Chereads / RUN TO YOU / Chapter 3 - Carried on Your Back

Chapter 3 - Carried on Your Back

Siang itu Kiki tiba-tiba mendapat laporan orang hilang.

Sebenarnya si pelapor mengira Kiki kantor polisi atau apa? Ketika dia menjawab dengan malas kalau hilangnya sudah dua puluh empat jam, si pelapor baru boleh kembali lagi untuk melanjutkan laporannya, si pelapor ini malah mengamuk—dan panik.

Seketika Kiki ikut panik.

Masalahnya yang hilang ternyata Julian. JULIAN!

Astaga!

Hazel di depannya sudah kalang kabut. Dia bilang kalau Julian ada ekskul KIR setelah pulang sekolah, kira-kira dua jam yang lalu. Hari ini ekskul di sekolah mereka memang sudah mulai berjalan.

Kiki saat itu juga baru selesai main basket di aula GSG. Panas terik membuat anak-anak malas main basket di tribun. Jadi, walaupun tempatnya kecil mereka terpaksa main di GSG.

Rendy yang ada di samping Kiki sudah mulai sibuk dengan ponselnya. Rendy memang paling terlihat tenang, tapi dia terkenal sangat cekatan dan dapat diandalkan di antara mereka. "Sibuk," katanya.

Kiki menatap Hazel yang terlihat sangat gelisah. "Julian nggak ngabarin lo?"

"Kalau ngabarin ngapain gue minta tolong lo, Kiki!"

"Nggak usah ngegas, bangsat," balas Kiki kesal. Dia memang tidak pernah akur dengan Hazel. "Lo udah nyari ke mana aja? Di kolong-kolong plus lemari udah?"

Hazel melirik sinis. "Jangankan kolong, di lubang hidung gue juga udah."

Sebenarnya pertemuan mereka ini hanya kebetulan saja. Rendy memang sengaja menemani Kiki ekskul—yang Kiki sendiri tidak tahu kenapa anak itu melakukannya. Dan ketika Kiki baru selesai ekskul, Rendy secara kebetulan melihat Hazel di dekat toilet tengah panik.

"Dia pasti udah pulang nih," cetus Rendy tiba-tiba, lalu melirik ke Hazel. "Julian itu tipe-tipe yang nggak suka nyusahin orang. Jadi, kemungkinan dia emang nggak mau minta jemput lo."

"Gue tau."

Mendengar Rendy bicara seperti itu, Kiki segera ingat sesuatu. Kalau Julian sudah pulang artinya Kiki bisa menelepon ke rumahnya,  dan bertanya pada Tante Yuli.

"Nelpon siapa lo?" tanya Hazel, Kiki mengangkat tangan untuk mengisyaratkan bahwa dia tak mau diganggu sebentar. "Halo, Tante, ini Kiki. Aku mau main ke rumah, Julian ada, 'kan?"

Tante Yuli bilang kalau Julian belum pulanv dan Kiki diminta untuk menghubungi ponselnya. Kiki langsung pamitan pada ibunya Julian dan mendesah kecewa.

"Julian belum balik."

Sesegera mungkin Hazel membuat panggilan lagi. Dia keliatan panik, Kiki hanya bisa terdiam melihat reaksinya yang bahkan melebihi dirinya. Sebenarnya Julian sudah dewasa, tidak perlu dikhawatirkan, tapi gara-gara Hazel bersikap seperti itu, Kiki jadi ikut-ikutan cemas.

"Nah ini aktif," seru Hazel tiba-tiba.

Mereka bertiga menunggu dengan hening sampai akhirnya Hazel malah mengumpat.

"Mati." Hazel mencoba untuk menghubungi lagi, tak sampai tiga detik dia berdecak. "Ah, nggak aktif lagi!"

Kiki diam. Mikir keras.

Hazel mengacak-ngacak rambutnya. "Masalahnya, Gilang anak KIR juga, 'kan? Dia ikut rapatnya nggak sih? Gue masih belum ngerasa tenang kalau Gilang itu ada di sekitar Julian."

"Kenapa gitu?" tanya Kiki.

Untuk masalah yang satu ini Kiki sebenarnya paham, tapi kalau dipikir-pikir memang apa yang akan dilakukan Gilang?

Rendy menepuk bahu Kiki, dan membuat Kiki menatapnya. "Kita cari aja lewat jalan yang biasa dia lewatin kalau pulang."

Kiki mengangguk, Rendy ada benarnya. Ada dua jalan yang bisa ditempuh Julian untuk sampai ke pemberhentian angkutan umum. Dan dua jalan itu berbeda gang tapi tetap mengarah pada satu tujuan.

"Ada dua jalan yang memungkinkan. Kita berdua lewat Jalan Damai, Ren. Biar Hazel lewat ruko-ruko di pinggiran kompleks."

Hazel menanggepi omongan Kiki dengan anggukan. Sekarang tidak ada pilihan untuk berdebat atau tidak setuju. Ngomong-ngomong perasaan Kiki agak mendadak tidak enak.

Kiki menatap Hazel lagi. "Kalau misalnya nggak ada, lo langsung hubungin gue atau kita ketemu di perbatasan. Oke?"

Mereka akhirnya berpencar jadi dua bagian. Kiki menaiki motornya berboncengan dengan Rendy dan Hazel naik motornya sendiri. Tempatnya tidak begitu jauh sampai ke pangkalan maupun perbatasan dua jalur kompleks. Seharusnya kalau Julian masih ada di sekitar situ, mereka masih bisa menemukannya.

Kiki dan Rendy melintasi jalan yang kebetulan sudah melewati pemukiman kompleks. Kiki memperlambat laju motornya sambil menengok kanan kiri. Tempat ini agak sepi. Ketika ada dua gang bercabang ke pangkalan angkutan dan ke jalan tikus perbatasan, jantung Kiki berdetak tidak karuan. Rendy mengusulkan untuk langsung ke pangkalan lewat jalan utama, tapi tak tahu kenapa Kiki ingin lewat jalan tikus tersebut.

Setelah berdebat dengan Rendy, akhirnya mereka sepakat melewati jalan tikus. Kiki tahu ke mana arah jalan ini, ada kawasan pabrik beberapa meter ke depan.

Benar saja, saat mereka berdua lewat jalan itu, Kiki melihat Julian dari kejauhan, cowok itu terduduk di tanah dengan seorang lagi yang tengah menodongkan pisau padanya.

Kiki kalap, segera mematikan motor dan menaruhnya secara asal di ujung jalan. Mata Kiki telah menggelap, dan dia tanpa sadar telah membawa kakinya lari menuju ke sana.

"JULIAN!"

Julian sama sekali tidak mendengar panggilan Kiki. Dia fokus pada pisau yang dihunus padanya, nampak sangat ketakutan. Sampai di sana Kiki dan Rendy segera menahan tangan orang itu—dan ternyata dia adalah Gilang, teman sekelas mereka.

"Hati-hati, Ki."

Kiki mendengar Julian memperingatinya, tapi dia masih sibuk mengambil pisau yang ada di tangan kanan Gilang. Cowok itu mungkin punya kekuatan Hulk, mereka berdua hampir kewalahan menahannya.

"Argh!"

Tiba-tiba Gilang menendang tulang kering Kiki dengan sangat kuat sampai dia jatuh dan kesakitan. Tak cukup sampai di situ, Gilang bahlah menginjak-injak kaki malang itu dengan sepatunya yang tebal. Kiki memejamkan mata menahan sakit.

"Lo nggak apa-apa, Ki?" tanya Rendy.

Kiki membuka matanya. "Kaki gue sakit banget."

Kiki tampak sangat kesakitan dan Julian menghampirinya sambil memegang bahunya. Julian juga berniat untuk membantu Rendy, tapi Kiki menahan.

"Jangan, Jul, Rendy strong kok—duh." Kiki mencengkeram pinggiran kulitnya yang telah lebam. Dia menatap Gilang dengan kesal. "Awas lo, Lang, gue sunat lo pake gergaji!"

Gilang tidak mendengar, tapi Kiki berharap bisa melakukan itu. Dia berniat menyunat Gilang pakai gergaji, kalau bisa pakai alat yang biasa digunakan untuk menebang pohon kelapa.

Entah sejak kapan pisau yang dipegang Gilang sudah jatuh, lalu pisau itu dibuang jauh-jauh oleh Julian.

"Hazel nyariin lo tadi, kenapa nggak ngabarin dia?" tanya Kiki pada Julian sambil nyoba berdiri. Julian membantunya.

"Trus di mana dia?" Julian balik bertanya.

"Ki, ambil HP gue di kantong. Buruan!" seru Rendy saat Kiki belum sempat menjawab Julian. Kiki dengan perlahan mendekati mereka. Dengan susah payah akhirnya Kiki mendapatkan ponsel itu.

"Telpon nomor Om Haryo di kontak gue. Apa pun alasannya, dia harus ke sini jemput Gilang."

Meskipun Kiki penasaran tentang siapa itu Om Haryo, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya, jadi spekulasi sementara yang bisa dia duga bahwa kemungkinannitu orang tua Gilang.

Tepat ketika sedang sibuk menghubungi Om Haryo, Hazel dateng dan menaruh motornya begitu saja di ujung jalan. Di samping motor Kiki.

Hazel kelihatan panik saat menghampiri mereka, apalagi saat dia melihat Gilang. "Kenapa ini? Lo nggak apa-apa?"

Julian mengelengkan kepala.

"Kenapa lo nggak ngabarin gue kalau udah pulang?!" Hazel kelihatan sangat marah. "Gue udah bilang 'kan, Julian? Kenapa lo nggak ngabarin gue?!"

Refleks, Kiki memukul kepala Hazel, karena jni bukan saat yang tepat untuk mengamuk. Julian juga pasti tidak tahu kalau hal seperti ini akn terjadi.

Biasanya setelah Kiki memukul Hazel atau siapa pun, mereka akan langsung terdiam, tapi kali ini Hazel seolah-olah tidak terganggu. Matanya tajam menatap Julian.

"Err, Julian oke kok. Mending lo tolongin Rendy."

Baru kali ini Kiki melihat Hazel berwajah seram seperti itu. Sebelum dia ikut terkena amukan, akhirnya Kiki memilih untuk menghampiri Rendy yang sangat butuh bantuan tenaga. Akan tetapi, semuanya telambat, kejadiannya begitu cepat saat tangan Gilang memegang batu dan melemparnya ke depan.

Beruntung batu itu tidak mengenai Julian, lebih parahnya batu itu justru mendarat pada jidat Hazel dan darah segera keluar dari sana. Kiki tak sadar sejak kapan posisi Hazel sudah membelakangi Julian dan menjadikan dirinya sebagai tameng.

"Lo berdarah," Kiki mendengar suara Julian tiba-tiba. Sementara dirinya sudah membatu.

Hazel memegang lengan Gilang yang bebas dan mengambil batu yang tadi mengenai dahinya.

"Jangan, Zel. Please, nggak usah nambahin korban lagi." Julian memegang tangan Hazel yang meremat batu itu. Hazel membalas tatapan Julian beribu kali lebih dingin dari sebelumnya. Cengkeramannya di lengan Gilang kuat sekali.

"Tahan, Zel. Gue nggak mau lo nyesel."

Samar-samar Rendy berbisik pada Hazel. Di saat seperti ini Kiki malah merasa begitu useless. Kakinya seumpama ditahan oleh sesuatu yang berat dan membuatnya tak bisa gerak.

Peringatan Rendy sangat ampuh, karena setelah itu Hazel langsung membuang batunya. Pandangannya masih belum berubah ke Julian. Hazel pasti sangat marah mengingat bagaimana paniknya dia ketika melaporkan hilangnya Julian. Kiki merasa sangat bersyukur sebab bisa bertemu Hazel setelah pulang ekskul. Kalau tidak, Kiki tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sama Julian.

"Lo mau ke mana?" teriak Rendy tiba-tiba. Hazel ternyata sudah kabur membawa motor merahnya.

"Woi! Bangke, malah kabor!"

Rasa kesal Kiki balik lagi. Dia berusaha memegangi satu lengan Gilang yang bebas. Sesekali dia melihat Julian yang sudah bungkam sambil mengepalkan kedua tangan. Belum sempat Kiki tegur, Julian tiba-tiba ikut pergi ke arah motor Kiki—dan ikut kabur.

"Julian, lo juga mau ke mana? WOI!"

Tunggu!

"Motor gue! Sialan! Motor gueeeeeeeee!!!"

"Lo masih sempet-sempetnya mikirin motor," cibir Rendy.

"Iyalah, lo mau pulang jalan kaki? Silakan aja, gue nggak peduli."

Rendy tak menjawab. Beberapa menit kemudian mobil warna hitam muncul dan berhenti di ujung jalan. Pintu mobil itu terbuka dan ada wanita baya yang keluar sambil lari tergopoh-gopoh ke arah mereka. Gilang sudah berhenti memberontak beberapa menit yang lalu.

"Mas Gilang."

Eeeeeee. Mas?

"Bi, Om Haryo mana?" tanya Rendy, celingukan. Wanita itu mengembuskan napas lelah, kelihatan sekali dia buru-buru meluncur dari rumah ke sini.

"Bapak, lagi meeting, Mas. Tadi Bapak suruh saya jemput Mas Gilang sekarang juga, memang ada apa?" tanya si bibi itu bingung.

"Nggak apa-apa kok, Bi."

Rendy melepas pegangannya ke Gilang saat wanita itu mengambil alih lengan Gilang untuk diusap-usap.

"Mas Gilang kenapa? Sakit?"

Gilang tidak menjawab apa-apa, tapi kemudian dia memeluk Si Bibi yang tubuhnya lebih pendek dari dia. Pelukan itu dibalas dengan lembut dan keibuan.

"Ya udah, yuk, Mas Gilang pulang aja kalau sakit," kata Si Bibi, lalu melirik mereka berdua. "Mas Rendy sama temennya mau bareng?"

Rendy berniat menjawab, dan gue buru-buru motong. "Nggak usah ... Bi."

Rendy menatap Kiki dengan pandangan sulit diartikan.

Akhirnya Si Bibi pamit sambil menggiring Gilang yang sempoyongan.

"Kenapa lo nolak? Kita tetep harus ke rumah Gilang untuk kasih penjelasan ke bokapnya," kata Rendy.

Kaki Kiki terasa semakin sakit seperti dtusuk-tusuk dengan jarum. "Gue males semobil sama Gilang," katanya.

Rendy menaikkan sebelah alisnya, kelihatan tidak suka. "Kenapa? Lo jijik?"

"Bukan gitu," elak Kiki. Mencoba untuk berdiri lagi sewaktu Rendy sudah berbalik meninggalkannya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, Kiki melihat ponsel Julian yang remuk, dan diambilnya.

Sepertinya cuma bagian kaca saja yang retak.

Ketika dia berniat untuk jalan, rasa sakitnya di kakinya makin menjadi-jadi. Dia mengumpat parah, melihat Rendy sudah jalan menjauh dan tak peduli padanya.

Dasar iblis nggak punya hati!

Sekitar lima meteran mungkin, Rendy berhenti dari jalannya dan menengok ke belakang. Kiki terkejut karena mengira Rendy mendengar suara hatinya. Cowok itu memasang wajah datar, tapi cowok itu akhirnya berjalan menghampirinya.

Rendy melirik kakinya. "Harusnya tadi kita nebeng."

Kiki membuang muka.

"Gue gendong aja. Ayo, naik."

Alis Kiki menukik tajam melihat Rendy yang sudah siap dengan punggungnya.

"Ayo, naik."

"Nggak usah," tolak Kiki.

"Kalau lo maksa jalan nanti kaki lo tambah parah trus membusuk. Trus akhirnya harus diamputasi. Lo mau?"

Kiki mendadak ngeri kalau hal itu benar-benar terjadi, walaupun tidak separah itu kakinya.

"Diem lo, anjing."

"Buruan!"

Akhirnya dengan sangat terpaksa—walaupun sebenarnya Kiki ingin membuat Rendy jadi babu—dia naik ke punggung cowik itu. Beruntung, meskipun Rendy lebih pendek dari Kiki berapa senti, Rendy punya badan yang sedikit berisi.

"Ren? Berat?"

Rendy menggumam pelan sembari membenerkan posisi Kiki yang merosot. Gila! Situasi dan kondisi ini layaknya drama-drama romantis kebanyakan. Mereka gendong-gendongan di bawah pohon yang sejuk dan damai.

Selama ini Rendy memang tidak pernah membawa mobilnya ke sekolah. Katanya sang kakak tidak mengizinkan dan Rendy juga bingung mau parkir mobilnya di mana kalau dibawa. Tetapi Kiki tahu bahwa alasan yang sebenarnya karena Rendy tidak mau pamer.

Kiki sudah hapal watak Rendy. Dia memang tidak mau kelihatan modis, melainkan dia lebih suka terlihat buluk. Namun di situasi seperti ini, rasanya sayang sekali Rendy tak membawa mobilnya.

Akhirnya setelah beberapa menit mereka hanya terdiam sepanjang jalan. Mungkin karena menggendong anak jerapah seperti Kiki, kecepatan Rendy dalam berjalan menjadi lambat. Rasanya Kiki bisa menghitung langkah merek dan mau tak mau membuatnya mengantuk.

"Menurut lo kenapa Hazel ngelakuin itu?" tanya Kiki tiba-tiba.

"Hm?"

"Kenapa dia nerima lemparan batu dari Gilang? Kenapa dia sengaja ngelakuin itu? Mau jadi pahlawan?"

Napas Rendy terdengar putus-putus, dan tidak ada jawaban apa pun. Kiki langsung mengguncang bahunya sampai cowok itu sempoyongan antara menahan badan Kiki dan menahan berat tubuhnya sendiri.

Rendy mengumpat, Kiki tertawa puas.

"Lo pernah denger nggak istilah; cinta itu buta?"

Kiki memutar bola mata. "Bosen kali dengernya."

"Kadang-kadang, untuk ngelindungin orang yang kita sayang kita bakal ngelakuin hal yang berbahaya, tanpa tau akibatnya. Lo tau nggak, Hazel mungkin nggak sadar ngelakuin itu, dia nggak sadar kalau yang dia lakuin bakal ngebahayin dia. Yang ada di pikiran Hazel itu cuma Julian."

Ini kalimat terpanjang Rendy selama Kiki mengenalnya. Pandangannya menerawang ke depan dan mukanya terlihat sendu.

"Sekali-kali jangan ngeliat sebelah mata doang, Ki. Lo harus buka mata lebar-lebar."

Kiki mengerutkan dahi.

"Apaan nih? Lo mau ngehasut gue untuk nyetujuin hubungan Hazel sama Julian, 'kan? Ngaku!"

Rendy menaikkan badan Kiki yang merosot. "Pikirin aja sendiri. Ngejelasin lo itu ibarat ngisi air di jaring ikan, nggak bakal masuk."

Perumpamaan macam apa itu?

"Kalau lo ada di posisi kayak gitu, pasti lo bakal ngelakuin hal yang sama," lirih Rendy. "Lo nggak bakal sadar kenapa kaki lo bisa bergerak sendiri padahal lo nggak minta."

Kiki tidak bisa menjawab apa-apa.

Dan positif, kakinya terkilir.

Mereka sekarang terdampar di rumah Gilang. Kiki hanya tiduran di sofa sambil menahan sakit pada kakinya sementara Rendy mengompresnya dengan es. Ketika Kiki menyuruh untuk memijat kakinya, Rendy justru mengomel parah. Dibilangnya Kiki terlalu sembarangan.

Rendy tidak mengerti soal urut-mengurut, makanya yang bisa dia lakukan cuma mengompres kaki Kiki. Bibi yang bersama Gilang ternyata pembantu plus pengasuh Gilang dari kecil. Pantas saja mereka berdua terlihat sangat akrab seperti ibu dan anak.

Sekarang Si Bibi sedang memarut jahe untuk kakinya. Padahal Rendy sudah membelikan obat di apotek setelah mengantarnya ke sini. Rumah Gilang super besar persis seperti rumah Rendy, tapi modelnya lebih unik dan terawat. Ada halaman kecil yang banyak ditumbuhi bunga-bungaan dan berjejer beberapa tanaman tinggi sepanjang pagar.

Ayahnya Gilang sudah pulang, beliau ada di kamar Gilang bersama istrinya. Rendy sudah menjelaskan inti perkaranya, dan terlihat sekali bagimana kerasnya muka Om Haryo itu.

"Nanti sampe rumah, lo kompres lagi. Kalau bisa tetep dibebat pake kain sampe bengkaknya ilang. Pas tidur kaki lo harus dialasin pake bantal sejajar jantung. Trus—"

"Bawel lo!"

"Gue belom selesai ngomong," potong Rendy. "Cari tukang urut. Setelah ini gue anter lo balik."

Kiki manyun mendengar semua omelannya. Rendy jadi super bawel hari ini.

"Nih pegang," Rendy memberikan kompresannya pada Kiki. Lalu duduk di sebelah gue. "Jangan banyak gerakin kaki lo du—"

"Iya, bawel. Berisik lo ngalah-ngalahin nyokap gue yang lagi konser tau nggak?! Lo kesurupan setan apa? Setan pohon beringin? Lo lebih pantes diem sambil main HP. Dunia tentram dan damai."

Kiki mendengus, di mana-mana orang yang sakit itu tidak butuh ceramah atau nasihat panjang lebar. Bukannya sembuh malah tambah nyut-nyutan.

Tapi ...

Kiki yang mendapat luka begini saja sudah mengeluh, lalu bagaimana dengan Hazel? Anak itu baik-baik saja, 'kan? Kiki mendadak khawatir. Walaupun Rendy sudah menjelaskan padanya, tapi Kiki tetap tidak mengerti kenapa Hazel melakukan itu?

Yah, tapi kalau tidak begitu, yang terluka malah Julian, 'kan? Uh, itu juga bukan pemandangan bagus buat Kiki. Jangan sampai itu terjadi.

"Lo tiga hari kudu istirahat di rumah." Rendy ngomong lagi. Kiki dongkol.

"Ngomong lagi, gue jahit mulut lo, Ren."

Rendy angkat bahu. Dia udah mulai sibuk sama ponselnya dan pasti udah sibuk dengan game yang terbengkalai. Si Bibi datang membawa kain putih dan sebuah mangkuk. Kiki tidak bertanya, dari bentuk dan baunya Kiki tahu isi mangkuk itu adalah jahe.

Bibi mulai membaluri kakinya dengan jahe, dan Kiki meringis kesakitan, lalu setelah itu kakinya dibebat oleh kain.

"Harus segera diurut, Mas. Biasanya kalau terkilir kayak gini Masnya bakal demam entar malem."

Otomatis Kiki menyentuh dahinya. Di saat yang sama Rendy ikut-ikutan menyentuh dahi itu dan satu tangannya yang lain megang pantatnya sendiri. Dia terkekeh. "Panasnya sama kayak pantat gue."

Kiki langsung menggeplak kepalanya. Si Bibi cekikikan melihat mereka berdua. "Baru kali ini liat Mas Rendy ketawa. Ganteng."

Eh, buset. Apa maksudnya ganteng? Si Bibi kepincut sama Rendy gitu? Kok serem?

"Iya, Bi. Kiki buat orang ketawa mulu sih."

Kiki memutar bola mata. "Garing lo."

Si Bibi akhirnya pamit untuk melihat keadaan Gilang yang masih dinasihatin (mungkin) sama orang tuanya. Rendy menepuk bahu Kiki dan menyuruhnya menghubungi Julian.

"Lo pasti pengen tau 'kan dia udah ketemu Hazel atau belum?" kata Rendy.

Langsung saja Kiki menunjukkan ponsel Julian yang remuk.

"Telpon Hazel aja, kalau nelpon ke rumah entar nyokapnya malah curiga."

Kiki setuju, dan dengan terpaksa menghubungi Hazel. Ketika diangkat, ternyata yang menjawab adalah suara Julian. Tanpa basa-basi, tanpa bumbu dan sayur-mayur, Kiki langsung menyalak dengan kalimat apa saja yang ada di pikirannya.

Yang pasti yang paling mengganjal di pikiran Kiki adalah kondisi Hazel. Syukurlah dia tidak apa-apa. Kiki benar-benar tidak tahan untuk mengucapkan terima kasih, tapi karena dia gengsi (dan Kiki mengakui itu) akhirnya dia hanya titip ucapan terima kasihnya lewat Julian.

Berhubung Rendy mengingatkan tentang motornya, sekalian saja Kiki mengomeli pelaku curanmor dadakan itu.

Akhirnya pembicaraan singkat itu berakhir—karena Kiki tak mau ponselnya keburu diserobot sama yang Hazel. Kiki paling malas bicara sama kakak kelasnya itu. Masih ada rasa tak terima soal hubungan mereka. Walaupun dia sedikit melunak karena adanya aksi heroik seorang Adrian Hazel itu terhadap Julian.

Sedikit, ya. Sedikit.

"Yuk, balik," kata Rendy yang baru balik—entah dari mana.

"Gue abis izin sama bonyoknya Gilang. Dan mereka juga udah mau jalan ke rumah Julian kok."

Kiki mengangguk. "Iya, tadi gue udah nyampein sama Julian. Gue kira kita bakal ngejagain Gilang dulu."

"Nggak usah, ada Si Bibi."

Anehnya Rendy langsung memposisikan badannya membelakangi Kiki lagi. Kiki mengerutkan dahinya kebingungan.

"Nggak usah, Ren."

Rendy tak menjawab, menatapnya dengan jengkel.

"Gue nggak suka dipaksa," jelas Kiki, tapi Rendy kekeuh. Dia bahkan menarik tangan Kiki ke bahunya.

"Jalannya sampe rumah gue, untuk ambil mobil. Jalan lo kelamaan."

Rendy sangat tahu banget cara membuat Kiki bungkam. Pegangan tangannya begitu kencang dan mungkin dia tak sadar kalau itu berpotensi meremukkan tulang Kikk. Percuma kalau Kiki memaksa menarik tangannya, yang ada dia malah jatuh—atau malah Rendy yang jatuh lalu menimpa kaki Kiki.

Habis itu kakinya bakal tambah parah, membusuk, retak—dsb. Sampai akhirnya diamputasi.

Kiki akhirnya melompat naik tanpa basa-basi. Dengan lompatan super itu, Rendy langsung sempoyongan karena kaget.  Kiki tertawa jahil.

"Kaki lo masih sakit?"

"Lumayan," jawab Kiki.

"Nanti malem obatnya jangan lupa lo minum lagi," kata Rendy masih dengan perhatiannya yang aneh.

Kiki tidak menjawab. Entah kenapa tiba-tiba merasa takut bakal jatuh. Jadi Kiki mengeratkan lingkaran tangannya di leher Rendy.

"Ren?"

"Hm?"

Mereka sudah keluar dari gerbang rumah Gilang dan mengambil arah kanan. Rumah Rendy tepat dua rumah di sebelahnya.

"Kenapa lo baik sama gue?" tanya Kiki dengan pertanyaan yang ajaib sekali bisa keluar dari mulutnya.

Tak ada tanggapan dari Rendy, bahkan sampai mereka berdua naik mobil—dengan susah payah. Rendy memasangkan seatbelt sambil sesekali menatap kaki Kiki. Mobil akhirnya berjalan keluar gerbang dan melaju dengan kecepatan konstan.

Mereka masih diam membisu.

Untuk pertama kalinya Kiki merasa ingin sekali mendengar Rendy bicara.

tbc.

.

[note: hai hai~ kemarin di chapter sebelumnya aku bilang harus baca RUN TO HIM dulu sebelum baca ini 'kan? Silakan cek cerita aku ya, aku upload yg RTH juga, jadi untuk sementara cerita ini aku hold sampe RTH selesai, terima kasih semua :)]