Brian tengah meremas kuat railing balkon, sudah setengah jam ia membiarkan angin menerpa tubuhnya dengan dua kancing kemeja navy terbuka menampilkan sedikit dada bidangnya, pria itu masih setia menatap langit yang gelap. Tak ada cahaya bulan atau bintang yang menghiasi langit, semuanya nampak kosong sama halnya dengan pikirannya saat ini.
Sejujurnya, pernikahan ini tak sepenuhnya berarti untuk Brian. ia menikahi Vanya karena paksaan jika bukan karena ulah sang ayah yang menabrak kedua otangtua Vanya dan membuatnya menjadi anak yatim piatu, Brian tak mungkin menikah cepat.
Sudahlah itu sudah lama berlalu, saat ini bukan hanya hal itu yang mengganggu pikiran serta jam tidurnya. Brian masih mencerna ucapan sang ibu yang memang sejak awal pernikahan mereka ia lah satu-satunya orang yang tak setuju akan pernikahannya.
Brian menghela napas beberapa kali di iringi dengan kepalanya yang menunduk pasrah, semua masalah saat ini sudah jelas membuat kepalanya ingin pecah seketika. "aku harus bagaimana?"
Pertanyaan yang tak mungkin mendapatkan jawaban, Brian tak tahu harus mengambil langkah yang mana meski ia akui belum sepenuhnya mencintai Vanya selama lima tahun berjalan, Brian hanya iba tak lebih. Lalu untuk part pertama mengenai sosok anak yang ingin hadir di antara pernikahannya itu hanya sebuah gertakan saja, Brian tahu dalang dari semuanya adalah sang ibu.
Seharusnya ia melawan dan membela martabat istrinya, tapi Brian tak begitu naif jika dirinya memang belum menginginkan hadirnya seorang anak di antara mereka bahkan lahir dari wanita yang belum ia cintai sama sekali. Kejam memang, tapi tak ada pilihan.
"Mas? kenapa belum tidur?" Vanya memeluk punggung Brian dari belakang.
Brian menggeleng lemah, bagaimana ia bisa mengantuk jika ucapan sang ibu terud menerus memenuhi otak pikirannya.
"Ceraikan Vanya atau kau akan aku hapus dari daftar warisan keluarga Luxio. Ibu sudah jengah melihat istrimu itu sudah lima tahun tak kunjung memberikan ibu seorang cucu, apa wanita itu mandul?"
'Sejujurnya akulah yang mandul." Brian membatin di sela-sela Vanya semakin menenggelamkan kepalanya di punggung suaminya.
Vanya menoleh sesaat, Brian tak biasanya berlama-lama di atas balkon apalagi tengah malam seperti ini. "mas kau baik-baik saja?"
"Apa yang kau pikirkan?" Vanya kembali dengan beruntun pertanyaan yang segera meminta pertanggung jawaban.
'Apa ia tahu jika aku bermalam dengan Elard?' seketika batin nakalnya kembali mengingatkan, tanpa sadar Vanya mengurai pelukannya karena terhenyak kaget dengan batinnya yang laknat mengingatkan kembali adegan panasnya dengan seorang Elard Hudsonn.
Saking terkejutnya Vanya tak menghiraukan bagaimana dahi Brian mengerut aneh, pria itu membalikkan tubuhnya untuk segera menatap wajah Vanya. Dan pemandangan yang ia dapat adalah wajah pucat pasi dari istrinya, "Sekarang kau yang kenapa?"
"Eh, aku tidak apa-apa." Vanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal menyibakkan sedikit surai cokelat panjangnya dan Brian menoleh ke arah leher jenjang istrinya matanya membulat tak percaya melihat ada kissmark di sana memang tak begitu jelas namun Brian yakin jika itu bukan ulahnya. Mengingat jika mereka entah sudah berapa minggu tak bercinta, bahkan hanya untuk bercumbu saja Brian sangat malas.
Brian akui jika perubahannya sedikit berlebihan, entah kenapa biasanya ia sangat bernafsu jika melihat leher istrinya rasanya ingin segera menyergapnya namun semuanya lenyap setelah Brian tanpa sengaja bertemu dengan seorang wanita yang berhasil mencuri hatinya saat pandangan pertama.
Kenapa dadanya sesak?
Tidak! jangan berlebihan itu hanya perasaan aneh yang hinggap tanpa sengaja, Brian meyakini diri sendiri tak seharusnya ia merasa cemburu mungkin kedua manik miliknya hanya salah lihat, sial! ia pria dewasa mana mungkin tanda merah itu di sebabkan oleh hewan penyedot darah?
Brian masih enggan mengalihkan pandangannya sampai akhirnya Vanya menyadari tatapan Brian mulai aneh ke arahnya, "Kenapa belum ganti pakaianmu mas?" Vanya mengganti topik pembicaraan dan sehelai surai panjangnya ia letakkan di bagian depan untuk menutupi pemandangan yang di takutkan akan menjadi biang masalah.
Brian berdehem kaku, pria itu kembali membalikkan tubuhnya. "Sebaiknya kau tidur duluan, aku masih ingin di sini."
"Sen-di-rian."
Mendengar ucapan Brian yang mengatakan bahwa ia ingin sendirian dengan nada penuh peringatan membuat Vanya merasa bersalah, apakah suaminya itu menyadari ada tanda Kissmark di area lehernya. Seharusnya ia mengoleskan foundation sebelum tidur tadi, kenapa akhir-akhir ini ia selalu melakukan hal yang ceroboh?
Vanya mengangguk pelan lalu mundur beberapa langkah dan akhirnya membalikkan tubuhnya. Vanya sejenak terdiam di ambang pintu, "aku rasa kau menyembunyikan sesuatu mas."
Ucapan Vanya berhasil membuat sang lawan bicara menoleh segera tapi Brian tak menggubris atau menjawab pertanyaan istrinya, otaknya semakin di penuhi oleh banyak pertanyaan belum sempat ucapan sang ibu mendapatkan solusi sekarang masalah baru kembali hadir.
"Siapa pria yang berani menyentuhmu?" katanya dengan kepalan keras di area railing balkon sampai rahang kokoh milik Brian semakin mengetat.
🌸🌸🌸
Vanya tengah sibuk dengan urusan dapur meski banyak Maid dan seorang chef , Vanya selalu membiasakan diri agar tak menjadi seorang wanita manja. Ia selalu menyiapkan semua kebutuhan suaminya dengan kedua tangannya contoh kecilnya saat ini adalah menyiapkan sarapan pagi untuk Brian.
Vanya tersenyum lebar ketika meja makan sudah tertata rapi dengan berbagai hidangan, wanita itu mengusap dahinya lalu beranjak dari ruang makan. "Kenapa perasaanku tak enak ya?"
Sejenak Vanya membeku, kedua kakinya berhenti melangkah di anak tangga pertama. Satu tangannya meremas kecil bagian railing tangga kedua manik teduh miliknya menengadah kearah pintu kamar, masih tertutup rapat itu tandanya Brian masih belum keluar dari dalam kamar.
"Tumben belum keluar." Vanya menoleh kearah arloji di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul tujuh pagi waktu setempat itu tandanya Brian akan terlambat untuk berangkat bekerja jika jam segini pria itu belum kunjung keluar dari dalam kamar.
Tanpa ba bi bu be bo Vanya kembali melanjutkan kedua kakinya menaiki setiap anak tangga, tak ada yang aneh menurutnya mungkin hanya karena ia merasa bersalah dan berdosa pernah 'tidur' dengan pria lain. Hal itulah yang membuat Vanya merasa jika sifat suaminya sedikit berubah entah sedari kapan namun Vanya yakin jika Brian sepertinya berniat menjaga jarak darinya.
Vanya sampai di dekat pintu berwarna cokelat gelap, biasanya ia mengetuk dahulu namun saat ini bisikan untuk segera masuk tanpa mengetuk terdengar semakin mendesaknya, Vanya menarik knop pintu secara perlahan tanpa meninggalkan bunyian sedikitpun, kedua manik miliknya menemukan seorang pria yang berdiri di dekat balkon. Nampaknya Brian tengah berbicara serius, Vanya mengimbangi niatnya untuk menghampiri atau membiarkan shaminya turun setelah urusannya selesai.
"Ada apa Vanya? dia suamimu, kau harus mengingatkannya untuk segera sarapan."
Baiklah! Vanya menyerah dengan egonya, wanita itu memilih untuk mendekati keberadaan suaminya dengan langkah yang kembali pelan karena ia tak ingin mengganggu Brian.
"Bu, aku pasti akan menceraikannya."
Samar-samar Vanya mendengarkan pembicaraan Brian dengan mertuanya di balik panggilan telepon, sampai akhirnya tubuh ramping Vanya memilih untuk bersembunyi di balik gorden.
"Aku menyukai wanita lain, dan sepertinya aku mencintainya."
"Baik, secepatnya aku akan menceraikan Vanya."
_______________________________
Sampai bertemu kembali di part selanjutnya.
Jangan lupa dukungannya ya 😊
See you 💋💋💋