Pagi ini Soully sudah membuka matanya. Ia mengedarkan pandangannya namun, kosong. Diingatkannya kembali kejadian kemarin.
Ah, dia belum meminta maaf pada atasannya, Miller.
Kejadian kemarin pasti membuatnya panik dan sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Dia mencari-cari ponselnya. Lupa, mungkin saat ini ponselnya tertinggal di apartement ketika Yafizan membawanya ke rumah sakit.
Suara pintu terbuka bersamaan langkah kaki yang lebih dari satu orang. Yafizan dan Rona masuk bersamaan.
"Hai, Soully bagaimana keadaanmu?" sapa Rona.
"Aku baik," lirih Soully tersenyum dan masih berbaring.
"Sayang, kapan kau bangun?" Yafizan berjalan cepat menghampiri Soully. "Bagaimana dengan perutmu? Apa masih sakit? Apa masih mual?" Yafizan memburu pertanyaan yang hanya dijawab dengan gelengan pelan dari Soully.
"Cih, memangnya kau wartawan?" desis Rona namun terdengar jelas.
"Diam kau!" Yafizan mamasang muka masam, Rona mengangkat kedua tangan dan bahunya meminta ampun. Soully hanya tersenyum melihat tingkah mereka. "Apa kau menginginkan sesuatu, Sayang?" tanyanya lagi penuh perhatian.
"Haus..." Soully meminta minum.
"Oh, oke. Sini kubantu." Yafizan menuangkan air ke dalam gelas lalu membantu mendudukkan Soully untuk bersandar pada dadanya.
Soully meminum air dalam gelas itu hingga tandas dan Yafizan meletakkan kembali gelas kosong itu di atas nakas samping tempat tidur.
"Kapan kita pulang? Dan kalian, kenapa tidak ke kantor? Malah ke sini menemaniku." Pertanyaan Soully membuat Yafizan tercengang.
"Hei...Sayang, kenapa bertanya seperti itu? Keadaanmu belum pulih sepenuhnya, tentu saja aku harus menemanimu di sini, kalau bukan aku, siapa yang akan menjagamu? Dan satu hal yang harus kau ingat, Perusahaan itu, aku BOS-nya!" tegas Yafizan penuh penekanan.
"Ya aku tahu, tapi aku bosan...lagipula sekarang sudah lebih mendingan." Soully merajuk.
"Oke, nanti kita tanyakan dulu pada dokter Anne."
Tok tok tok
Erick masuk ke dalam tanpa menunggu yang di dalam mempersilahkannya. Erick datang menjenguk sekaligus memeriksa Soully karena dokter Anne yang biasa mengecek perkembangan Soully hari ini ada panggilan darurat di rumah sakit cabang luar kota.
"Hai, my Angel." Erick menyapa dengan senyuman terbaiknya. Soully hampir saja terpesona. Bukan! Memang dia terpesona, bagaimanapun Erick dokter terbaik dengan sejuta pesona. Yafizan menyadari tatapan Soully yang terpesona pada Erick.
"Ehem." Yafizan berdehem menyadarkan Soully.
"Kak Erick..." Soully berbinar.
Yafizan mengusap kasar wajah Soully. Tangan Soully menepisnya dan terus memandang Erick.
"Kau merindukanku?" Erick bertanya sekaligus tangannya memeriksa keadaan Soully.
"Sangat," jawab Soully. Yafizan membulatkan matanya dan Rona hanya tersenyum melihat tiga orang di depannya.
Erick membuncah bahagia. "Benarkah? Kalau begitu kenapa kau hanya diam?"
"Maksudmu?" Soully tak mengerti.
Erick merentangkan kedua tangannya, Soully mengerti lalu ia membuka tangannya bagai anak kecil yang minta di gendong dan dipeluk. Erick tentu saja menyambutnya.
Yafizan geram dia menghadang kedua insan yang hendak saling memeluk itu. Namun, tangan Soully menyingkirkan Yafizan ke sampingnya lalu memeluk Erick dengan erat.
"Sayang, kau sungguh tak menghargaiku?" Yafizan kikuk dan kesal. "Sudah cukup pelukannya!" Ia menjauhkan Erick melepas pelukannya dari Soully.
"Kenapa kau marah?" Soully cemberut.
"A-apa maksudmu dengan bertanya kenapa aku marah? Jelas saja aku marah. Kau dan dia..." Yafizan mengusap kasar wajahnya, frustasi.
"Kita hanya melepas rindu, apa salahnya," sahut Erick melanjutkan pemeriksaannya. "Kau melepas paksa lagi jarum infusnya?" tanyanya pada Soully dan tetap mengabaikan kehadiran Yafizan.
"Ya, kemarin, karena darurat," jawab Soully terkekeh.
"Kukira kau melarikan diri karena tak tahan dengan suami possesif-mu itu," canda Erick.
Yafizan semakin emosi. "Kenapa kau yang memeriksa istriku? Sudah ada dokter Anne yang menanganinya."
"Jika dokter Anne ada, mungkin sekarang aku tak ada di sini."
"Ke mana dokter Anne, Kak?"
"Dia ada panggilan darurat luar kota pagi buta tadi. Dia menugaskanku untuk menggantikannya menanganimu."
"Aku sudah baikkan, kan Kak?"
"Ya, kurasa kau sudah lebih baik, karena kehadiranku," ujar Erick bercanda.
"Ck, tapi kurasa iya juga." Soully berdecak sebal lalu tertawa.
Tindakan Erick dan Soully semakin membuat Yafizan geram. Bagaimana bisa istrinya mengobrol selepas itu sedang di sampingnya ada suami yang mencemaskannya saat ini.
"Kau sungguh keterlaluan, Sayang," lirihnya kesal seraya mengepalkan tangannya. Sudah muncul cahaya jingga di tangannya.
"Kenapa? Apa yang salah dariku? Kenapa kau seperti ini?" Soully berpura-pura polos. Sebenarnya dia sudah mulai cemas karena melihat sorotan tajam Rona ke arah tangan Yafizan yang dikepalkan.
Apakah ia sudah mengumpulkan energi apinya lagi?
"Kenapa? Lagi? Oh, Sayang kau benar-benar tidak peka."
"Apa karena aku memeluknya? Oh, Sayang itu hanya sekedar pelukan melepas rindu. Kau tahu kan aku sudah menganggap Kak Erick sebagai kakakku."
Pernyataan Soully menghujam dada Erick. Kakak? Ya, dia harus sadar diri.
"Tatapanmu itu. Kenapa kau terpesona padanya?" Yafizan mendengus kesal.
"Tentu saja, karena dia tampan," jawab Soully sekenanya.
"Oh ya ampun, Sayang kenapa kau harus jujur seperti itu? Apa aku tidak tampan?" cicit Yafizan jengah.
"Kau juga tampan."
"Lalu kenapa tatapanmu tadi...Oh, ya ampun!" Yafizan frustasi. Ia berjalan mondar mandir.
"Ya, dia pagi ini tersenyum cerah, aura ketampanannya semakin terpancar. Oh, kak Erick andai saja dulu aku menerima lamaranmu, mungkin saat ini aku adalah istri yang paling bahagia karena mempunyai suami dokter tampan sepertimu," celoteh Soully jujur sekaligus menggoda Yafizan.
Erick tersenyum. Kau sungguh polos, my Angel.
Yafizan semakin geram. "Kalau begitu kenapa kau tak nikahi saja dia lalu ceraikan aku?"
"Apa boleh begitu?" Soully polos dan semakin membuat Yafizan melotot padanya. Seperti singa yang siap menerkam mangsanya.
"Ha Ha Ha..." tawa Rona memecah suasana. "Ha ha ha kau sungguh lucu, Soully...pagi ini sungguh-sungguh menghibur..." Rona terpingkal-pingkal di sofa.
"Aku sungguh akan segera menikahimu jika kau bercerai dengannya, sekarang...juga," goda Erick. Ia semakin tahu jika Soully hanya menggoda kesal suaminya.
Sungguh kau sangat beruntung, Yafi. Seandainya aku yang memiliki gadis mungil ini, mungkin aku adalah suami yang paling bahagia.
"Benarkah...kau...ingin bercerai dariku?" Yafizan sudah mulai melunak. Ia bisa mendengar apa yang Erick katakan dalam hatinya, namun merasa tak yakin apa yang dimaksud ucapan Erick jika dirinya beruntung.
Matanya kini sudah mulai berkabut, lalu membalikkan badannya membelakangi Soully. Sesekali ia mendongakkan wajahnya ke atas agar tak meneteskan air matanya.
Soully merasa tak enak. Bercandanya mungkin sudah benar-benar keterlaluan.
"Tentu saja aku akan segera menikahimu, Kak," sahut Soully. Kemudian, tangan mungilnya meraih dan memegang tangan Yafizan yang sudah mengeluarkan cahaya jingga itu. Yafizan masih membelakanginya. Namun, perasaan lega untuk Soully saat melihat raut muka Rona yang sepertinya merasa lega karena cahaya jingga itu sudah berubah menjadi putih kebiruan. Artinya emosi dalam diri Yafizan sudah mulai reda dan tenang.
"Tapi sepertinya maafkan aku, karena kesucianku sudah direnggut oleh...(Soully mengeratkan genggaman tangannya, mengingat kejadian ketika pertama kali Yafizan merenggut kesuciannya dengan paksa)...suamiku," ucapnya yang sedikit tersekat.
Yafizan merasakan genggaman tangan Soully yang menegang dan mengerat. Bagaimanapun ia tahu, kesalahan yang pernah dilakukannya, mungkin akan membekas diingatan Soully.
"Kau memang tampan, Kak. Perempuan mana yang akan menolak pria tampan sepertimu? Ya, kecuali aku. Karena bagiku saat ini, suamiku-lah yang lebih tampan di seluruh dunia ini," Yafizan membalikan badannya. Matanya memerah menahan air mata yang ingin segera menetes. Soully menatapnya tanpa melepas genggaman tangannya.
"Aku akan selalu mencintai suamiku. Bercerai? (Soully mendongakkan wajahnya menatap Yafizan lekat dan tersenyum padanya) Emh...tunggu aku mengalihkan seluruh harta dan saham di perusahaanmu untukku, baru aku akan menceraikanmu. Tapi jika aku masih belum bisa mengalihkan semuanya, maka jangan salahkan aku karena akan kubuat pria yang jadi suamiku ini menjadi budakku hingga dia bertekuk lutut dan mencintaiku selamanya." Soully tersenyum, candaannya memang tidak lucu, tapi membuat hati Yafizan lega.
"Kau...menakutiku, Sayang," ucap Yafizan parau lalu memeluk Soully dengan erat. Butiran bening di matanya tak terbendung sudah. Dia mencium dahi lalu menciumi seluruh wajah Soully, mengabsennya hingga tak terlewat sedikitpun hingga mengecup bibir pucatnya sekilas.
"Maafkan aku. Candaanku sudah keterlaluan," ucap Soully parau. "Ugh, suamiku ini ternyata cengeng sekali. Seperti bukan dirimu." Soully mengusap air mata Yafizan lalu membalas pelukan Yafzian dengan erat.
"Aku sungguh tak ingin kehilangan dirimu. Tanpamu, apa jadinya aku? Kurasa aku akan benar-benar mati jika harus berpisah denganmu."
"Ssstt, jangan bicara seperti itu. Sungguh, maafkan aku..." Soully mengelus punggung Yafizan.
"Maafkan aku juga karena membuat sedikit trauma dalam ingatanmu. Jadikan saja aku budakmu selamanya dan ambil semua hartaku, aku rela. Kalau perlu, kau ambil hatiku untuk membuktikan kalau aku benar-benar sangat mencintaimu. Terima kasih sudah mencintaiku, Sayang," Yafizan mencium puncak kepala Soully.
Kau beruntung, anak manja. Aku sungguh iri.
Erick dan Rona merasa terharu dengan pemandangan yang ada di hadapannya.
"Tapi aku berkata jujur, kau tampan, kak Erick tampan, kak Rona juga tampan. Sayangnya...kalian kakek berusia 1000 tahun dan tak mungkin akan mati begitu saja. Ups!" Soully seketika membekap mulutnya. Alhasil membuat ketiga 'manusia istimewa' itu menampakkan wajah kecutnya.
Rona hanya berdehem seraya salah tingkah.
Erick hanya tersenyum miris.
Yafizan yang langsung dengan sergap menggelitik tubuh Soully sehingga tertawa sekaligus menjerit minta ampun.
***
Di kantornya, Miller masih menaruh fikirannya akan petunjuk mimpinya semalam. Sungguh, rasa bersalah menggelitik hatinya. Rasanya ia ingin segera ke rumah sakit lalu meminta maaf secara langsung pada Soully.
Maafkan aku...maafkan aku...
"Mr. Miller!" sahut seseorang masuk ke dalam ruangan yang hening itu. Membuyarkan lamunan lalu pandangannya tertuju pada si empunya suara, Mr.Govind.
Bimo menunduk hormat.
"Bagaimana pagimu hari ini?" sapanya.
"Not so good..."
"No. You must be fine, oke. Program reality show itu akan segera tayang dua hari lagi. Dan itu harus sukses. Kupercayakan semuanya padamu."
"Yes, i know, i have to be professional."
"Kudengar Soully masuk rumah sakit. Aku ingin sekali menjenguknya. Anak gadis itu, jika dia anak perempuanku atau diriku masih muda, dengan segera aku akan menikahinya dan menjadikan dia ratu di rumah saja. Tanpa harus membuatnya bekerja keras. Sepertinya daya tahan tubuhnya begitu rapuh, dia selalu saja sakit," gurau Mr.Govind tapi serius. Miller hanya tersenyum getir.
"Aku pun demikian, Mr.Govind. Takkan kubiarkan dia menjalani hari yang berat. Kan kubawa ia pulang ke istanaku," benak Miller dalam hati.
"Baiklah, aku hanya mampir dan memastikan semuanya dalam dua hari mendatang dengan persiapan yang matang. Semoga acara ini akan sukses dan Soully bisa segera sembuh. Whatever it is, i'm glad to work with you, Mr.Miller. I'm trust to you," pamit Mr. Govind.
Sepeninggalnya Mr.Govind, Miller tampak berfikir, bagaimana ia menjalani dua hari ke depan mempersiapkan program reality show itu tanpa Soully? Walaupun demikian banyak kru dan staff yang membantunya hingga ke jenjang hampir sempurna. Tapi kenapa dirinya sekarang begitu ketergantungan seakan sosok Soully adalah mood booster baginya. Padahal dulu ia adalah pria tangguh yang bisa menjalani segalanya sendirian tanpa mempedulikan orang lain, apalagi menginginkan seseorang agar terus menemani dan dekat dengannya.
Miller menghela nafas kasar, dia harus bertemu dengan Soully bagaimanapun caranya. Melepas rindu dan penat di dadanya, meminta maaf padanya.
"Antarkan aku ke rumah sakit, sekarang."
Tanpa menunggu perintah dua kali, Bimo yang asalnya tercengang, langsung beranjak dari tempat duduknya lalu segera menjalankan apa yang ditugaskan kepadanya.
Bagaimana mungkin sekarang tuannya seperti orang yang tak punya harga diri setelah kejadian kemarin yang menimpanya? Tuhan, kumohon yang terbaik untuknya.
***
Bersambung...