Juna menatap Markus yang tengah asyik membaca bukunya sambil menulis di buku catatannya.
Juna menatap sekitarnya, ia menatap teman-temannya yang sekarang sedang asyik mengobrol, bermain ponsel, tidur, mendengarkan lagu, dan adapula yang tertangkap basah sedang menguap lebar-lebar.
Juna kembali fokus membaca buku didepannya, harusnya saat ini guru Biologi mengajar didepan kelas. Tetapi karena ada ujian praktek pada jam kedua di pelajarannya, mereka diberikan jam bebas pada jam pertama untuk belajar sejenak.
'Buat apa gue belajar? Kan ini ujian praktek, bukan teori. . .'
Juna memijat pelan kepalanya karena otaknya terasa penat, lalu ia meletakkan kepalanya di atas meja.
Juna melirik pemandangan di luar kelas karena pintu kelas mereka dibiarkan terbuka, beberapa murid kelas lain melewati depan kelas mereka. Pikir Juna, mereka baru saja dari laboratorium IPA dan balik ke kelas mereka untuk melanjutkan materi selanjutnya.
Juna melirik satu persatu siswa dan siswi yang lewat, lalu tak sengaja ia melirik seorang gadis yang tengah membawa setumpuk buku dan menggunakan kacamata bulat miliknya. Juna tersenyum manis saat meliriknya.
"Manis banget anaknya orang. . ." Juna menoleh ke sampingnya dan mendapati Markus yang bergumam sendiri.
"Siapa?" Tanya Juna sambil menatap aneh ke arah Markus.
"Itu. . . Yang lewat tadi, tjakep banget. . . Ingin rasanya dia jadi milikku," ujar Markus sambil menyanyikan akhir kalimatnya.
"Oh . . . Yera?"
Markus mengangguk lalu menatap ke arah luar kelas lagi mencoba mencari keberadaan Yera di luar kelas.
"Kalau suka ya ditembak anjir!" Juna geram dengan tingkah Markus yang mencintai Yera tapi tak berani mengungkapkannya.
"Kalau ditembak, entar dia mati dong?" Juna memasang wajah kesal menatap Markus.
"Bukan gitu Markus Alexandre, maksudnya tuh ya dipacarin gitu. . . Coba chat dia gitu atau pdkt sama dia. . ." Nasihat Juna.
"Gue nggak—"
"Nggak pede? Takut? Takut sama pawangnya? Dicoba dulu, nyerah mulu kerjaan lo!" Ujar Juna yang benar-benar geram membuat Markus terkekeh.
"Apa salahnya dicoba sih, Mark? Lo nggak capek apa mendam tiga tahun sendirian? Gue kalau jadi lo capek, anjir. . ." Ujar Juna.
"Nanti gue coba,"
"Ninti gii cibi," cibir Juna sambil menjelek-jelekkan wajahnya.
"Serius nih gue kali ini. Gue mau ngungkapin perasaan gue sebelum lulus nih, doakan ya!!" Juna menepuk pelan pundak Markus.
"Gue selalu doain, bro!"
**
Juna sekarang tengah menemani Markus ke toko buku. Markus ingin berburu buku panduan UTBK edisi terbatas katanya, ya mau nggak mau Juna menemaninya.
Juna sendiri sudah memiliki buku tersebut, buku panduan tersebut diberikan oleh kakaknya. Sedangkan saat itu, Markus tak sempat mendapatkan buku tersebut karena ketinggalan informasi.
Juna membiarkan Markus memilih buku-buku tersebut dan ia pergi ke area novel-novel. Ia melirik beberapa novel-novel karya penulis ternama seperti Tere Liye, Pramoedya Ananta Toer, Pidi Baiq, dan penulis lainnya.
Ia pernah membaca salah satu buku karangan dari Tere Liye, didalamnya berisi kalimat yang selalu ia ingat di kepalanya.
Lepaskanlah, maka semoga yang lebih baik akan datang. Lepaskanlah, maka semoga suasana hati akan lebih ringan.
Itu adalah sebuah kalimat yang selalu tertanam di otaknya. Kalimat itu merupakan kalimat yang cocok untuknya saat itu yang sedang dilanda kesedihan karena penceraian orang tuanya.
"Jun, udah?" Juna menoleh ke belakang dan mendapati Markus yang membawa sebuah buku di tangannya.
Juna mengangguk dan berjalan mendekati Markus. Mereka berdua berjalan bersama menuju kasir untuk membayar buku milik Markus.
"Ah beli di Sima aja anjir,"
"Dilihat dulu dong bego!"
"Ah malu bangke dilihatin sama mas-masnya."
Juna menoleh ke belakang saat menuruni anak tangga karena mendengar suara yang tak asing di indera pendengarannya.
"Loh Yera, Dery? Ngapain?" Juna menyapa lalu dibalas senyuman manis oleh Yera dan Dery.
"Ini nemanin si nyai nyari ukulele, biasa nyai mau hambur-hambur duit—SAKIT BEGO!!" Yera langsung menginjak kaki Dery yang membuat Juna dan Markus terkekeh.
"Hehe, oiya habis ngapain kalian?" Yera tak memperdulikan Dery yang meringis kesakitan dan menatap kedua orang di hadapannya.
"Ini habis nyari buku, oiya lo mau nyari ukulele ya? Gue ada saran nih beli ukulele murah dimana, cari aja di Diva," ujar Markus.
"Kan gue juga bilang apa, disini tuh mah—" Dery mengumpat kesal saat mulutnya ditutup oleh telapak tangan Yera.
"Malu-maluin lo, bangsat!" Ujar Yera pelan kepada Dery.
"Terima kasih, anjing."
"Haha, yaudah. . . Yer, Der kita duluan ya. . ." Pamit Markus lalu dibalas anggukan kepala oleh Yera dan Dery. Juna dan Markus bergegas meninggalkan mereka berdua.
"Cia ada mbak gebetan!" Ejek Juna sambil terkekeh menatap Markus.
"Iya, ada mbak gebetan—tapi lagi sama pawangnya. Kapan ya bisa ngajak jalan dia?" Markus menunduk.
"Kapan-kapan. . . Makanya tuh gebetan, didekatin, terus ditembak. . ." Ujar Juna.
**
Juna mencintai musik, musik adalah separuh dari jiwanya. Musik merupakan sahabat nomor satu yang selalu menemani dalam suka maupun duka.
Juna mencintai musik karena papanya. Kata papa, musik merupakan sepotong puzzle yang menghiasi hidup papanya. Papanya juga menceritakan jika musik adalah cinta nomor satunya, tak ada yang bisa menandinginya.
Jika membahas soal musik, Juna akan selalu terbayang betapa bodohnya dia saat jaman sekolah menengah pertama.
Saat itu, ia menyatakan cinta pertamanya kepada kakak kelasnya dan ia menyanyikan lagu buatannya dalam versi Inggris. Dan ternyata, cintanya ditolak oleh kakak kelasnya.
Itu merupakan kenangan pahitnya yang selalu ia ingat. Jika dia sudah memiliki keturunan, dia akan menceritakan kisahnya itu kepada anak dan cucunya.
Ada juga satu kenangan mengenai cinta dan musik. Ini merupakan kalimat yang diambil dari novel karya Tere Liye.
Cinta itu beda-beda tipis dengan musik yang indah. Ya, cinta itu macam musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti.
Perihal perbedaan Cinta Sejati dan Musik Indah. Juna membenarkan pernyataan penulis tersebut, menurutnya itu benar.
Juna juga ingin bercerita sedikit mengenai kisah cintanya. Menurutnya, kisah cintanya selalu berakhir tragis. Kisah cinta pertamanya yang ditolak dan kisah cintanya yang sekarang—saat ia harus mencintai seseorang yang berbeda keyakinan dengannya.
Juna saat ini meletakkan gitar miliknya di dekat ranjang lalu berbaring. Ia memejamkan matanya lalu berkata dengan nada lembut.
'Allah, bolehkan aku mencintai orang yang tidak menyakini engkau?'
Sesungguhnya, LDR terberat itu bukan perbedaan tempat dan waktu. Melainkan perbedaan tempat ibadah. Long Distance Religionship.
'Maafkan hambamu yang berdosa ini.'