Davie
Aku mendengar percakapan Qiana dan juga lelaki yang entah siapa aku tak paham. Yang aku paham sekarang adalah, keputusan yang aku buat beberapa tahun yang lalu itu menyisakan luka mendalam bagi Qia.
Kenyataan itu seakan menamparku dengan sangat menyakitkan, tak ada jalan untuk berlari, tak ada jalan untuk mengelak, dan tak ada jalan untuk bersembunyi. Dan aku merasa jika ini benar-benar tak adil buat Qia.
"Abang." Devie membuyarkan lamunanku tentang Qiana yang bergelayut manja di pikiranku. Aku melengokkan kepalaku ke kiri dan ke kanan, berusaha mengamati apa yang ada diluar sana.
Aku menghembuskan nafas lelah setelah mengenali rumah mewah yang ada di depan sana. Kediaman Qiana.
"Abang mau turun nggak sih? Kalau nggak mau aku seret nih." Devie mengatakan kalimat tidak sopan itu bahkan saat ada Mama dan Papa disini. Dan aku bisa melihat dengan jelas, kalau mama memberi pelototan yang sadis kearahnya.
"Nggak sopan, Dek, sejak kapan kamu belajar ngomong kasar ke orang yang lebih tua?" Mama memarahi Devie yang membuat cewek itu hanya cengengesan nggak jelas. Dasar bocah.
"Ya udah sih, Ma, cuma hari ini doang kok." Mama hanya mendengus mendengar jawaban Devie.
"Jangan diulang lagi, ya, nggak baik." Papa mengusap kepala Devie sayang dan turun untuk menyusul Mama yang sudah turun dari mobil.
"Ayo ih, Bang." Devie bener-bener menyeret aku saat aku nggak segera menuruti perkataannya." bahkan pak sopir hanya geleng-geleng kepala.
"Abang entar di dalem baik-baik, nggak usah baper." Mama dulu ngidam apa sih saat hamil Devie sampai kelakuannya seperti sekarang?
"Idih, emang kenapa harus baper?" jawabku. Kata-kata Devie ini memang kadang rada nyeleneh.
"Ya siapa tahu kan lihat Kakak yang dandan cantik bisa bikin Abang kelabakan dan bertindak diluar nalar!" Dasar sompret emang adikku satu ini, emang aku sememalukan itu apa. Tak aku hiraukan dia, aku mempercepat jalanku dan meninggalkannya yang komat-kamit nggak jelas.
Di dalam rumah sudah terlihat ramai, anak-anak panti asuhan yang menggunakan baju seragam berwarna putih sudah duduk manis di karpet yang telah digelar di ruang tamu. Aku memutar tubuhku ke belakang dan mencari Devie, tapi dia sudah menghilang entah kemana. Aku seperti orang hilang saja clingak-clinguk nggak jelas di sini.
Entah kemana Mama dan Papa. Aku akan duduk bersama anak-anak panti disini saat suara Devie memanggilku dengan keras.
"Abang di sini ih, ngapain di sana? Mau dapet angpau juga?" Ya Tuhan adikku, kenapa sifat menyebalkannya baru dikeluarkan sekarang. Bahkan beberapa hari yang lalu saja, dia masih bisa bersikap manis sekali kepadaku. Dan sekarang sifat menyebalkannya balik lagi. Mungkin saja, apa yang dilakukan kepadaku saat itu hanyalah alibinya saja.
Aku berjalan mengikuti Devie, ternyata mereka semua ada di ruang keluarga. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi mereka memang terlihat bahagia.
"Yah, Bun." kedua orang yang aku panggil itu menatapku agak kaget. Kenapa? Apa mereka membenciku karena aku menyakiti putri mereka? Entahlah, aku hanya nggak mau berasumsi sendiri.
"Ya Allah Davie, ini kamu, Nak?" Bunda lebih dulu berdiri dan memelukku erat, seakan aku adalah putra yang lama menghilang.
"Iya, Bun, ini Davie." aku menarik tangan kanan nya pelan dan mencium punggung tangannya. Maafin aku, Bun. Ingin sekali aku mengatakan itu, tapi aku nggak sanggup.
"Pria jahat." kalimat bernada rendah itu membuatku mengalihkan fokusku ke arah seseorang. Ayah. Dia memandangku dengan tajam, seolah aku telah mengambil hartanya seperti yang ada di dalam sinetron. Aku tidak bisa bernapas dengan baik rasanya. Bahkan semua orang disana tak mengeluarkan suara sedikitpun. Harta? Ya Tuhan, harta berharga bagi seorang ayah adalah putrinya. Dan aku sudah menyakiti putrinya, pantas saja kalau sekarang ayah bersikap seperti itu kepadaku.
"Ayah." Bunda mengelus tanganku lembut memberi isyarat untuk mendekati Ayah. Sumpah, rasanya aku rela berlari selama satu jam saja dibandingkan harus berjalan ke depan sana yang tidak ada satu meter, tetapi ada seorang laki-laki yang anaknya telah aku hancurkan.
Tapi, mau tidak mau, siap tidak siap, aku harus melakukannya.
Setelah sampai di depan ayah dan duduk dengan canggung di depannya, ayah mengangkat tangan kanannya. Aku siap, jika ayah akan memukulku. Bahkan sampai babak belur pun nggak masalah.
Tapi aku salah, ayah mengangkat tangannya untuk menarikku kedalam pelukannya. Beliau memelukku hangat, mengelus punggungku yang terasa tegang dan mengatakan sesuatu yang aku yakin yang ada disini mendengarnya.
"Kenapa baru sekarang muncul padahal kamu udah pulang beberapa hari yang lalu? Kamu nggak inget sama orang tua ini ha?" aku menggelengkan kepalaku tak menyetujui ucapannya.
"Maaf, Yah, maaf." sungguh, aku nggak bisa berkata-kata lagi. Setelah apa yang aku lakukan kepada putrinya, aku rasa perlakuan yang mereka lakukan kepadaku memang tidak pantas aku dapatkan. Mereka ini manusia atau malaikat? Kenapa bisa sebaik ini? Dan seolah aku bisa mengatakan ini dengan lantang 'membalas perlakuan buruk seseorang tidak harus dengan keburukan, tapi pembalasan yang luar biasa menyakitkan adalah perlakuan burukmu dibalas dengan kebaikan yang luar biasa' karena percaya atau tidak, aku merasa sangat tersiksa, bahkan tanpa mereka melakukan apapun.
"Ya sudah, ayo ke depan. Acaranya akan segera dimulai." aku menganggukkan kepalaku dan mengikuti 'tetua' yang sudah lebih dulu berjalan di depanku. Tapi dimana dia? Aku nggak melihatnya sejak tadi.
°•°•°
Qiana
Aku mendesah lega saat acara syukuran sudah selesai. Aku bisa melihat betapa bahagianya anak-anak panti saat mendapat bingkisan berupa alat-alat sekolah dan amplop berisi uang yang mereka terima. Aku ikut senang melihat mereka, meskipun hidup mereka mungkin 'sedikit' kekurangan, tapi senyuman mereka selalu menghiasi wajahnya.
Aku kembali merasakan perutku berteriak minta diisi. Ah, aku lupa makan karena sibuk menyiapkan ini dan itu. Sebenarnya memang sudah ada yang menangani, tapi karena aku terbiasa mengatur acara-acara seperti ini, jadi aku ngerasa nggak enak kalau hanya diam melihat saja.
Para tamu sudah kembali pulang, dan hanya keluarga Papa yang masih berada disini. Ternyata Bang Rado tidak datang kesini karena ada urusan mendesak katanya. Selain itu, ada juga keluarga Devie. Mereka semua sedang mengobrol sambil sesekali tertawa.
Aku melangkah ke dapur dan duduk di kursi makan. Makanan dari syukuran tadi menghiasi meja makan. Aku langsung mengambil nasi dan beberapa lauk, kemudian memakannya. Aku ingin bisa masak seenak ini, tapi belum mampu.
Aku masih menikmati makananku saat seseorang masuk ke dapur dengan membawa piring dengan makanan diatasnya. Aku hampir tidak bisa menelan makananku saat tahu siapa orang itu. Davie. Jujur aku nggak tahu kalau dia juga datang ke acara syukuran ini.
Aku berdiri dan menatapnya kaku, pun dengannya. Dia hanya terpaku di tempatnya, tak beranjak sedikitpun. Apa dia membutuhkan sesuatu? Dan sebagai pemilik rumah, aku berinisiatif menanyakannya.
"Kamu, butuh, sesuatu?" Ya Allah, kenapa suaraku seperti balita yang baru belajar bicara. Dia masih memandangku tanpa menjawab. Aku benci suasana seperti ini Tuhan! Ingin sekali aku mengatakan itu, tapi tidak bisa.
"Aku akan mengambil minum." Akhinya, dia menjawab juga.
"Oh, duduklah. Aku ambilkan."
"Terima kasih." aku mengangguk dan berjalan ke arah kulkas. Aku masih ingat, dia sangat menyukai air putih. Maksudku, meskipun ada syrup, atau jus jeruk, atau minuman apapun yang 'ditambahkan' perasa, dia masih akan mencari air putih murni. Tanpa tambahan apapun.
"Ini." aku meletakkan segelas air di depannya. Dan akan beranjak meninggalkannya. Aku nggak peduli, meskipun makananku belum habis. Aku rasa aku nggak akan bisa menikmati makananku.
Tapi belum juga aku berjalan, tangannya menarikku pelan. Aku bisa merasakan hangat tangannya melingkupi tanganku. Ada getaran dalam jantungku yang bisa aku rasakan. Tuhan, apa maksud semua ini? Keluhku dalam hati.
"Kenapa? Kamu butuh sesuatu yang lain?" aku kembali bertanya. Tapi gelengan kepalanya menegaskan kata-katanya.
"Nggak. Tapi, boleh kamu tetap disini? Kita bisa makan bareng kan?" dia mengarahkan matanya ke arah piringku yang isinya masih belum habis. Tapi cengkraman tangannya semakin erat di tanganku, membuat aku mengangguk. Dalam hati mensugesti, mungkin saja dia ingin menjalin hubungan baik denganku. Jadi, apa salahnya untuk mencoba, kan?
Aku bisa melihat, jika bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Tuhan, semoga ini bukan kesalahan. Aku berdoa dalam hati.
Kami makan dalam diam, aku bahkan bisa merasakan jika sesekali dia melirikku. Tapi aku berusaha tetap tenang. Berusaha mengacuhkan.
"Kok, aku lihat kalian ini kayak anak ABG yang baru kenal cinta ya?" aku tersedak karena kalimat konyol yang dilontarkan oleh gadis bernama Devie ini. Bener-bener cewek ini. Lagian kenapa juga dia muncul tiba-tiba dan mengagetkan orang lain. Kelakuannya itu dasar.
"Minum." aku langsung meneguknya sampai tandas.
"Terima kasih." Davie tak menjawab, karena aku bisa melihat kalau fokusnya bukan lagi ke arahku, tapi ke arah adiknya.
"Bisa nggak, nggak mengacau?" suara Davie pelan tapi penuh ancaman. Sedangkan Devie hanya mengedikkan bahunya tak acuh.
"Bisa aja sih, Bang, tapi abang bisa kali bersikap sesuai umur." Aku mengernyitkan dahi heran dengan ucapan Devie. "Abang kan sebentar lagi udah mau kepala 3, tapi kok masih aja bisanya cuma ngelirik. Langsung pandang, Bang. Katakan apa yang mengganjal di kepala Abang. Gitu aja nggak bisa. Malu-maluin." setelah mengucapkan kalimat itu, dia langsung pergi gitu aja dan bersikap seperti nggak ada apa-apa, nggak ngucapin apa-apa. Sedangkan Davie hanya bisa mengatupkan bibirnya rapat. Bahkan aku bisa melihat rahangnnya mengetat. Marahkah dia?
Dan semenjak kejadian di dapur tadi, Davie seperti ingin sekali menelan adiknya. Kami sedang berada di ruang keluarga saat ini, dan pria itu selalu memandang Devie tajam selama ada kesempatan. Karena dia nggak bisa mengintimidasi Devie terus-terusan, sebab dia memang sedang mengobrol ringan dengan Ayah dan juga papa.
Dan itu terus berlanjut sampai keluarganya pamit untuk pulang. Memiliki adik seperti Devie memang harus selalu hati-hati, karena dia memang cewek yang mudah sekali 'membully' lawan bicaranya.
°•°•°
Yoelfu