Rasanya hidup itu, bagai sebuah semponi melodi.
Tak ada minor tak kan lah indah suara yang dihasilkan-nya.
Lampu itu menyilaukan, namun saat ia kehabisan daya.
Rasa-nya itu membuat diri kita ketakutan akan kegelapan.
Sepatu selop ber hak sedang, mengoyangkan kaki.
Sambil menenggak minuman kaleng.
Sesekali mereka berbicara, dengan bayu yang masih sibuk menulis.
Hawa panas menyengat tubuh, meneduhkan diri di gazebo.
Ia melirik ke arah bayu, lalu ia palingkan lagi ke arah lain.
Melihat tingakah-nya, bayu tersenyum tipis dengan tangan masih memegang pulpen.
Ia menoleh ke arah Rosa, dengan tersenyum kepada-Nya.
"Kadang aku berpikir". Ia tehenti sejenak, Bayu taruh pulpen milik-nya.
Kemudian ia sentuh wajah rosa dengan tangan-nya.
"Apakah kamu tak ingin merasakan cita, Menikmati hidup, dan Tak lagi berbicara hal-hal yang menyedihkan". Tangan-nya masih tetap menyentuh wajah Rosa.
"Bayu!" pangil rosa pada-nya.
"Tak, tak mungkin aku mencintai-nya, aku hanya merasa ia sedikit berubah".
"Bayu!" pangil rosa untuk kedua kali-nya.
Perlahan ia lepaskan tangan-nya dari wajah rosa.
"Aku hanya berpikir ia sudah sedikit dewasa, dalam berpikir".
"Bayu!" untuk ketiga kali-nya rosa memangil nama-nya.
Kini bayu menundukan kepala-nya, "Aku memang mencintai-nya", gumam-nya.
"dan kamu? Menulis memang penting, namun cinta juga tak kalah penting-nya bayu".
Bayu dongakkan kepala-nya ke atas.
Rosa menatap diri-nya yang tengah malamun itu.
"Benarkah?" kata ia kepada diri-nya, apakah Bayu memang benar-benar mencintai rosa?
atau ini hanyalah perasaan yang lain-nya?.
"Bayu!" Rosa terus memanggil nama-nya beberapa kali, namun nampak-nya bayu tak mendengarkan pangilan dari rosa itu.
"Maaf rosa aku telah mencintai mu". Gumam-nya.
Hari ini tak lah bayak cerita yang mereka ukir.
"Belum" jawab-nya.
"Tapi waktu itu semakin dekat, rosa" kata seseorang yang berbicara kepada-nya lewat telpon.
Rosa diam, lalu ia matikan pangilan itu.
Daun-daun kini mulai berjatuhan, bukan karena musim gugur namun karena memang daun itu sudah tua, karena di indonesia tak ada musim itu, angin berhembus kencang, awan mendung terlihat di langit, padahal ini masih musim kemarau, kilatan cahaya menyambar-nyambar di awan kelabu.
Tak lama hujan turun membasahi tanah di bumi.
"Biasa-nya tak lah begini".
Kini rosa mulai kedinginan.
"kau kedinginan?" tanya bayu kepada-nya.
rosa menganguk kan kepala-nya, ingin bayu menolongnya namun ia juga sama seperti rosa, ia kedinginan, ia tak menyangka hari ini akan hujan, baju tipisnya begitu mudah ditembus oleh hawa dingin.
Ia melirik ke arah rosa, perlahan ia dekati rosa, dipeluk-nya tubuh rosa, agar tak kedinginan lagi.
Kini hawa dingin mulai menjadi hangat, pelukan itu menghangatkan diri mereka, dan juga membuat jantung bayu berdebar cukup kencang.
Harum-nya bau rambut rosa, menambah debar dijantung-nya.
"maaf" kata bayu, lalu ia lepaskan pelukan-nya itu, rosa hanya melongo saat ia meminta maaf pada rosa.
"apa maksudnya?" tanya rosa.
Ia hanya diam membisu, tanpa kata, tak berani menatap rosa, melihat tingkah-nya Rosa tersenyum.
Ia pandangi wajah bayu tanpa berkedip, merasakan bahwa rosa tengah memandingi diri-nya, membuat jantung bayu berdetak lebih kencang, lebih kencang dari yang tadi-nya.
Rosa tertawa, lalu memeluk tubuh bayu.
"Bisakah begini sebentar".
"Kau masih sama bayu". Rosa bergumam dalam hati, memikirkan apa yang pernah ia lewati bersama bayu di waktu dulu,
"kau tak pernah berubah" dan masih saja bergumam, kini pelukan itu semakin erat, menghanggatkan dalam kedinginan di sekitar mereka.