Lukas menatap Dery yang sedang berdiam diri di balkon apartemen kak Juan. Di sana Dery sedang berdiri sambil menegukkan soda miliknya dan menatap ke arah langit.
"Lo mau ke mana, Luke?"
Kaki Lukas berhenti seketika saat suara itu memanggilnya, Lukas menoleh ke belakang dan mendapati Yera yang sedang memegang sebuah botol minuman plastik dan cemilan ringan di tangannya.
"Mau minta maaf ke Dery, nggak enak Yer." Ujar Lukas merasa tak enak hati karena membuat Dery emosi sedari latihan tadi.
"Jangan sekarang, kalau sekarang adanya lo kena semprot sama dia. Dia perlu rileks dulu, habis itu lo ke sana minta maaf." Titah Yera kepada Lukas yang mengangguk mengerti.
"Gue nggak enak sama dia Yer, sumpah. Suasananya jadi canggung," ujar Lukas.
"No problem, Luke. Ini pelajaran, lain kali lo harus banyak belajar juga ya!" Ujar Yera sambil menepuk pundak Lukas dan Lukas tersenyum.
"ETT— goblog pisan budak!" Kaget Juna saat botol minuman milik Markus hampir jatuh yang membuat Yera dan Lukas menoleh ke arah Markus.
"Hehe, sorry guys. . ." Kekeh Markus membuat Yera dan Lukas menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh.
"Hati-hati lain kali, Mark. Oiya, sebentar ya gue mau ngomong sama Dery dulu. Makan aja dulu kalian," ujar Yera kepada mereka bertiga dan setelah itu pergi meninggalkan mereka bertiga menuju ke balkon apartemen tersebut.
"Lo sih!"
"Lah? Kok gue sih?"
**
Dery menoleh ke arah belakang saat seseorang berhasil menepuk pundaknya. Ia meliriknya sekilas lalu kembali lagi menoleh ke arah langit.
"Der, coba lo perhatiin langitnya!" Ujar Yera sambil menatap langit dan Dery yang disebelahnya memperhatikan langit malam kali ini.
"Hmm,"
"Ih napa jadi sok cool gini sih. Coba deh perhatiin langitnya!"
Dery kembali memperhatikan langit malam. Gelap, hanya ditemani oleh sang penerang malam yaitu rembulan.
"Ada lihat bintang nggak?" Dery menggelengkan kepalanya karena ia tak melihat bintang yang biasanya selalu menghiasi langit malam.
"Itu karena bintangnya kita bawa kabur. Gue bawa kabur lima bintang,"
"Bintangnya itu ; lo, gue, dan mereka bertiga kan?"
"Masih ingat aja sama kata-kata itu," kekeh Yera yang membuat Dery tersenyum mendengarnya. Kalimat itu membawa Dery bernostalgia saat mereka masih berada di sekolah dasar dulu.
"Dery, Dery! Kamu kenapa sih diam terus dari tadi?"
"Aku takut banget, Yera. Aku takut, aku takut aku kalah di pertandingan futsal nanti."
"Ih, kenapa kamu takut? Mana Dery sang pemberani yang aku kenal?"
"Aku takut, aku takut ngecewain tim futsalku."
"Jangan pesimis gitu dong, harus optimis! Ayoklah, ini bukan Dery yang Yera kenal!"
Yera menatap ke arah Dery yang masih tertunduk sedih. Setelah itu suasana menjadi dingin mencekam karena kedua anak adam itu tak lagi mengeluarkan suara. Lalu Yera menoleh ke arah langit sedangkan Dery masih menatap ke bawah, ke arah rerumputan.
"Dery, coba deh kamu lihat langit itu!" Sebelum ia menoleh ke langit, Dery menatap Yera yang duduk di sebelahnya yang menunjuk langit menggunakan jarinya. Setelah itu Dery menoleh ke arah langit malam yang gelap gulita.
"Kenapa? Eh kok nggak ada bulan sama bintangnya?"
"Itu karena aku bawa kabur bintangnya ke sini!" Dery menatap bingung ke arah Yera.
"Hah? Apa maksudnya?"
"Aku sama kamu. Kita itu kayak bintang. Kita berdua kabur dari langit untuk turun ke bumi supaya kita bisa nemuin jati diri kita. Kamu ngerti nggak sih sama maksud aku?"
"Enggak,"
"Huh, Dery nyebelin!" Gerutu Yera sambil memukul pelan lengan kiri milik Dery.
"Tapi beneran aku nggak ngerti, maksudnya apa?"
"Ibarat langit adalah sang Pencipta, dan bintang adalah jati diri kita yang sebenarnya. Di dalam bintang itu, kita bakal bersinar kalau kita udah nemuin jati diri kita. Jadi tugas kita sekarang, mencari jati diri kita yang sebenarnya."
"Maksudnya apa Yera?"
"Maksudnya, kita itu disuruh sama Tuhan untuk nyari jati diri kita. Mungkin aja jati dirimu yang sebenarnya ada di futsal. Buat apa kamu takut kalah nanti? Siapa tau kan futsal adalah jati dirimu yang sebenarnya. . ."
"Haha kamu lucu deh Yera. Aku nggak ngerti sama bahasamu,"
"Huh kamu nyebelin deh!"
"Jadi gimana sih maksudnya?"
"Ibarat gini ya, bintang itu adalah jati diri kita yang sebenarnya. Kita ini manusia yang harus cari bintang itu, mungkin sekarang kamu sudah dapat bintang itu karena kamu sudah dapat jati dirimu di futsal ini. Jadi sekarang tugasmu adalah mengembangkan potensi itu. Jadi kalau Tuhan sudah kembalikan kamu ke langit, kamu bisa bersinar dengan terang lagi di sana."
"Bahasamu terlalu berat Shayera. Aku nggak ngerti,"
"Ini aku pernah baca disalah satu rangkuman buku kerja papi sih hehe." Ujar Yera sambil terkekeh kecil.
Dery menoleh ke arah Yera yang terkekeh kecil sambil menunjuk ke arah langit. Seketika suasana menjadi hangat kembali karena senyum yang menghiasi wajah Dery.
"Gitu kek, dari tadi bawaannya emosi mulu!"
"Ya gimana nggak emosi, Lukas masa nggak bisa baca not sih?" Ujar Dery sambil menoleh ke arah Yera yang berdiri di sampingnya.
"Der, kita ini temennya. Harusnya kita bantu dia supaya dia bisa nemuin jati dirinya itu!"
"Tapi Yer, lo pikir aja sendiri. Dia grade 3, tapi dia nggak bisa baca not. Lo tau nggak gue les musik aja naik ke grade 3 tuh susah banget. Mana di grade 2 tuh udah harus lancar baca notnya. Jangan-jangan dia nyogok tuh supaya bisa naikin grade-nya."
"Jangan nethink dulu dong! Mungkin aja dia bisa. Tapi kurang diasah aja," Ujar Yera sambil menatap Dery yang berada di sampingnya.
Dery menghirup napasnya secara perlahan, berusaha menenangkan emosinya. Dery kembali menatap langit. Tak lama rintik hujan turun membuat Dery dan Yera langsung bergegas masuk ke dalam apartemen kak Juan.
"Anjir hujan, gue bawa motor lagi!" Celetuk Juna saat mendengar suara rintikan hujan dari luar sambil menatap ke arah Markus yang berada di sebelahnya.
"Tunggu aja sampai hujannya reda, Jun. Gue temenin kok," ujar Yera kepada Juna.
Suasana apartemen kak Juan sekarang benar-benar dingin mencengkam. Hanya ada mereka berlima yang sedang duduk sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.
"Oiya, lo semua mau makan apa? Kak Juan mau balik ke sini," ujar Yera sambil menatap mereka berempat yang sibuk dengan ponselnya masing-masing.
"Nggak usah, Yer." Suara Markus mewakilkan hati tiga orang disitu, terkecuali Dery yang menitip ingin dibawakan martabak telur.
"Nggak papa kok. Ayok mau nitip apa kalian bertiga?"
"Nggak enak, Yer. Makasih banyak loh, kita makan aja cemilannya." Tolak Juna secara halus.
"Ayok nggak usah sungkan. Mau dibawakan apa? Martabak manis? Telur? Mie ayam? Nasi goreng? Bakso? Atau apa?"
"Yaudah gue pesenin deh buat kalian. Belikan aja martabak telurnya dua sama martabak manisnya dua," ujar Dery sambil menatap ke arah Yera.
"Oke, ada yang mau dititipin lagi?"
"Nggak usah, Yer. Ini aja udah cukup," ujar Lukas yang dibalas anggukan kepala oleh Yera.