Qiana
Aku mencengkram erat setir mobilku dengan dada yang terasa bergemuruh. Mata itu, mata yang dulu menatapku seperti aku adalah beban hidupnya, mata yang hanya bisa menatapku sekilas seolah aku hanya orang asing yang tak berarti apapun untuknya.
Dia yang dulu selalu lebih suka menenggelamkan hidupnya kedalam buku-buku tebal nggak peduli dengan orang sekitarnya. Dan sekarang, dia kembali. Entah untuk selamanya ke negara ini, atau tidak aku sama sekali tidak tahu. Dan seharusnya itu juga bukan urusanku kan. Toh kami sudah tidak memiliki hubungan apapun.
Sesak, itu yang aku rasakan sekarang. Aku nggak tahu apa yang akan aku lakukan saat ketemu lagi dengannya. Sudah tujuh tahun, semua orang sudah berubah.
Bahkan dia juga Sudah berubah. Ketampanannya semakin tak tertolong. Tapi aku, apa yang berubah dari aku? Nggak ada. Hatiku masih hilang entah kemana setelah kepergiannya.
Aku nggak pernah ngebayangin kalau aku ketemu dengannya dalam waktu seperti ini. Devie, mantan adik iparku, dia juga sama sekali nggak bilang kalau yang dimaksud tamu spesial adalah kakaknya. Entah apa yang dipikirkan gadis itu.
Bertemu dengannya secara tiba-tiba benar-benar membuatku kalang kabut. Hatiku tak bisa berbohong jika di dalam sana, masih ada namanya tercetak jelas dengan bold hitam.
"Sayang." Itu suara Bunda, entah kenapa Bunda seperti orang khawatir. Aku bahkan tidak menyadari jika bunda ada di sana karena pikiran kalutku. Aku beruntung karena bisa sampai rumah dengan selamat, bahkan selama di perjalanan aku hanya bisa melamun tanpa fokus mengemudi.
"Kenapa, Bunda?" aku ikut khawatir karena Bunda yang terlihat memucat. Bahkan Bunda udah ngeluarin air matanya sekarang. "Bunda kenapa?" tanyaku lagi untuk memastikan, tapi bukannya menjawab, beliau malah semakin menangis.
"Ayah kamu, Qi, ayah kamu." katanya dengan sesenggukan. Mendengar kata ayah membuatku merasa takut.
"Ayah? Ayah kenapa, Bun?" aku bener-bener khawatir sekarang. Fikiranku yang tadinya kacau semakin kacau saja.
"Ayah kamu kena sesak nafas akut, Qi. Dan sekarang dia dibawa ke IGD." aku kaget, ayah nggak pernah mempunyai riwayat penyakit seperti itu sebelumnya. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan tidak jelas dalam pikiran, segera ke rumah sakit rasanya lebih baik.
"Kalau gitu, ayo kita ke rumah sakit sekarang." Aku akan menarik tangan bunda saat bunda menahannya. Bunda semakin sesenggukan dengan wajah yang semakin kacau.
"Ayah kamu tadi pagi pergi ke Kalimantan, Qi, tapi setelah selesai meeting napasnya tersengal-sengal. Itu kabar dari sekretarisnya tadi, Qi." Tubuhku semakin gemetar mendapat informasi itu. Ya Tuhan, Ayah.
"Kita akan kesana, Bun, aku akan pesan tiket sekarang." Nggak perlu membuang waktu, aku langsung memesan tiket online. Dalam hati terus merapalkan doa agar ayah akan selalu dalam lindunganNya.
*°*°*
Aku meremas tanganku gugup. Kami, aku dan Bunda sudah berada di pesawat yang siap untuk take off. Bunda masih sesekali mengeluarkan air mata.
Waktu masih menunjukkan pukul 8 pagi, aku beruntung mendapat penerbangan pertama. Tapi semalaman kami tidak bisa tidur sama sekali. Sebenarnya kita sudah mendapat kabar kalau keadaan ayah sudah membaik. Aku bersyukur. Tapi hati masih belum tenang kalau belum bisa bertemu ayah langsung.
Dua jam di dalam pesawat memang sangat tidak menyenangkan. Mungkin kalau keadaan hati sedang tidak dalam 'kritis' seperti sekarang, aku akan merasa bahagia. Tapi kali ini berbeda. Karena hati yang merasa kacau.
Kita sampai di salah satu rumah sakit di Kaltim. Bunda bahkan nggak sabar ingin segera bisa menemui Ayah. Seandainya bisa, mungkin beliau akan pinjam pintu Doraemon agar cepat sampai.
Ayah sudah di pindahkan di kamar inap VIP, bunda membuka pintu dengan nomor 314 dengan tidak sabar. Di sana, Ayah sedang berbaring dengan infus yang menempel di tangan kanannya, beliau juga masih menggunakan oksigen. Wajahnya terlihat lelah.
"Yah." itu suara Bunda. Ayah membuka matanya pelan. Dan tersenyum, meskipun senyum lemah. Aku merasa ayah terlihat semakin tua saja. Dalam hati berdoa, semoga penyakit ayah ini bukan penyakit yang parah dan sulit untuk disembuhkan.
"Sudah datang?" Tanya Ayah. Bunda masih menangis dengan suara pelan. Aku juga nggak bisa menahan air mataku untuk jatuh.
"Ayah kenapa punya penyakit kaya gini? Bukannya ayah selama ini baik-baik saja?" bunda bertanya dengan mengelus tangan ayah yang bebas dari infus.
"Ayah juga nggak tahu, Bun, tiba-tiba aja rasanya sesek banget. Kecapekan mungkin, Bun." ayah menjelaskan.
"Qi." aku mendongak saat ayah memanggilku.
"Ya, Yah." aku mendekat ke Ayah yang memang terlihat lemah.
"Ayah minta tolong, kamu urus perusahaan selagi ayah sakit ya, Nak. Kamu akan di bantu sama Bang Rado."
"Iya, Yah, Ayah jangan memikirkan perusahaan dulu ya, biar cepet sembuh." Aku sebenarnya merasa bersalah sama Ayah. Karena memang aku membuka usaha sendiri dan ngebiarin Ayah mengurus perusahaan sendiri. Paling tidak kalau aku bekerja disana ayah bisa semakin santai kan. Dan sekarang, aku baru sadar kalau aku egois.
Esok harinya, aku sudah kembali ke Jakarta untuk menggantikan ayah selagi beliau sakit. Masalah WO, biarlah Devie yang urus selagi aku menggantikan ayah.
Ketukan pintu tak menghentikanku dari pekerjaanku. Ah, sepertinya aku harus menjelaskan sedikit tentang ini. Bagaimana aku bisa langsung bekerja di perusahaan sedangkan aku tidak bekerja di sini. Jangan salah, ayah yang selalu mengajariku. Tentu saja aku nggak lepas tangan begitu saja meskipun aku mendirikan usaha sendiri. Karena ayah akan selalu melibatkanku untuk masalah perusahaan. Jadi, meskipun tanpa ayah di sini sekarang, aku mampu dan bisa.
"Masuk." Kan, aku hampir lupa jika ada yang ingin menemuiku. Kepala seorang lelaki menyembul dari balik pintu.
"Perlu bantuan?" pria itu berdiri di depan pintu dengan senyum yang menawan. Senyumku ikut terbit saat melihat lelaki itu.
"Bang Rado!" Aku berdiri dan berjalan ke arahnya.
"Sejauh ini, belum ada keluhan. Masih normal." Aku berkata dengan nada sombong yang ku buat-buat dan Bang Rado tersenyum yang membuat dimple di bawah bibirnya terlihat, hem. Sexy.
"Baiklah, panggil saya kalau perlu bantuan, Baginda Ratu." Dia menekuk kaki kanannya sedikit tanda hormat, membuatku terkikik geli.
"Ok, mau duduk dulu? Kita udah lama nggak ketemu kan?"
"Maaf, tapi aku harus kembali ke ruanganku, masih banyak yang harus dikerjakan." Bang Rado memasang wajah kecewanya.
"Its ok! Abang kembali aja. Kita bisa ngobrol lain kali."
"Baiklah. Saya keluar dulu, Bos. Dan selamat bekerja." Aku menganggukkan kepalaku dan memperhatikan bang Rado sampai hilang di balik pintu.
Ngomong-ngomong tentang Bang Rado, dia adalah orang kepercayaan Ayah. Dulu, dia hanya karyawan biasa. Setelah beberapa bulan, dia diangkat menjadi sekretaris Ayah, bertahun-tahun kemudian dia dipromosikan menjadi manajer di perusahaan. Sampai sekarang.
Otaknya memang sangat pintar. Dan aku sangat mengaguminya. Dia benar-benar laki-laki idaman. Tapi entah kenapa sampai sekarang dia belum mempunyai istri. Aku dulu pernah bertanya, perempuan seperti apa yang ingin dia nikahi. Dan jawabannya sangat tidak serius. 'Yang kaya kamu, Qi, yang cantik, pinter masak, dan rajin menabung.' Dan itu ngebuat aku ingin memelintir kepalanya saja. Tapi ya sudahlah, dia memang itu hanyalah sebuah guyonan.
Jam kantor akhirnya berakhir. Duduk seharian di dalam ruangan ngebuat pantat kebas. Biasanya aku hanya akan duduk di ruangan dan mengatur beberapa keperluan pernikahan seseorang kemudian pergi untuk mengecek sesuatu. Atau menemui para calon pengantin yang datang untuk menggunakan jasa kami.
Dan perubahan ini memang belum terbiasa, hanya saja, aku akan menikmatinya.
*.*
Yoelfu