Chereads / Aku dan 1000 kota / Chapter 42 - Postdam, Germany ( 3 )

Chapter 42 - Postdam, Germany ( 3 )

Aku sepenuhnya sadar, semakin lama aku tinggal di Postdam, aku akan terbawa oleh perasaan akan George, cepat atau lambat aku akan di hadapkan diantara dua pilihan, antara George atau Valter. Walau aku tahu tidak ada pernyataan komitmen antara aku dan George, namun pertemuan dan interaksi yang perlahan mengikatkan kita akan saling membutuhkan satu sama lain adalah perasaan nyata yang tidak dapat dihindari.

Pertama kali mengenal George tidak ada sedikit pun niat untuk mendua hati apalagi belajar mencintainya, terlebih posisi George tak lain adalah kakak kandung dari Valter, namun kuakui George begitu gigih untuk mendapatkan hatiku, juga pesona George yang membuatku mustahil untuk menutup mata, sehingga semuanya bergulir dan aku mulai terbiasa dengan ritme hidup melayaninya, dan memastikan dia dalam kondisi prima adalah sesuatu yang sangat penting bagiku.

Di sisi lain hatiku juga masih sangat mencintai pacar resmiku, Valter, merindukannya selalu. Serasa nafasku akan terhenti jika harus kehilangannya.

Aku melihat hatiku bercabang dua, seperti sebuah pohon apel yang memiliki dua cabang ranting, salah satu ujung ranting menawarkan buah apel yang ranum dan lezat siap untuk dipetik, di ujung ranting yang lain menawarkan apel yang juga tidak kalah mengiurkan. Aku yang kelaparan akan mati begitu saja, hanya karena tidak mampu memutuskan mana buah apel yang akan aku pilih. Aku ingin keduanya, jika aku hanya memilih satu berarti aku akan kehilangan yang satunya, semakin lama aku tidak dapat memutuskan, buah apel itu berkerut, berubah warna, dimakan kelelawar dan satu demi satu, jatuh kebawah mendarat di kakiku. Oh Tidak, aku harus bisa memilih.

Aku berharap waktu akan menjawab semua kegalauan hatiku, George akan segera pulih sepenuhnya, kembali ke kehidupannya dan aku bisa pergi menjauh kembali ke kehidupanku bersama Valter.

-

Hari ini aku menemani George berlatih berjalan di sebuah ruangan belakang yang sudah disiapkan untuk perawatan lanjutan, dibantu oleh dua orang fisioterapis yang senantiasa memonitor perkembangannya. Terapi fisik ini sangat membantu memperbaiki fungsi gerak motoriknya selepas adanya gangguan pada otot tubuh setelah kecelakaan. Selepas itu biasanya kami menghabiskan waktu berjalan di sepanjang taman belakang rumah.

Kami menikmati senja di pinggiran sebuah danau di area taman belakang villa, memandang bentangan air danau yang dikelilingi rerimbunan pohon serta hijaunya rerumputan, aku duduk di atas rerumputan di samping George, menikmati hembusan angin sepoi sepoi.

" Ketika aku kecil, aku selalu sibuk berkuda dan bermain musik sehingga tidak sempat menikmati danau. Mungkin ini saat yang tepat di fase hidupku untuk berhenti dan beristirahat sejenak. " sahut George sambil tersenyum, ia menyodorkan tangganya minta untuk di gengam.

Aku meraih tangannya dan mengengamnya, George memerlukan banyak dukungan emosional untuk mempercepat pemulihannya.

" Alat musik apa yang kau mainkan ? " tanyaku sambil mengamati wajahnya.

" Aku bisa memainkan piano, harpa, juga gitar. " ucapnya sambil memperhatikan wajahku.

" Kalau begitu, maukah kamu memainkannya untukku suatu saat nanti ? " tanyaku lagi.

" Tentu saja, Jade. " ucapnya.

Aku bangkit berdiri disampingnya, terasa kurang nyaman posisi duduk sambil mengengam tangan. George membawa tanganku dan menaruhnya di pipinya, seperti seekor kucing yang bermanja manja, hal yang sudah sangat sering ia lakukan setiap kali kami berjalan bersama, beberapa kali mama Maloree memergokinya tapi sepertinya ia tidak begitu perduli akan hal itu, melihat George tersenyum adalah segalanya bagi mama Maloree.

" Boleh aku bertanya sesuatu, Jade ? " ucap George kemudian.

" Tentu saja boleh, kamu mau tanya apa ? Mau mengajakku bepergian lagi ? " sahutku dengan wajah meledek.

" Apakah kamu keberatan menemaniku dalam keadaan begini ? " sahutnya serius.

" Hmmm...aku tulus membantumu pulih George, aku tidak keberatan atau mengharapkan pamrih. " ucapku sambil menatap kedua bola mata George meyakinkannya.

" Kenapa kamu berpikiran demikian ? " sahutku masih mengamatinya.

George menghela nafas nya, raut wajahnya berubah sedikit serius, " Belakangan aku merasa bersalah karena menyekapmu disini, seharusnya engkau bersama Valter di Munich. " sahutnya lagi.

Serpihan ingatan George sudah kembali utuh, dia kini tau persis posisiku dan posisinya. Dan ia sudah mulai sadar suatu saat nanti kita berdua akan kembali ke dunia nyata kita, menjalani hidup masing masing.

" Jangan berpikiran seperti itu George, jika kamu mengangapku bagian dari keluarga ini. " sahutku menenangkannya.

" Aku tidak ingin engkau pergi Jade. " sahutnya lagi, sambil sedikit gelisah. Gelisah dan panik tidak baik untuk George, setelah trauma otak yang ia rasakan, sebisa mungkin dia dicegah dari berbagai informasi yang memaksanya untuk berpikir keras. Harus diupayakan dia berada dalam kondisi positif, relax dan tidak tertekan, ia belum siap untuk dengan emosi yang berlebihan.

Aku mendekat berlutut di depan kursi roda, mendekat kepadanya, mengengam kedua tangannya, dan berusaha menenangkannya. Sekilas aku terkenang akan sosok Valter dengan pembawaanya yang tenang, yang selalu menenangkanku seperti hal yang sedang kulakukan sekarang.

" George, aku tidak kemana-mana, aku akan selalu disini kapanpun kamu memerlukanku. Aku tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan begini." ucapku berbisik meyakinkannya.

George mencium kedua tanganku, menatap kedua mataku dalam, ada ketakutan disana.

" Mendekatlah Jade. " bisiknya.

Aku mendekatkan wajahku lebih dekat ke arah George. Aku sudah tidak ingat lagi, bagaimana caranya menjelaskan apa yang tengah terjadi, aku mendapati diriku saling menyalurkan energi dalam hangatnya ciuman George, aku tidak ingin mengingat siapa diriku dan siapa dirinya, yang kutahu aku memberikan sepenggal hatiku untuknya. Untuk George.

Ada getar getar indah di setiap langkah ketika menyusuri jalan pulang ke Vila, getar yang membuatku lupa akan Valter.

-

" Darimana saja kalian." sapa Valter dari arah ruang keluarga sambil tersenyum dan membuka lengannya, menyambutku ke dalam pelukannya.

Kehadiran Valter yang begitu tiba tiba membuatku kaget, seperti mendengar suara hantu. Aku berjalan kikuk kedalam pelukannya, meninggalkan George dan kursi rodanya, seorang perawat kemudian mengambil alih peranku membawa George kembali ke kamarnya.

Aku berada dalam pelukan Valter namun pikiranku berada pada George, aku khawatir dia akan terluka ketika melihatku dalam pelukan Valter.

" Jade ? " Valter mengoyang goyangkan pelukannya.

Dengan sedikit kaget aku secepatnya merespon, " oh, Ya sayang. "

Guncangannya terhenti dan memandang wajahku, " Kamu belum menjawab pertanyaanku, apakah kamu melamun ? " sahutnya lagi sambil tersenyum kecil.

" Tidak sayang, aku hanya menikmati pelukanmu. Aku kangen. " ucapku lagi dan mempererat pelukannya sambil menutup mataku.

Sungguh tidak enak berada dalam posisiku, membagi hati dengan dua orang kaka beradik. Selain di hantui rasa bersalah, aku harus sedikit melakukan drama dan kebohongan kecil yang membuatku semakin tidak nyaman.

" Ini belum weekend, kamu sudah disini ? Apakah kamu mengambil cuti ?" tanyaku, mengamati Valter yang baru selesai mandi.

" Yah, keadaan kantor tidak begitu sibuk, jadi aku memutuskan untuk kembali, lagipula aku begitu rindu dengan pacarku. " sahutnya lagi.

" Berapa lama kamu akan berada disini ? " tanyaku.

" Aku akan tinggal selama 5 hari dan kembali ke Munich. Btw, bagaimana keadaan kakakku ? " Valter berjalan ke arahku dan duduk di sebelahku setelah selesai berganti pakaian. Aroma parfum Valter menyeruak ke sebagian ruangan, mengingatkanku bahwa aku begitu merindukannya.

" Sepertinya kamu kurang bahagia, melihatku pulang. " sambungnya sambil melirikku sekilas.

Aku berusaha serileks mungkin dan tidak terlihat kikuk di depan Valter.

" Kakakmu sudah jauh membaik, dia sudah bisa berjalan pelan. Mungkin memerlukan sedikit waktu lagi hingga benar benar pulih. " sahutku.

" Itu berita baik, aku sudah tidak sabar untuk membawa pulang pacarku. " ucapnya sambil tersenyum senang.

💛💛💛