintanya.

Sungguh sangat bodoh dia tidak melihat ke dalam hati gadis itu. Dia hanya mementingkan egonya.

Sekarang terlambat. Ketika Malika mengucapkan kata-kata terakhirnya jika di kehidupan selanjutnya dia takkan mencintai dirinya, mungkin benar adanya.

Kini, Malika bukan untuk dirinya.

Masih bolehkah jika dirinya bersikap egois sekarang hanya untuk memilikinya kembali?

Miller memeluk erat lututnya, posisi tidurnya bagaikan janin yang meringkuk dalam rahim ibunya. Dengan tubuh yang bergetar ia menangis dan menyesali perbuatannya di masa lampau.

Bisakah dia bahagia, sekarang?

***

Bersambung.