Dua hari telahberlalu sejak pertemuan dengan Keluarga Iswara itu.
Lilia tidak sempat bertemu lagi dengan Jean setelah menemaninya makan siang hari itu. Dia hanya bisa pulang ke rumahnya dan mengurung diri di sana. Walau begitu tentu Lilia tidak bisa tinggal diam dan membiarkan dirinya ditelan kesedihan. Dia menggunakan semua waktunya dengan seproduktif mungkin. Utamanya, Lilia memilih untuk melakukan berbagai macam olahraga untuk menjaga agar bentuk tubuhnya tetap ideal sebagai persiapan mengikuti Milan Fashion Week.
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Sehari sebelum Lilia terjadwal untuk berangkat ke Milan, dia mengajak sahabatnya Vivi untuk makan malam bersama.
Tidak butuh waktu lama bagi Lilia untuk selesai bersiap-siap pergi. Dia juga menyempatkan diri untuk mengingatkan Daniel agar tidak lupa makan malam sebelum dia berangkat untuk menemui Vivi di kantornya. Adiknya itu telah pulang ke rumah sehari setelah kasusnya terselesaikan dan memberitahu Lilia apa yang terjadi di kampus.
Rupanya Lacy sudah mengembalikan kartu Daniel pada pemuda itu dan menghilang dari universitas. Wanita muda itu tidak mengatakan apa yang akan dia lakukan setelah putus kuliah, tapi Lilia tidak terlalu khawatir dengan nasibnya. Dia sengaja memberikan kartu kreditnya pada Lacy untuk membantunya dalam situasi seperti ini.
*****
Lilia turun dari taksi di depan gedung kantor Vivi sekitar pukul enam sore. Walaupun dia keluar hanya untuk santap malam santai dengan Vivi, Lilia tidak lupa untuk tampil dengan fashionable. Lilia mengenakan T-shirt hitam berlengan pendek yang melekat pada lekuk tubuhnya yang indah, dipadu dengan rok selutut berwarna perak, dan dilengkapi kacamata hitam andalannya. Walau T-shirt dan roknya tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan pakaian yang biasa dikenakannya di runway, kecantikan supermodel itu tetap terpancar dengan indah. Dari lekuk tubuhnya yang langsing, dari bentuk wajahnya yang ibarat seorang putri dari dongeng, bahkan dari langkah kakinya yang langsing dan putih. Semua orang, terutama pria, yang sedang pulang kantor tidak bisa tidak mencuri pandangan padanya.
Namun juelas bahwa hal yang menarik perhatian mereka bukan hanya kecantikan Lilia. Caranya supermodel itu membawa diri juga memukau mereka. Terlihat gerak-geriknya yang anggun dan elegan: postur tubuhnya yang tegak membuatnya tampak berwibawa, caranya melangkahkan kakinya yang panjang tampak tertata dan mantap.
Bahkan keluar dan berjalan dari taksi saja, Lilia tampak seperti seorang model yang tengah berjalan di atas runway, diliput dan difoto oleh begitu banyak fotografer. Itu adalah efek samping dari semua kerja keras Lilia sebagai model selama ini.
Lilia memutuskan untuk menunggu Vivi di kafe seberang kantornya. Setelah beberapa waktu menentukan tempat, Lilia akhirnya memilih untuk duduk di sebuah meja di dekat jendela agar Vivi bisa menemukannya dengan mudah.
Sambil menunggu kedatangan sahabatnya, Lilia memesan segelas latte hangat untuk menemaninya menghabiskan waktu. Pelayanan di kafe ini bagus, belum 10 menit berlalu ketika seorang pelayan wanita mendatangi meja Lilia.
"Nona Lilia, ini pesanan anda." Ucap pelayan itu dengan ramah.
"Terimakasih," Balas Lilia dengan ramah juga. Wanita itu tidak bisa menahan senyum ketika dia melihat minuman pesanannya. Seseorang telah menggambar motif hati di permukaan minumannya. "Permisi, saya tidak memesan…"
Memang, kafe ini terkenal bisa membuat latte art yang unik dan kreatif, namun pasti ada biaya tambahannya. Semakin rumit gambar didalam lattenya, semakin mahal harganya. Dan motif yang tergambar di permukaan latte Lilia cukup rumit.
Terlihat ada gambar hati, dan ditengah-tengahnya tertulis dengan krim vanilla 'L.P.' dengan huruf tegak bersambung.
"Oh! Tidak apa-apa Nona Lilia!" Ucap pelayan wanita itu dengan cepat-cepat. "I-itu dari kami untuk anda…" Sambungnya dengan girang.
Lilia pun tidak bisa menahan diri untuk tersenyum lebih lebar. "Kalau begitu aku tidak usah membayar?"
"Tidak usah! Tidak apa-apa! Baristanya kebetulan fans berat anda…! S-saya pun… Juga…fans anda..." Ucap pelayan wanita itu dengan malu-malu.
Tanpa banyak bicara, Lilia langsung mengatakan, "Aku boleh pinjam bolpoin dan buku notesmu sebentar?"
Cepat-cepat pelayan wanita itu menyerahkan apa yang diminta Lilia.
"Nama barista itu siapa?" Tanyanya dengan ramah sambil mulai menulis pada salah satu lembaran buku notes itu. "Namamu juga siapa?"
"I-itu, barista namanya Andre, n-namaku Tricia!" Ucap pelayan wanita itu dengan girang.
Dengan cepat Lilia menandatangani selembar halaman notes itu, kemudian menyerahkannya pada pelayan itu. "Tolong sampaikan terimakasihku ke temanmu Andre, ya…"
"Baik! Baik, terimakasih banyak Nona Lilia! Selamat menikmati minuman anda!" Pelayan wanita itu membungkuk beberapa kali sebelum menghilang dari hadapan Lilia sambil tersenyum lebar.
Setengah jam berlalu dengan Lilia hanya ditemani segelas latte. Vivi akhirnya baru muncul setelah Lilia menghabiskan setengah lattenya.
Vivi yang memakai baju kantor berwarna hitam-putih duduk di depan Lilia dengan senyuman lebar. "Apakah aku sudah membuat model populer Lilia Pangestu menunggu lama?" Goda Vivi.
Lilia tertawa. "Kalau aku duduk di sini lebih lama lagi, paparazzi dan para fans-ku akan mulai berdatangan!"
Vivi menggelengkan kepala. "Menjadi terkenal memang punya kesulitannya tersendiri. Tahukah kamu kalau dua hari yang lalu di internet ada pemilihan aktor dan aktris terfavorit di Indonesia saat ini? Kamu memang bukan aktris, tapi kepopuleranmu bahkan melebihi mereka! Percaya atau tidak, kamu ada di peringkat tiga besar aktris terfavorit!"
Lilia mengangkat alis dengan heran. Dia tidak peduli dengan hal-hal semacam itu. Dia jarang mengikuti berita terbaru di dunia maya dan biasanya menyerahkan semua urusan relasi publik pada Harold. Lilia menjadi model bukan untuk menjadi terkenal, tapi murni karena dia menyukai dunia permodelan.
"Ah, ayo kita berangkat." Vivi berdiri setelah mengecek arlojinya. "Aku sudah memesan tempat di restoran suki yang biasanya."
*****
Ketika keduanya tiba di restoran suki langganan mereka, tempat itu penuh sesak oleh pengunjung. Untungnya, Vivi berhasil mendapatkan ruangan pribadi untuk mereka berdua.
"Jadi kamu akan berangkat ke Milan besok, ya?" Vivi membuka percakapan setelah mereka memesan makanan. "Jam berapa pesawatmu?"
"Jam lima pagi."
"Pagi sekali!" Vivi menggelengkan kepala. Lalu dia mengamati ekspresi Lilia yang tenang. "Kukira kamu akan tegang karena ini fashion show internasional pertamamu, tapi sepertinya kamu akan baik-baik saja. Aku akan menonton fashion show-mu dari rumah, oke?" Vivi nyengir.
"Kalau kamu sampai melewatkannya, persahabatan kita putus sampai di sini." Goda Lilia sambil mengangkat gelas minumannya yang berisi es teh.
Vivi tertawa lepas. "Kalau aku bukan sahabatmu lagi, kamu tidak akan punya seorang pun untuk disebut sahabat, kamu tahu? Apalagi setelah dia tiba-tiba menghilang…"
Suara Vivi memelan saat dia sadar kata-katanya membuat suasana menjadi muram. Wanita itu berdeham dan mengganti topik pembicaraan.
"Lalu, bagaimana dengan kamu dan Jean Widjaya? Apa ada kemajuan dalam hubungan kalian?" Tanya Vivi jahil.
"Uhuk…uhuk…!" Lilia tersedak tehnya saat mendengar pertanyaan Vivi.
"Eh? Serius?! Apa yang terjadi?! Apa kalian…" Vivi langsung menegakkan tubuh dan menatap Lilia dengan mata bersinar-sinar penuh semangat. "…kalian sudah tidur bersama?!"
"Tidak!" Lilia langsung menyergahnya. "Kenapa kamu langsung menebak seperti itu?! Hubungan kami biasa saja!"
"Apanya yang biasa saja?!" Vivi bersedekap. "Jelas-jelas dia jatuh cinta setengah mati denganmu! Kalau dia tidak menyukaimu, untuk apa dia membawamu ke pesta perayaan perusahaannya?! Atau meneleponku hanya karena dia khawatir padamu?!"
"Uh…" Lilia sedikit menyesal telah menceritakan semua yang terjadi pada Vivi.
Di saat keduanya asyik mengobrol, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang berbicara dengan lantang dari luar ruangan mereka.