Setelah ujian itu selesai aku bersyukur karena setidaknya beban dari sekolahku akan segera selesai. Tanpa pikir panjang aku langsung mencari pekerjaan di sebuah sekolah kejuruan lain dan langsung mendapat kan pekerjaan di Purwakarta. Aku sibuk mengurus segala kepergian ku kesana dengan sangat singkat, Dari mengurus KTP hingga mendapatkan rapor lebih dulu. setelah 1 Minggu ujian aku berangkat ke Purwakarta dan memulai kehidupan yang sesungguhnya. kerasnya mencari nafkah, bertarung dengan diri sendiri mengalahkan ego. Bekerja di kota orang adalah hal baru untukku dan dengan sifat ku yang pendiam aku tidak banyak membaur dengan orang-orang di tempat kerjaku selain terkendala bahasa aku juga tidak terlalu suka dengan orang-orangnya. Hanya 3 bulan aku bertahan di sana dan kemudian kembali ke desa dengan membawa pengalaman berharga dan itu adalah mudik pertama bagiku karena aku pulang sebelum idul Fitri.
Setelah memutuskan keluar dari pekerjaan lamaku di sana aku memilih untuk bekerja di kotaku sendiri walaupun dengan gaji yang cukup kecil saat itu. Pekerjaanku tentu saja tidak mudah dan justru lebih menguras energi dan waktu tidurku berkurang. Aku menjalani dengan sebuah harapan bahwa semua mimpiku akan terwujud. Aku mencoba bertahan dengan kondisiku dan menyimpan semua keinginan ku. Di tengah kejenuhan ku aku bertemu dengan seorang laki-laki yang baik dan sholatnya pun rajin. namanya Widi. dia berbeda bagian denganku tapi pekerjaannya satu gedung denganku dan sering melihatnya. komunikasi kami bermulai dari sebuah candaan hingga kami terhubung satu sama lain dan sering bertukar pesan melalui Facebook ataupun BBM. Kesehatan Widi mulai menurun dan membuatnya jatuh sakit hingga berminggu-minggu. diapun memutuskan untuk berhenti bekerja dan aku datang ke rumah sakit untuk pertama kalinya bersama temanku untuk menjenguknya. dia cukup terkejut dengan kehadiran ku saat itu. dia yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit menorehkan senyumnya begitupun aku. disana ada sebagian keluarga intinya ibunya, kakaknya dan suami juga anaknya. Cukup lama aku disana berbincang dengan keluarganya dan sesekali memberikan sedikit perhatian padanya yang terbaring lemas.
" Semoga jodohnya ya di. " Sebuah kalimat yang di lontarkan ibunya pada saat itu membuatku dan Widi saling pandang dan tersenyum. Dalam hati aku mengamini Laki-laki ini.