Wajah yang tampan, harta berlimpah, pasangan yang cantik mungkin adalah bagian kesempurnaan hidup bagi seorang pria. Namun, segala kesempurnaan itu menjadi tercemar saat pria tersebut tak mampu menghasilkan keturunan. Semua itu di alami oleh Vanya, mungkin kalian sering mendengar kata surrogate yang artinya pengganti, di sini mungkin hal tabu dan tak masuk akal. Vanya tahu ini dosa namun tuntutan serta ketidak sabaran bagi kedua orangtua Brian yang ingin segera menimang cucu selalu menjadi mimpi buruk untuknya.
Seorang wanita dewasa sedang duduk santai di kursi cafe di atas meja tersajikan secangkir Latte dengan asap yang masih mengepul ke udara, wanita itu masih berdiam di posisi awalnya. Dengan bertumpukan kedua tangan yang sengaja ia tumpuk, wanita itu hanya memainkan kedua maniknya dengan sangat malas.
Vanya sudah duduk satu jam sebelum perjanjian dengan temannya, hari ini entah hari ke berapa mereka berjumpa jujur saja setelah menikah Vanya merasa hidupnya terasa monoton, seharusnya ia merasa istimewa namun kenyataan membelenggu takdirnya sendiri.
Vanya tahu kehidupannya sangat mewah, Brian benar-benar memenuhi kebutuhannya. Namun Vanya tahu pernikahannya tak berarti apa-apa tanpa hadirnya sosok anak di tengah-tengah mereka.
Bukan, bukan karena ia tak ingin melainkan takdir kembali mengambil alih kehidupannya seakan-akan tak ada jalan keluar untuknya mencari opsi kedua, semuanya sudah mutlak, paten tak mungkin di ganggu gugat.
Vanya memiliki rahim yang sangat sehat tak ada kendala untuknya mengandung melainkan sang suamilah yang memiliki masalah, mungkin efek dari masa remajanya dulu hidup tak sehat mengakibatkan reproduksinya bermasalah. Sejujurnya Brian maupun Vanya tak mempermasalahkan keturunan bagi keduanya, apalah arti kata sebuah anak jika mereka tak bahagia.
Vanya kembali menoleh ke arah arloji di tangan kanannya, satu jam lebih lima belas menit bokongnya duduk di atas kursi namun sosok yang ia tunggu tak kunjung memunculkan batang hidungnya. Vanya mendengus kesal, tatapannya semakin jengah karena ia harus terus menunggu setelah cukup lama membatin dengan amarahnya. Vanya kembali mendudukan bokongnya di atas kursi setrlah beberapa detik yang lalu ia angkat dan berniat meninggalkan cafe, "kenapa lama sekali?"
wanita berambut pendek itu hanya nyengur kuda, "maaf, sejujurnya aku lupa akan janji hari ini."
"Sudah aku duga," Vanya tutup pembicaraan, wanita itu segera menyambar Latte dingin di samping tangan kanannya.
"Sungguh aku minta maaf Van."
Vanya mengangguk.
"Jadi kau yakin akan bercerai dengan Brian?" Megan angkat bicara setelah beberapa detik hanya keheningan di antara mereka.
Vanya menyudahi aktifitas minumnya, "aku belum pasti."
Megan memainkan jemari tangannya, kedua maniknya mulai mengintai sekitaran cafe. "aku memiliki ide yang cukup gila, kau mau mendengarkannya?" Megan menyondongkan tubuhnya, "Sungguh gila rencanaku ini."
Vanya ikut-ikutan antisipasi wajahnya nampak khawatir dalam seperkian detik. "kau yakin dengan rencanamu itu?"
Megan mengangguk mantap, "Aku yakin rencanaku ini akan berjalan mulus seperti jalan tol, tanpa hambatan."
Vanya menggetok puncak kepala Megan atas jawaban nyeleneh yang ia dengar. "Kau ini!"
"Bagaimana dengan surrogate husband? kau hanya butuh spermanya saja tak lebih."
Vanya hanya ber oh ria setelah Megan mengumpulkan keberanian untuk mengatakan ide gila miliknya, Vanya tak terkejut karena negara mereka adalah negara bebas jadi bukan hal yang mengejutkan jika ia sedikit nyeleweng dari jalurnya, Vanya maupun Megan hanya saling berbalas tatapan dan suasana hening di antara mereka.
Megan menggebrak meja, "Aku rasa ideku memang gila!"
"Aku kaget, bodoh!"
Vanya mentoyor dahi Megan lalu menyuruh lawan bicaranya itu untuk kembali duduk, "Sepertinya idemu bagus juga aku akan mencobanya."
"Kau yakin Vanya? bagaimana dengan Brian?"
"Aku akan meminta izin padanya tenang saja jadi aku tidak berselingkuh darinya," katanya mantap yang di ikuti oleh gidigan ngeri dari teman bicaranya.
Megan ragu jika idenya ini tidak akan menimbulkan masalah lain, "Kau gila! meminta izin kepada suamimu? kau mengibarkan bendera perang Vanya, bendera perang!"
"Kecilkan suara nyemprengmu itu! ini idemu bukan?" Vanya meraih tasnya, "Aku akan mencobanya, terima kasih Megan sahabatku."
Vanya berpamitan pergi setelah ia merasa cukup untuk membahas masalah beratnya, meski itu ide gila ia akan mencobanya.
______________
Mohon dukungannya ๐ฅฐ