Chereads / Should Be / Chapter 35 - Bab 35 : Perihal Lukas dan Hidupnya

Chapter 35 - Bab 35 : Perihal Lukas dan Hidupnya

Lukas mengacak-acak rambutnya kesal. Ia bangkit berdiri lalu berjalan-jalan melangkahkan kakinya seolah ia sedang pusing memikirkan sesuatu.

"Gue bodoh! Kenapa gue harus jujur sekarang sih?"

Lukas mengusap wajahnya kasar lalu menatap ke arah langit-langit kamarnya. Lalu ia menghenyakkan tubuhnya di atas kasur secara tiba-tiba dan memejamkan matanya.

Yang sekarang berputar dipikirannya adalah wajah milih Ave Shayera. Entah itu wajah Yera sedang marah, kesal, bahagia, atau sedang tersenyum. Wajah tersebut mengisi benak Lukas sekarang.

Ini bodoh, mengapa ia harus mengaku sekarang? Sepertinya ini terlalu cepat untuk mengungkapkan rasanya tersebut.

"Kak—EH BUSYET KAYAK GEMBEL!" Yedra yang baru saja masuk ke kamar Lukas selonjak kaget saat melihat penampilan Lukas saat ini. Rambutnya yang berantakan, memakai baju hitam dan celana pendek sepaha, rambut-rambut kaki yang lebat belum dicukur membuat Yedra tak menyangka yang ada di hadapannya ialah Lukas, sang kakak.

"Kenapa lo?" Ujar Yedra mendekati Lukas yang sedang menunduk dengan tatapan lesu di atas ranjangnya.

"Eh busyet, habis nangis?" Lukas menepis kasar tangan sang adik saat Yedra memegang dagunya. Ia menatap sinis ke arah Yedra.

"Ngapain juga gue nangis? Nggak guna banget," Yedra menatap wajah Lukas, mata Lukas kali ini sembab dan mukanya pucat seperti belum diberi makan.

"Lo sedih ya kak Yuki mau tunangan sama kak Kino?" Lukas hanya menggeleng, ia sedih bukan karena itu. Ya walaupun ia sempat terkejut, tapi ia tak sedih mengingat Yuki adalah sang mantannya.

"Jadi lo kenapa sih, kak?" Ujar Yedra menatap heran ke arah Lukas.

"Udah-udah sana! Lo mau ngapain ke sini?" Tanya Lukas menatap Yedra sinis.

"Santuy dong, itu ada kak Maya di ruang tamu. Ngobrol sama ayah mama soal perkembangan kakak," Lukas terkejut mendengarnya, ia menatap penuh yakin ke Yedra. Yedra yang mengerti maksud tatapan tersebut mengangguk.

Lukas melangkahkan kakinya cepat menuju ruang tamu, ia bersembunyi sebentar di balik dinding pembatas ruang tamu dan ruang keluarga mereka.

"Oiya bu, pak. Saya dengar kalau Lukas ikut perlombaan yang diadakan sama Purwakarta,"

Henry dan Yiska—kedua orang tua dari keluarga Wong saling adu pandang satu dengan yang lain. Mereka menatap kembali ke Maya, guru pembimbing musik Lukas.

"Hah, benar May? Lomba untuk memperingati hari Musik Nasional itu kan?" Yiska menatap ke arah Maya, Maya tersenyum dan mengangguk.

"Mungkin kamu salah lihat deh, nggak mungkin Lukas ikut lomba itu. Emang Lukas bisa main alat musik?" Henry tertawa diikuti oleh Yiska, Maya tersenyum kepada mereka berdua.

"Benar bu, pak. Lukas ikut perlombaan tersebut untuk mewakili sekolahnya yang baru. Saya kemarin ada lihat nama dia tercantum sebagai peserta di perlombaan tersebut," ujar Maya sambil mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan hasil potretnya pada kemarin.

Henry dan Yiska terkejut bukan main, ia saling adu pandang dan menatap ke arah belakang. Di sana ia mendapati Lukas yang tengah berdiri menguping pembicaraan mereka.

"Lukas, sini dulu!" Lukas melangkah maju mendekati ketiga orang yang lebih tua. Ia mendekati ayahnya sambil menatapi ayahnya penuh tanda tanya.

"Apa Ayah?"

"Kamu ikut perlombaan band itu?" Henry menatap lurus ke arah Lukas, ia masih memasang muka penuh tanda tanya. Ia terkejut tatkala saat Lukas mengangguk.

"Saya mendukung Lukas, dengan adanya dia ikut perlombaan ini mungkin saja dari pihak pusat akan menaikkan grade-nya. Good luck ya, Lukas!" Lukas tersenyum saat sang pembimbingnya menyemangati dirinya.

**

Yedra menghela napasnya saat melihat Lukas telah masuk ke dalam kamarnya. Ia merasa iba kepada kakaknya karena selalu dianggap sebelah mata oleh kedua orang tuanya.

"Kamu beneran ikut perlombaan itu?" Tanya Yiska sambil menatap heran ke arah Lukas.

"Iya ma, teman aku ngajakin masuk bandnya. Aku dijadikan bassist di band,"

"Seriusan tuh temenmu? Dia nggak takut kalah kalau misalnya kamu ikut band mereka?"  Henry sekarang menatap Lukas dengan tatapan penuh selidik.

"Mama nggak yakin sama penampilanmu, Luke. Mending kamu mundur aja deh sebelum hari H-nya," ujar Yiska.

"Yah, ma. Luke mohon, sekali ini aja biarkan Luke berusaha membanggakan kalian. Kenapa sih Ayah sama Mama selalu mandang aku sebelah mata?"

"Luke, Ayah sama Mama nggak mau kamu malu. Ngertiin perasaan keluarga kita, sayang." Ujar Yiska sambil menghela napasnya kasar menatap Lukas.

"Nggak mau Ma, Luke mau ikut perlombaan ini. Luke akan bikin Ayah sama Mama bangga kali ini!"

"Luke—"

"Ayah sama Mama kenapa sih selalu nganggap kak Luke nggak bisa apa-apa? Ayah sama Mama nggak tahu kan kalau kak Luke juara lomba lari waktu kelas sebelas? Apa Ayah sama Mama sadar waktu kak Lukas izin katanya mau kerkom, tapi dia malah pergi ke perlombaan lari?" Yiska terdiam saat Yedra mulai mengangkat bicara. Lukas terkejut saat mendapati Yedra yang berjalan menuju ke arah mereka bertiga.

"Apa Ayah sama Mama tahu kalau kak Lukas ikut pertandingan basket dan menang sebagai first winner di DBL tahun lalu?" Henry menatap sebentar ke Lukas yang menunduk ke bawah.

"Ayah sama Mama nggak pernah ngebolehin kita untuk ikut berolahraga. Padahal, passion-nya kak Lukas ada di sport."

"Ayah sama Mama nggak pernah ngebolehin kita berolahraga karena Ayah sama Mama trauma kan sama kejadian yang pernah nimpa aku waktu SD?" Lukas menatap ke arah sang adik.

"Yah, Ma. Lukas is Lukas, I am me. Aku memang nggak dibolehkan untuk berolahraga lagi, tapi kak Lukas? Kak Lukas takdirnya emang sudah ada di olahraga,"

"Aku tahu Ayah sama Mama khawatir sama kita berdua. Aku tahu Ayah sama Mama takut kak Lukas ngealamin hal yang sama kayak aku. Tapi Yah Ma, This is God's way. We can't change God's way."

Henry dan Yiska terdiam mendengar lontaran pernyataan yang dikeluarkan dari mulut Yedra. Lalu kedua orang tua tersebut menatap Lukas.

"Luke, kali ini Ayah beri kamu kepercayaan. Tapi kamu harus bangkit dan harus tingkatkan grade-mu terlebih dahulu." Lukas mengangguk menghadap ke arah kedua orang tuanya.

Lukas menatap ke arah kamarnya, ia bersandar di belakang pintu kamarnya lalu tak lama ia terjatuh di tanah. Hujan menerpa kota kali ini, sangat lebat pada malam hari ini. Didalam keramaian hujan yang turun, Lukas menangis didalam kamarnya dalam keheningan.

Lukas saat ini menganggap dirinya bodoh karena ia menangis, seharusnya pria sejati tidak mengenal akan kata tangis. Lukas saat ini menyadari jika dirinya bodoh.

Padahal, tangis merupakan hak untuk setiap orang. Mengapa banyak orang yang menganggap menangis adalah suatu hal kebodohan?