Chereads / The Seven Wolves: The Alpha and His Beta / Chapter 15 - Chapter 15: Stabbed From Behind

Chapter 15 - Chapter 15: Stabbed From Behind

Gentala menggeliat bangun dari pelukannya pada Kenanga yang masih tertidur. Getaran ponsel nya yang entah dia masukkan di saku yang mana terus membuat suara yang mengganggu. Gentala masih sedikit pusing karena pengaruh alkohol. Ia menempelkan hidungnya di pundak Kenanga yang masih tidur. Setelah mengecup pundak yang terbuka itu beberapa kali, Gentala pun bangun dan mengurut tekuknya.

Ia merilekskan tubuhnya beberapa saat sebelum akhirnya bangun dan mengambil jeansnya. Setelah memakai celana, ia pun mencari ponsel yang bergetar dan melihat siapa yang menelpon pukul 4.30 pagi.

"Iya ma," ujar Gentala setelah mengangkat telponnya.

"Baby, are you still sleeping?" (sayang, kamu masih tidur?) balas sang ibu setengah memarahi.

"Ma, ini jam 4.30 di Indonesia, mama lagi dimana memangnya," Gentala mulai memunguti pakaiannya dan memakainya satu persatu.

"Ah, sorry mama ga ingat, you're not drunk right," (kamu tidak mabuk kan?) ibu Gentala mulai terdengar protektif menurutnya.

"No, ma," jawab Gentala berbohong sambil melirik pada Kenanga yang sedikit bergeliat.

"Mama dan papa akan pulang dua hari lagi, I really miss you, I want to see you,".

"Oke, nanti Gentala pulang ke rumah," Gentala memakai jaketnya dan merapikan pakaiannya.

"No, kamu ke rumah sekarang, Andrew sedang nungguin kamu," Gentala mengerutkan keningnya. Untuk apa kakak laki-lakinya malah menunggunya.

"Emangnya kak Andrew ada perlu apa sama Gentala?".

"Ada yang penting, kamu pulang sekarang ya," Gentala mengehembuskan nafas berat sambil menyisir rambutnya beberapa kali.

"Fine," Gentala langsung menutup panggilan dan menghembuskan nafas cukup keras sambil memandang Kenanga yang tertidur. Gentala mencari kertas hendak menitipkan pesan. Ia menemukan sebuah yellow post it di dalam laci dekat ruang tengah. Gentala menuliskan nomor ponsel pribadi nya dengan sedikit pesan 'call me' tertulis disana.

Gentala menempelkan pesan itu di penutup lampu tidur dekat ranjang Kenanga. Sambil tersenyum, ia mendekat dan mencium pipi Kenanga cukup lama sebelum akhirnya bangun dan berjalan keluar apartemen.

Dari apartemen Kenanga, Gentala menelpon perusahaan derek untuk mengantar mobil Kenanga ke apartemennya sambil berjalan ke arah mobil dan pulang ke rumah orang tua nya.

Setelah kejadian semalam dengan Claire yang membuat Arjoona cemburu dan marah setengah mati, pagi ini ketika keduanya bertemu maka mereka malah kaku dan bersikap salah tingkah.

Claire tidak bicara sepatah kata pun pada Arjoona yang duduk sarapan berhadapan dengannya. Arjoona sendiri hanya bisa mencuri-curi pandang melihat Claire yang terus menunduk menghabiskan sarapannya.

"A-aku harus bicara sama kamu soal produk smart LCD refrigerator yang mau diluncurkan tim iklan minggu depan," ujar Arjoona memecah kebekuan. Claire baru memandang Arjoona kemudian.

"Ah, itu ya, tapi apa perlunya nambah fitur untuk produk itu?" Arjoona mendengus mendengar ketidaksetujuan CEO nya itu.

"Kamu mau produknya gagal produksi lagi,"

"Gak akan gagal kok kalo memang pekerja nya bisa membuat dengan bener,". Mereka mulai hendak berdebat lagi bahkan sebelum tiba di kantor.

"Jadi menurut kamu pekerja pabrik gak melakukan pekerjaannya dengan baik, gitu?" Arjoona mulai kesal.

"Iya, kalau memang mereka bisa kerja. Disuruh buat apapun pasti bisa,"

"Kamu pikir mereka jin bisa bangun candi satu malam? semua produk yang hendak dibuat sudah dirancang oleh para enginer sebelum diproduksi," Arjoona mencoba menjelaskan.

"Berarti kamu yang salah, kamu bahkan gak bisa merancang dengan bener. Kamu kan kepala produksi," Claire mulai menaikkan nada suara nya menyalahkan Arjoona. Arjoona mulai kesal, pagi-pagi ia bahkan baru saja selesai sarapan, energinya mulai terkuras lagi dengan perdebatan yang tidak penting.

"Kenapa kamu buat semua nya jadi sulit Claire, semua enginer yang kerja dibawahku udah setuju sama produknya, sampe di kamu malah ditolak, mau kamu apa sih?" ujar Arjoona mulai panas. Sedangkan Claire dengan santainya minum jus dan menjawab Arjoona.

"Karena aku gak akan terima produk yang gak punya kualitas,". Arjoona melipat kedua lengannya di dada. Claire akan selalu membencinya.

"Kamu benci sama aku tapi kamu melampiaskan sama produknya, gitu!" Arjoona langsung bisa menebak yang dipikirkan Claire. Gadis itu tersenyum sinis dan jahat.

"Aku gak perlu capek-capek untuk menjelaskan, ternyata kamu bisa paham, baguslah," Arjoona mengerutkan kening sambil membuka mulutnya heran.

"Bisa gak sih urusan pribadi gak dibawa-bawa ke kerjaan?" hardik Joona kesal. Claire hanya mengangkat bahu dan mengambil tas tangannya untuk berdiri dan bersiap keluar mansion.

"Claire... kita belum selesai," Joona mencoba mencegat Claire. Claire hanya berbalik dengan sikap tubuh seksi dan angkuh sambil berbicara.

"Urusan kantor, bicaraain di kantor,"

"Tapi..." Claire langsung turun dari lobi depan dan berjalan ke arah mobilnya. ia bahkan tidak melihat Arjoona sama sekali yang sudah kesal setengah mati. Arjoona terus mendengus keras melihat Claire yang pergi begitu saja meninggalkannya ditengah pendebatan tentang pekerjaan. Arjoona kembali ke dalam untuk mengambil tas jinjingnya dan masuk ke mobil untuk berangkat ke perusahaan yang sama.

Pukul 7 pagi, Kenanga terlihat menggeliat dan bangun dari tidurnya. Ia mengurut kepala yang terasa sangat pusing akibat mabuk semalam. Butuh hampir 15 menit hingga ia bisa sepenuhnya bangun dan merasakan air hangat di tubuhnya. Perlahan efek pusing karena alkohol mulai hilang setelah air membasahi seluruh tubuhnya.

Setelah mandi dan sedang mengeringkan rambutnya, di depan kaca kamar mandi Kenanga melihat beberapa kissmark yang membuatnya mengerutkan kening.

"Berarti semalam bukan mimpi," gumam nya sambil meraba tanda merah bahkan ada yang mulai kebiruan di sekitar leher dan tulang selangka. Kenanga mencoba mengingat wajah pria yang sudah tidur dengannya semalam. Dan ia hanya bisa mengingat samar-samar.

"Lebih bagus kalo gak usah ketemu lagi sama dia," lanjut Kenanga lagi lalu melanjutkan mengeringkan rambut. Setelah mandi dan masih memakai bathrobe, Kenanga mempersiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Namun baru dua gigitan pada sandwich nya, Kenanga langsung mual dan ingin muntah.

Ia terpaksa memuntahkan lagi sarapan paginya di wastafel dapur dengan perut mual dan rasa pusing yang datang tiba-tiba. Kenanga lalu duduk dan menenangkan dirinya. Mungkin karena alkohol belum sepenuhnya keluar dari tubuhnya maka ia merasa mual. Akhirnya ia tidak mau meneruskan sarapan dan bersiap pergi ke kantor.

Arjoona masih sibuk dengan rapat kecilnya dengan seluruh enginer dibawah divisinya untuk peluncuran produk minggu depan. Semua persiapan sudah dilakukan dan pengetesan produk sudah dilakukan beberapa kali untuk memastikan tidak ada masalah. Produk telah melewati proses Quality Control yang ketat dan dipastikan akan bisa dipasarkan secepatnya.

Namun panggilan dari Claire ke kantornya membuat Arjoona kesal. CEO itu minta banyak perubahan dan itu membuat mereka berdebat lagi.

"Kamu punya background analisa keuangan, kamu gak ngerti masalah teknis Claire," ujar Arjoona mulai menaikkan nada bicaranya.

"Aku CEO disini, tentu aja aku paham,". Hal yang sama terus diulang Claire agar Arjoona mau tunduk padanya. Arjoona mengibaskan tangannya di udara. Ia mulai bosan Claire terus menuntut hal yang hanya akan membuat seluruh rencana produksi menjadi berantakan.

Perdebatan itu terus berlangsung di depan seluruh manager dan enginer. Mereka seperti sedang menyaksikan pertandingan seru di televisi.

"Harusnya gue bawa popcorn tadi," bisik salah satu enginer pada temannya.

"Kenapa?"

"Perdebatan di depan seru," jawabnya sambil terus memperhatikan Arjoona yang mempertahankan pendapatnya pada atasan mereka yang keras kepala.

"Mereka gak capek berantem terus," bisik manajer lainnya.

"Gue biasanya kalo abis berantem ama bini, seminggu kemudian dia hamil," temannya langsung menoleh mengerutkan kening.

"Lo gak ada kerjaan lain selain bikin anak ya," manajer itu menyengir.

Akhirnya setelah seolah perdebatan itu tak kan berakhir, seorang manajer menyarankan agar Arjoona dan Claire menyepakati saja fitur mana yang hendak dipakai atau tidak. Keputusan baru diambil setelah perdebatan panjang dengan kedua belah pihak yang tidak puas, tapi itu lebih baik daripada mereka yang tidak berhenti sama sekali.

Setelah rapat itu, Keith Barnett telah menunggu Claire di kantornya tanpa diketahui oleh Arjoona yang berjalan keluar gedung perkantoran bersama para enginernya.

"Kamu sudah punya keputusan?" tanya Keith setelah beberapa saat berbasa basi dengan Claire. Claire tersenyum dan mengangguk.

"Pa, aku pikir kami belum butuh konsultan untuk saat ini," Keith tersenyum dan mengangguk. Ia sudah mengira jika Claire pasti akan menolak ide itu. Arjoona sudah mulai mempengaruhi Claire.

"Papa gak masalah, kalau kamu belum butuh berarti papa tidak perlu berada di sini," ujarnya mulai memojokkan Claire dengan sindiran. Claire langsung berubah tidak enak dan menggeleng.

"Aku gak masalah papa disini, aku malah senang papa bisa kemari," Keith mendengus sambil tersenyum.

"Untuk apa papa disini jika kamu tidak butuh papa?". Claire menggeleng.

"Sayang, papa hanya tidak mau kamu stress sendirian memikirkan seluruh masalah perusahaan sendirian. Aku yakin Arjoona malah membuat semuanya jadi buruk bukan," Claire tertegun memandang ayah tirinya yang masih terus tersenyum.

"Kalian masih bertengkar?" tanya Keith ingin tau. Claire mengangguk pelan.

"See, lihat pilihan kakek kamu kan? Pria itu bahkan tidak tau caranya menjaga perasaan kamu,". Claire masih diam dan tidak tau harus membalas apa.

"Papa harap kamu tidak melepaskan Louis, dia pria yang tepat untuk kamu," tambah Keith lagi mencoba memprovokasi perasaan Claire. Sesungguhnya ia mulai ragu pada Louis namun begitu Keith memprovikasinya lagi, Claire jadi melupakan yang telah diucapkan Arjoona padanya.

"Arjoona itu orang miskin, dia hanya ingin uangmu sayang," Keith terus mempengaruhi Claire. Keith terus mengatakan hal yang sama dan Claire mulai terpengaruh. Akan tetapi keputusannya tentang pengangkatan penasehat perusahaan itu tetaplah tidak berubah. Itu membuat Keith berang namun menyembunyikannya dengan sangat baik dibalik senyumannya yang membunuh.

Ia keluar dari ruangan Claire dengan wajah geram dan berjalan ke ruangan Louis. Ia harus bisa membuat Louis terus menempel pada Claire agar lebih mudah dikendalikan olehnya.

"Lou, kemarilah!" ujar Keith setengah menarik jas Louis begitu ia masuk ke ruangan pria itu. Louis yang tidak mengetahui apapun hanya mengikuti saja ketika ditarik Keith ke sudut ruangan.

"Apa kamu akan terus bersama Claire atau tidak? Karena jika tidak, aku akan mencari pria lain yang lebih pantas untuknya,"

"Apa maksud om?"

"Kalau kamu tidak bisa membuat Claire bercerai dengan pria itu secepatnya, aku akan menggantimu dengan orang lain," ancam Keith dan membuat Louis mengerutkan keningnya. Ia sesungguhnya sudah hendak mundur dari kehidupan Claire tapi ia hatinya seolah tidak rela.

"Jangan terlalu lama berfikir, aku butuh jawabanmu," tegas Keith lagi.

"Aku akan tetap bersama Claire, aku akan buat dia bercerai secepatnya," Keith mengangguk.

"Jangan buat aku kecewa!" ujar Keith lalu langsung pergi dari ruangan Louis. Usai Keith pergi Louis tidak mau membuang lagi kesempatannya. Ia tidak ingin kalah dari Arjoona.

Louis pun segera ke ruangan Claire dan mencoba meraih ia kembali. Claire yang melihat kekasihnya berlutut dan memberikannya kalimat-kalimat cinta luluh kembali.

"Aku cinta banget sama kamu Claire, aku gak akan sanggup melepaskan kamu. tolong jangan pergi dari aku," ujar Louis sembari berlutut dengan wajah hampir menangis. Ia mencium tangan Claire memohon agar hubungan mereka tetap terjalin seperti biasa.

"Aku juga cinta sama kamu," balas Claire sambil menangis dan Louis duduk disebelahnya langsung memeluk.

"Aku akan nunggu kamu hingga kamu cerai, tolong lakukan secepatnya supaya kita bisa langsung menikah," Claire menegakkan kepalanya memandang Louis. Louis mengeluarkan sebuah cincin yang sudah ia siapkan memberikannya pada Claire.

Louis memakaikan cincin lamaran itu di jari kanan Claire karena jari kirnya sudah melingkar cincin pernikahannya.

"Cincin ini harus pindah secepatnya ke tempat yang seharusnya," Louis menunjuk jari manis kiri Claire. Claire yang bahagia langsung memeluk dan mencium pipi Louis. Louis yang tidak bisa menahan keinginannya, akhirnya meluapkan rasa cintanya dengan mengulum bibir Claire dan tersenyum pada akhirnya.

Beberapa hari berlalu usai lamaran Lou pada Claire, hubungan Arjoona dan Claire tidak membaik. Mereka terus memperdebatkan hal yang mulai berujung pada kalimat Claire yang mengancam untuk bercerai. Belakangan Arjoona juga melihat ada cincin lain yang melingkar di jari Claire dan entah mengapa itu membuat hatinya sakit.

Beberapa kali pula ia pernah melihat sekilas, Claire dan Louis berciuman di tempat umum meski hanya kecupan singkat. Itu cukup membuat Arjoona mulai uring-uringan dan kehilangan konsentrasinya.

"Eh, jangan ngelamun," tegur Gentala mengetukkan ujung pensilnya pada Arjoona. Mereka sedang ada di sebuah kafe membahas lagu yang akan diproduseri oleh keduanya. Arjoona yang sedikit tersentak menyandarkan punggungnya pada sofa tempatnya duduk.

"Lo kenapa?" tanya Gentala masih memandang Arjoona lekat. Arjoona hanya mengatupkan bibirnya dan menggeleng.

"Lo punya masalah ya?" Arjoona hanya diam saja. Gentala melihat perubahan yang sangat kentara dari sahabatnya itu.

"Gue gak ngerti yang gue rasain,"

"Soal apa?" Arjoona tidak bisa bercerita tentang penikahannya.

"Ada cewek yang dekat dengan gue sekarang," Arjoona memulai ceritanya. Gentala yang mendengar menaikkan alisnya.

"Kalian pacaran?" Arjoona menggeleng.

"Lo suka sama dia?" Arjoona hanya diam ia tidak tau harus menjawab apa. Gentala akhirnya tersenyum dan menyuruhnya terus berbicara.

"Dia punya pacar tapi dia dekat sama gue, dan tiap gue liat dia sama pacarnya gue selalu marah. Padahal gak ada alasan gue untuk marah, toh kami gak pacaran," Arjoona berhati-hati mengarang ceritanya.

"Itu namanya cemburu Joona, artinya lo suka sama dia," Joona mengerutkan keningnya. Gentala mendengus tertawa lalu menggeleng tidak percaya. Arjoona kenapa berubah jadi amatiran sekarang.

"Tapi dia gak suka sama gue, dan gue gak boleh suka sama dia," Gentala mengerutkan keningnya.

"Kenapa?". Arjoona berfikir lagi.

"Karena dia punya pacar," Gentala tertawa.

"Baru juga pacar, yang udah punya suami aja masih bisa direbut," Arjoona mengigit bibir bawahnya. Seolah seperti ada rasa takut yang menghampiri hatinya, Arjoona melepaskan nafas berat dan memalingkan wajahnya. Matanya tidak sengaja malah menangkap dua sosok yang ia kenal.

Cafe yang dipilih Gentala untuk berdiskusi dengan Arjoona termasuk tempat cukup privat karena harus mereservasi terlebih dahulu. Dan mata Joona melihat sesuatu yang membuat keningnya berkerut.

"Lo liat apa?" tanya Gentala tak lama kemudian. Arjoona berbalik dan menggeleng. Ada sepasang manusia yang terlihat mesra di sudut cafe, bahkan hingga berciuman kecil beberapa kali.

"Gue ke restroom sebentar," ujar Arjoona dan diberi anggukan oleh Gentala. Arjoona pun berjalan santai ke arah restroom...wanita. Ia menunggu seseorang yang akan keluar dari kamar mandi itu dengan menyadarkan punggungnya di dinding. Begitu ia lewat, Joona langsung menegur.

"Gue pikir lo sahabat, ternyata bukan," tegur Arjoona pada gadis berambut panjang yang baru saja keluar sambil merogoh tasnya. Kenanga menaikkan pandangannya dan berbalik melihat Joona yang berdiri di belakangnya.

"Kenapa lo bisa ada disini?" balas Kenanga. Joona berjalan mendekati Kenanga.

"Sifat lo ternyata gak sebagus nama lo, sekarang gue ngerti kenapa lo telpon gue dan ngadu masalah makan malam Claire," Kenanga mendengus sinis.

"Tapi kan bener Claire istri lo, harusnya dia sama lo. Salah gue dimana," Arjoona mengangguk. Ia membuang wajahnya dan mendengus.

"Claire pasti gak tau jika kalian berselingkuh di belakangnya ya,".

"Gue gak selingkuh, Claire udah nikah sama lo. Jadi Lou adalah pria bebas," protes Kenanga dengan nada kesal. Joona hanya terus memandang gadis itu.

"Coba gue tebak, kalian sudah berselingkuh sebelum Claire nikah sama gue," Kenanga tidak menjawab. Dan mata kecewa Joona terlalu besar untuk ditepis. Ia melepaskan nafas berat.

"And you call yourself a bestfriend" (dan kamu memanggil dirimu seorang sahabat) gumam Arjoona dan berbalik berjalan hendak kembali ke dalam.

"Lo bakal ngasih tau Claire?" Arjoona berhenti dan berbalik.

"Gue bukan pengadu, Claire akan tau dengan sendirinya. Karena kebenaran itu gak bisa ditutupi selamanya," jawab Arjoona lalu pergi meninggalkan Kenanga di lorong.