Chereads / Istri Supermodel (For Sale!) / Chapter 51 - Hanya Dia Seorang

Chapter 51 - Hanya Dia Seorang

Lilia selesai membalas SMS Alfred dan menaruh telepon genggamnya di atas meja. Ketika dia mengangkat wajah, dia merasa bahwa wajah Jean terlihat sedikit muram. Namun saat Lilia mengamati pria itu dengan lebih saksama, ekspresi Jean sama datarnya seperti biasanya. Mungkin dia hanya salah lihat, Lilia memutuskan.

"Apa pesananmu?" Tanya Jean sambil mengetuk buku menu Lilia.

"Oh…" Lilia membaca buku menu itu sekilas sebelum memesan semangkuk sup dan sepiring salad.

Setelah pelayan itu pergi membawa pesanan mereka, Jean mengambil poci teh dari atas meja dan mulai menyeduh teh. "Tidakkah makan malammu terlalu sedikit? Sudah kubilang kalau aku yang akan mentraktirmu, jadi kamu tidak perlu merasa sungkan."

Lilia bisa mendengar kekhawatiran dalam suara pria itu, tapi dia tidak berniat menambah pesanannya. "Minggu depan aku akan pergi ke Milan untuk mengikuti fashion week. Aku benar-benar perlu menjaga bentuk tubuhku, jadi aku tidak berani makan lebih banyak!"

Jean menuang teh ke dalam cangkir Lilia dan cangkirnya sendiri. Aroma teh yang harum membuat Lilia merasa rileks.

"Berapa lama kamu akan berada di sana?" Tanya Jean sambil menyesap tehnya.

"Sekitar seminggu." Lilia mencicipi teh itu dan segera menyukainya. "Kalau semuanya berjalan lancar, aku bisa kembali dalam empat atau lima hari."

Jean hanya mengangguk dan tidak mengucapkan sepatah kata lagi.

Dalam ruang makan terbuka itu, hanya terdengar bunyi serangga dan angin yang sesekali bertiup. Lilia mulai memainkan kukunya dengan gelisah. Keputusan Jean untuk memesan seluruh tempat ini justru menghasilkan efek yang bertolak belakang. Keheningan ini terasa canggung dan tidak nyaman.

Saat Lilia berusaha mencari topik pembicaraan, ponselnya kembali berbunyi. Tatapan Lilia dan Jean sama-sama terpaku pada layar ponsel itu, yang menunjukkan adanya pesan SMS baru. Lilia segera membukanya dan membaca pesan itu.

Ketika Lilia sedang mengetikkan ucapan terima kasihnya, Jean menatap tajam ke arah wanita itu. Apabila mereka berada dalam ruangan tertutup, suhu di ruangan itu pasti sudah merosot drastis akibat kejengkelan Jean. Meskipun Lilia telah memasukkan ponselnya ke dalam tas, suasana hati pria itu tetap tidak membaik.

Jean menatap tas Lilia dan tersadar kalau tadi wanita itu tidak menyimpan ponselnya di tas, tapi justru menaruhnya di atas meja. Dia yakin kalau Lilia sengaja melakukannya karena sedang menunggu balasan SMS-nya. Kejengkelan Jean semakin memuncak saat dia merasa Lilia hanya mengobrol dengannya untuk mengisi waktu sampai SMS yang ditunggunya tiba.

Pria itu mendadak berdiri dari kursinya. "Aku akan ke kamar kecil sebentar." Ucapnya dingin sebelum beranjak pergi.

Lilia mengawasi Jean berjalan menjauh dengan tatapan bingung. Kali ini dia tidak salah lihat—pria itu terlihat jengkel! Lilia menundukkan kepala dan menggali ingatannya satu demi satu. Apa yang membuat Jean jengkel? Apakah karena dia terlambat memesan? Atau karena dia memesan terlalu sedikit makanan? Tidak mungkin Jean jengkel hanya karena Lilia membalas SMS yang masuk, kan?

Semakin lama Lilia memikirkannya, dia semakin curiga kalau Jean terlihat jengkel karena pria itu merasa diabaikan. Sepertinya Jean tidak suka kalau Lilia membagi perhatiannya kepada hal lain padahal mereka sedang makan malam berdua. Dia menghela nafas sambil menggelengkan kepala. Jean bertingkah seperti anak kecil yang mainannya direbut anak lain! Sayangnya, tidak ada orang lain di sana yang dapat mengoreksi kesalahpahaman itu.

Sementara itu, Jean meninggalkan ruang makan dan pergi ke lorong antara area outdoor dan area indoor restoran tersebut. Dia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Cari tahu semua yang terjadi saat Lilia pergi ke kampus adiknya hari ini. Secepatnya." Perintahnya singkat. Setelah mengatakan itu, Jean langsung menutup teleponnya.

Pria itu menghela nafas panjang, tapi dia masih merasa kacau. Dia mengeluarkan rokoknya dan menyalakannya dengan pemantik. Setelah beberapa hembusan asap rokok, barulah Jean merasa lebih tenang. Dia bersandar ke pilar dan menatap ke arah ruang makan terbuka yang baru saja dia tinggalkan. Selama sekejap, mulutnya melengkung membentuk senyuman tidak berdaya.

Selama ini Jean menganggap dirinya sebagai orang yang rasional. Dia dapat menjaga emosinya agar tetap stabil dengan mudah. Namun keyakinan itu mulai goyah saat dia bertemu dengan wanita itu. Hanya dia seorang yang dapat membuat suasana hatinya naik atau turun semudah ini.

Hanya Lilia Pangestu saja.