Saat Kenny meninggalkan ruangan itu, Lilia mengecek arlojinya dan menyadari kalau sekarang sudah hampir waktunya makan siang. Dia menoleh pada Alfred. "Kak Alfred, terima kasih banyak atas bantuanmu. Bisakah aku mentraktirmu makan siang sebagai ucapan terima kasih?"
Alfred menggeleng dengan senyuman rendah hati. "Terima kasih kembali, tapi aku tidak melakukan apapun tadi. Kamulah yang mengatur semuanya, Lilia."
"Itu tidak benar. Kalau bukan karena inisiatifmu merekam seluruh percakapan tadi, Keluarga Iswara mungkin tidak akan menyerah semudah itu. Atau, Kak Alfred menolak karena tidak ingin makan siang denganku?" Lilia bertanya ringan dengan nada bercanda.
Alfred tertawa mendengarnya. "Kalau kamu bersikeras seperti itu, aku akan menerima tawaranmu dengan senang hati."
Wanita muda yang tampak lebih dewasa dari usianya, namun juga masih memiliki sisi jahil ini menggelitik rasa penasaran Alfred.
*****
Mereka menjemput Daniel, yang menunggu di lapangan basket dengan wajah pucat pasi, sebelum pergi ke salah satu restoran dekat kampus. Lilia sengaja memilih restoran yang nyaman tapi tidak terlalu mahal agar Alfred tidak merasa sungkan.
Mereka masuk ke ruangan pribadi di restoran itu dan duduk mengelilingi meja makan. Daniel duduk di samping Lilia, sementara Alfred duduk di seberang kakak-beradik itu. Di sekitar ruangan terdapat pot-pot tanaman yang memberi kesan alami dan elegan pada ruangan itu.
Pelayan restoran itu memberikan buku menu pada mereka sebelum menuangkan teh hijau ke dalam tiga cangkir.
"Silakan Kak Alfred memesan dulu." Lilia mendorong buku menu itu ke arah Alfred.
"Terima kasih, tapi aku akan mengikuti apa yang kalian pesan saja." Alfred berusaha menolak dengan halus.
"Kalau begitu, beritahukan makanan favoritmu dan aku akan memesannya." Lilia menepis usaha Alfred untuk menolak dengan senyum manis.
Alfred tidak punya pilihan lain dan menerima buku menu itu. "Omong-omong, sejak kapan kamu yakin kalau ayah bayi itu bukan Daniel?"
Daniel juga menoleh pada kakaknya. Walau wajah pemuda itu terlihat lelah dan tirus, matanya berbinar-binar setelah mendengar kalau masalahnya sudah selesai. Dia tidak dapat merasakan makanannya ataupun tidur nyenyak selama dua hari belakangan ini. Daniel khawatir setengah mati kalau pertemuan hari ini akan berujung pada pengadilan, tapi kakaknya dengan mudah menyelesaikan masalahnya. Dia bersumpah untuk membalas bantuan Lilia suatu saat nanti.
"Sejak awal. Aku tahu adikku akan bertanggung jawab kalau dia yang melakukannya, dan setelah mencari informasi tentang Lacy, aku menjadi yakin." Jawab Lilia santai.
Tangan Alfred yang sedang membalik halaman buku menu terhenti sesaat. "Begitu rupanya. Sejujurnya, aku benar-benar terkejut melihatmu bersikap baik pada Lacy setelah dia mengakui kebohongannya." Pria itu menatap Lilia dengan penuh rasa penasaran.
Lilia tersenyum tipis. "Karena bukan dia yang merencanakan semua ini."
"Apa maksudmu?" Alfred mengerutkan kening.
"Aku tahu kalau Lacy berpacaran dengan adikku dan seorang laki-laki lain. Saat kutelusuri lebih lanjut, laki-laki itu yang menyuruhnya berpura-pura Daniel menghamilinya supaya Lacy bisa menikah ke dalam Keluarga Pangestu." Lilia mengangkat bahu. "Mungkin laki-laki itu berjanji Lacy bisa menceraikan Daniel setelah memerasnya habis-habisan. Setelah aku tahu itu, aku tidak bisa benar-benar membencinya."
"Kamu tidak perlu mengasihani orang seperti itu, Kak!" Daniel memprotes. "Dia berusaha memfitnahku, kamu tahu?"
"Jangan bicara omong kosong. Kamu juga punya andil dalam kasus ini." Lilia menoleh pada adiknya dengan ekspresi menakutkan. "Kalau kamu tidak tutup mulut, aku tidak keberatan menceritakan semuanya pada Ayah."
Daniel seketika bungkam mendengar ancaman itu. Dia hanya bisa merengut sambil membolak-balik halaman buku menu-nya.
Alfred hanya bisa tertawa melihat interaksi mereka. Seperti yang diduganya, Lilia Pangestu memang wanita yang menarik. Dia seorang model populer dan berasal dari keluarga kaya, tapi dia tidak bersikap arogan seperti nona muda pada umumnya. Justru Lilia memiliki sopan santun dan kebaikan hati yang jarang ditemui saat ini. Walau dia memperlakukan adiknya dengan dingin, tapi Lilia masih cukup peduli untuk menolongnya dan menyembunyikan masalah ini dari orangtua mereka.
Dalam seumur hidupnya, Alfred tidak pernah tertarik pada seseorang seperti ini!
*****
Setelah mereka makan siang bersama, Lilia berpisah dengan Alfred dan Daniel di depan restoran itu.
"Terima kasih sekali lagi, Kak Alfred." Lilia tersenyum lebar saat mengatakannya. "Kalau ada sesuatu yang kamu butuhkan, tolong jangan sungkan untuk meminta bantuanku."
"Aku tidak berbuat banyak hari ini, jadi aku tidak layak menerima terima kasihmu. Justru aku yang seharusnya berterima kasih untuk makan siangnya." Alfred membalas dengan rendah hati. "Sering-seringlah mampir ke kampus, ya. Tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan Daniel tanpa pengawasan kakaknya."
"Hei! Apa maksud Bapak?!" Protes Daniel langsung.
"Tentu saja. Daniel, kalau kamu tidak pergi sekarang, kamu akan terlambat masuk kelas." Lilia mengingatkannya.
Alfred pergi membawa Daniel yang masih menggerutu bersamanya. Lilia mengawasi kedua pria itu berjalan menjauh. Dia merasa Alfred benar-benar cocok menjadi seorang dosen. Apabila dideskripsikan, Alfred adalah seorang pria yang 'terpelajar'. Setelah berada di sekitar orang-orang di dunia hiburan dan bisnis untuk waktu yang lama, kehadiran Alfred terasa seperti angin segar bagi Lilia.
Suara dering telepon memecah lamunan Lilia. Dia mengeluarkan telepon genggamnya dan senyumnya langsung merekah saat melihat nama di layar telepon.
"Halo?"
"Kalau kamu sudah selesai mengawasi mereka, berbaliklah."
Seperti biasa, suara berat Jean membuat jantung Lilia terlompat. Wanita itu segera membalikkan badan dan melihat mobil hitam yang tidak asing lagi.