Chapter 60 - Bab 60

Perlahan Soully berjalan mundur. Sebuah truck tengah melintasi jalan raya di Hutan Taman Kota itu. Tubuhnya bergetar hebat ketika suara klakson truck itu menggema di udara. Terlintas bayangan ketika kejadian kecelakaan tiga tahun lalu menari-nari dalam ingatannya.

Ketika ia mengejar Yafizan seraya memberitahunya agar ia terhindar dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya.

"PAMAN AWAASSS!!!"

Soully berteriak, dirinya langsung berjongkok, memejamkan kedua matanya, dengan menunduk ia menaruh kedua tangannya untuk menopang kepalanya ketika truck besar itu lewat. Tubuhnya terus bergetar hebat, wajah putihnya semakin memucat hampir tak ada sel darah yang mengalir pada wajahnya. Soully berguncang dan hampir tantrum.

"Tidak...tidak..." Soully masih meracau. "Tolong...to-long..." tubuhnya bergetar dan ketakutan.

Sementara di seberang sana, Rona begitu panik karena ia tahu apa yang terjadi pada Soully bukan hal yang baik. Terlebih ia menyadari jika mereka berada di tempat di mana kejadian yang hampir merenggut nyawa kedua orang yang kini terikat pernikahan itu.

Rona perlahan berjalan mendekati mereka, namun hatinya sungguh bergetar hebat. Takut dan bingung, tengah ia rasakan saat ini.

"Apa yang terjadi?" Bimo dibuat penasaran akan Rona yang berubah tingkah. Rona diam membisu, tak menghiraukan apa yang Bimo tanyakan padanya.

Sementara di sisi yang berlawan, Yafizan masih menahan rasa sakit di kepalanya. Dengan langkah gontai ia berusaha mendekati istrinya yang tampak kacau itu. Langkahnya kalah cepat karena Miller sudah dengan sigap menghampiri Soully yang sedang trauma. Dengan cepat Miller meraup tubuh Soully ke dalam dekapannya. Yafizan masih dengan berjalan pelan sambil meremas rambut kepalanya yang terasa pusing.

Ia sungguh tidak menyukai Miller menyentuh miliknya dengan seenaknya sendiri.

"Hei, you oke?" Miller panik.

"To-long...tolong dia, Tuan. Paman itu..." Soully masih meracau. Dia tidak sadar dengan apa yang diucapkannya.

BUGGH

Tetiba sebuah bogem mentah mendarat di wajah Miller yang mulus itu. Miller yang sedang merengkuh tubuh Soully seketika goyah dan hampir ambruk. Soully mendongakkan wajahnya, merasa terkesiap melihat adegan berseteru itu. Miller mengusap darah yang mengalir di sudut bibirnya. Ia menyeringai meratapi nasibnya.

"ENYAH KAU DARI SINI SEKARANG JUGA!" Yafizan sudah dalam mode emosi yang berapi-api. Seketika dirinya menjadi kuat hanya karena dipaksakan. Padahal kepalanya masih terasa sangat pusing.

Yafizan merengkuh erat tubuh Soully yang masih dalam tatapan kosongnya. Sungguh dirinya sangat mencemaskan istrinya itu, mengingat daya tahan tubuhnya saat ini pasca pulang dari rumah sakit masihlah begitu rentan.

"Sayang, ayo kita pulang," lirih Yafizan.

Soully hanya menatap wajah suaminya yang dihiasi dengan menahan rasa sakit namun penuh kecemasan akan dirinya. Tak terasa buliran kristal bening menetes dari sudut matanya.

"Hei...kenapa kau menangis, hm? Apa ada yang sakit?" cemas Yafizan.

"Paman..." Soully mengusap wajah Yafizan dengan perlahan, ia terkulai lemas, setelah itu pandangannya pun menjadi gelap.

Terdengar sayup-sayup orang memanggil dirinya. Namun, Soully tak mendengar apa yang diteriakan orang-orang padanya.

***

Soully membuka matanya. Pandangannya samar ketika melihat atap langit-langit yang berwarna putih dan cream itu.

"Sayang, kau sudah bangun?" suara ini...Yafizan.

"Aku di mana?"

"Apartement kita, Sayang..."

"Haus..."

Yafizan segera mengambilkan segelas air lalu membantu mendudukkan Soully. Langsung di minumnya air itu hingga tandas.

"Kau baik-baik saja? Apa yang sakit? Ada yang tidak enak?" tanya Yafizan cemas beruntun. Soully tersenyum dan hanya menggelengkan kepala.

"Apa yang terjadi padaku? Seingatku kita...akh!" pekik Soully memegang kepalanya, ia merasa sakit ketika mengingat kejadian sebelumnya.

"Tenang, Sayang. Jangan paksakan dirimu."

"Apa kau baik-baik saja?" tangan Soully mengelus cemas wajah suaminya saat mengingat jika tadi terjadi baku hantam antara suami dengan bosnya, Miller.

"It's oke, Sayang. Lihatlah aku baik-baik saja." Yafizan mengecup jemari lentik Soully. Menenangkannya.

"Hm, kau memang benar-benar manusia istimewa. Tidak, kau memang sejatinya adalah seorang Dewa. Bahkan, kau tak terluka sedikit pun." Soully tersenyum getir.

"Aku terluka. Lukanya saja yang menghilang dengan cepat. Padahal, aku ingin kau melihat bagaimana aku terluka," cicit Yafizan dan Soully hanya tersenyum.

"Sudah jam berapa ini?"

"Jam 07.00 malam."

"Oh, aku tidur terlalu lama."

"Ya, kau tahu, kau menakutiku. Aku takut kalau kau takkan bangun lagi. Kau seperti orang mati karena pingsan terlalu lama." Yafizan berkaca-kaca, raut takut kehilangan memang terpancar jelas dari wajahnya. Ia terus mengelus wajah Soully dan mencium tangannya berkali-kali.

"Maaf, aku takkan ke mana-mana. Jadi kau tak usah merasa takut." Soully mencium tangan suaminya. "Oh ya, bagaimana dengan Tuan Miller? Dia..."

"Jangan membahas pria gila itu di hadapanku, Sayang. Aku sungguh tak menyukainya," dengus Yafizan kesal.

"Tapi sebenarnya ada apa? Aku masih tidak mengerti kenapa tadi dia bilang aku Malika, calon istrinya. Dan...Mayra? Siapa dia? Katanya dia tunanganmu..." tutur Soully yang semakin pelan, dia merasa sedih menyebut Mayra tunangan suaminya.

"Cukup!" bantah Yafizan mencengkram bahu Soully, menangkup wajah istrinya dengan kedua tangannya. Mendekatkan wajahnya sedekat mungkin hingga hembusan nafasnya terasa hangat di kulit wajah Soully. "Jangan pernah membahas soal itu lagi. Yang paling penting, kau adalah istriku sekarang dan aku suamimu! Kau ingat itu, Sayang. Apa kau paham?" tegas Yafizan dan Soully hanya menggangguk. Kemudian ia mengecup kening istrinya dengan penuh kasih sayang.

***

Beberapa jam sebelum Soully tersadar...

Lima pria sudah duduk berseberangan di kursi masing-masing. Yafizan ditemani Rona di sampingnya, sementara Miller duduk di sebrangnya yang ditemani Bimo di sampingnya pula, adapun Erick yang sudah duduk seakan dia pemimpinnya. Mereka masih tak membuka suara.

"Ehm." Rona berdehem memecah keheningan yang terjadi. "Apa ada yang ingin minum?"

"Tidak perlu!" Ke empat pria itu menjawab kompak. Rona hanya menaikkan bahunya. Ya sudah...

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Erick membuka suara.

Kehadirannya tentu diperlukan mengingat tadi kondisi Soully yang pingsan dan sempat tantrum.

"Apa tidak ada yang ingin menjelaskan?" tanyanya lagi ketika tak ada satu pun yang berbicara.

"Aku akan menunggu Soully hingga ia siuman. Ketika itu terjadi, aku akan membawanya pergi. Membawa calon istriku kembali." Miller bersikukuh. Ucapannya mengundang Yafizan untuk membantah.

"Enak saja kau bicara. Calon istri? Dia ISTRIKU!" sanggah Yafizan penuh penekanan.

"Tapi dia calon istriku sebelum kau menikahinya." Lagi, Miller bersikeras.

"Kalau dia memang calon istrimu, ke mana saja kau selama tiga tahun ini?" Erick menimpali.

Miller tak bisa berucap. Pertanyaan Erick menohoknya. Dia terdiam karena jawaban apa yang harus ia berikan dan harus ia jelaskan.

Akankah mereka percaya jika Soully adalah calon istrinya di masa lalu yang kini ingin dia rebut kembali?

"Itu jelas hanya karangannya saja." Yafizan berdecak.

"Terserah kalian mau bilang apa. Yang jelas, aku akan membawa Soully setelah ia sadar. Akan kubuat ia mengingat kalau aku adalah calon suami yang benar-benar dicintainya." Miller berucap penuh penekanan.

"Kau!" Yafizan kesal namun Rona menahannya agar ia tak emosi.

"Sebaiknya kau mengingat kesalahanmu. Kau yang menyebabkan Mayra mati dan kau yang telah membunuh calon istriku!" tatapan Miller penuh dengan amarah dan benci. Bergantian ia memandang Erick dengan tatapan kekecewaan.

"Apa maksudmu?!" Yafizan sudah berapi-api.

"Ck, sungguh ironis. Kau bahkan melupakan semua yang terjadi. Dan alasanmu diturunkan ke bumi ini, apa kau bahkan mengingatnya? Sebaiknya kau berseteru pada tempatnya,, dengan sepupumu yang dokter itu. Karena seharusnya aku yang membenci dirimu lebih dari apapun!" kilat kemarahan semakin terpancar dalam diri Miller. Bimo menepuk pelan pundak tuannya, menenangkannya.

Erick menjadi salah tingkah, masa lalu yang terjadi, memang ada hubungannya dengan dirinya. Kini, ia tak mungkin menceritakan semua pada Yafizan. Tapi, apa hubungannya dengan Soully? Apa gadis itu ada dalam masa lalu mereka? Erick berusaha mengingat kembali.

Sedang Yafizan, ia tak bergeming. Masih belum mengerti dengan apa yang diucapkan Miller.

"Tsk, lucu sekali. Kau merasa tak enak kepada sepupumu karena merebut tunangannya, bukan?" tatapan Miller tajam pada Erick. "Dan kau, susah mengingatnya, bukan?" gantian ia menatap Yafizan. "Apa perlu aku menggunakan kekuatanku untuk mengembalikan seluruh ingatanmu?" Miller tersenyum sinis.

"JANGAN!" Rona refleks menyambar ucapan Miller.

"Akh...mungkin, sebaiknya kau minta pengawalmu itu bertanggung jawab karena dia yang sudah menghilangkan sebagian memorimu." Miller menatap Rona. Sedang yang lainnya hanya terdiam.

***

"Kau sudah bangun, Sayang?" sahutan seseorang tiba-tiba memecah suasana haru dua insan yang sedang berpelukan.

"Tuan Miller..." ucap Soully lirih. Pandangan Yafizan menatap tak suka. Ia menghalangi tubuh Soully dengan duduk tepat di sebelahnya.

"Kau sudah merasa baikkan?" tanya Miller menghampiri.

"Kenapa kau ada di sini?" jawab Soully dengan pertanyaan.

"Tentu saja menunggumu sadar dan membawamu pulang."

"Pulang? Tapi di sini tempat tinggalku."

"Tidak, Sayang. Rumahmu bukan di sini. Tempat tinggalmu bersamaku, di rumahku, istana kita."

Soully menggelengkan kepalanya. "Tidak, Tuan. Tempat tinggalku di sini. Istanaku adalah suamiku." Soully meremas lengan Yafizan.

"Kau sudah mendengarnya, bukan? Tuan Miller yang terhormat," cibir Yafizan merasa senang karena Soully lebih memilihnya. "Sekarang, kau bisa pulang dan tak usah menunggu istriku lagi. Kau sudah dengarkan tadi istriku tak ingin pulang bersamamu."

"Malika tidak menolak untuk pulang bersamaku." Miller tak mempedulikan ucapan Yafizan.

"Malika?" Soully terkesiap mendengar nama itu lagi.

"Soully, maksudku kau. Kau mau kan pulang bersamaku, Sayang?" Miller memelas.

"Cukup! Tak usah kau memanggilnya Sayang Sayang. Hanya aku yang boleh memanggilnya seperti itu. HANYA-AKU!"

Soully merasa pusing melihat perdebatan dua laki-laki yang memperebutkannya. "Hentikan! Tolong..."

Mereka terdiam. "Tuan, aku memang tidak menolakmu berbuat baik padaku, tapi kenapa aku harus pulang bersamamu? Aku sudah bilang, rumahku di sini, bersama suamiku..."

"Tapi kau calon istriku, jauh sebelum kau mengenal suamimu."

"Lalu, ke mana saja kau selama ini? Apa kau datang mencariku atau merawatku waktu aku koma?" pertanyaan Soully membuat Miller terdiam. Ya, ke mana saja ia selama ini? Karena ia pun baru mengetahuinya. Apa harus ia bilang padanya jika selama ini dirinya hanya sibuk membalas dendam pada suaminya dengan cara merebut kekasihnya, bahkan ia pernah tinggal bersama Tamara selama tiga tahun. Miller tak bisa berucap apapun. Walaupun dalam hati maupun benaknya. Ia mengepalkan tangannya, bingung.

"Tolong...biarkan aku beristirahat dengan tenang. Anda sebaiknya pulang dan beristirahatlah. Terima kasih karena sudah mau menungguku hingga aku bangun. Aku janji, besok pagi jika kondisiku membaik, aku akan datang bekerja dan membantumu menyelesaikan proyek acara yang segera tayang dalam dua hari lagi," ucapan Soully pada Miler membuat Yafizan membulatkan matanya.

Wanita ini, bisa-bisanya ia ingin bekerja? Di mana akal sehatnya?

"Aku hanya membalas kebaikan Mr.Govind, Sayang." Soully mengusap kepalan tangan suaminya, seolah tahu apa yang difikirkan suaminya. "Pulanglah, Tuan. Beristirahatlah. Acara kita harus sukses, bukan?" Soully tersenyum, menyejukkan hati Miller yang sempat panas itu.

Miller menurut, tatapan serta seyuman Soully membuat ia tak bisa membantah bahkan memaksakan egonya yang sama-sama keras kepalanya dengan Yafizan.

Didampingi Bimo, Miller pun pamit lalu pergi.

Baginya, ketika Soully menyuruhnya pulang dan beristirahat bagaikan ia mendapat perhatian dari orang yang dipujanya. Dan itu, cukup membuat hatinya merasa tenang.

***

Bersambung.