Chereads / RUN TO YOU / Chapter 4 - Dia

Chapter 4 - Dia

Setelah mendekam seharian di rumah akhirnya Kiki kembali masuk sekolah. Sampai hari ini kakinya memang masih bengkak, tapi hari ini sudah lumayan sembuh meskipun membuatnya agak pincang.

Kiki tak berniat cari simpati, tapi sebagian orang menatap cara berjalan begitu dia turun dari motor. Kaki kanannya benar-benar tidak berfungsi dan Kiki mengandalkan kaki kiri untuk menyeimbangkan satu motor.

Sampai di kelas, keadaan makin riuh. Baru sampai koridor lantai dua, Kiki sudah dihadang sama cowok jangkung nan buluk bernama Rendy. Matanya tajam saat menatap Kiki, membuatnya risih.

Mereka berdua tidak bersuara, saling bertatapab seumpama pasangan yang tak pernah bertemu sekian lama. Seperti Ranggar dan Cintra yang tak bertemu selama empat belas tahun. Bahkan seolah-olah ada bunga sakura berguguran di sekitar mereka.

Kiki memasang tampang datar-Rendy juga.

Nyatanya ketika terus dalam posisi itu, Kiki merasa mulutnya gatal ingin bicara kasar.

Beberapa menit dalam keadaan awkward itu akhirnya Kiki memutuskan untuk berdeham sebentar. Siap untuk minggat.

"Hai, Ren," sapa Kiki sok girang. Wajar kalau sekarang Rendy mengerutkan dahi.

"Kenapa lo masuk?"

"Ha?"

"Kenapa lo hari ini masuk?" ulang Rendy, tampangnya datar banget meski nadanya agak tinggi. Kadang Kiki heran, waktu pembagian ekspresi ini anak cabut ke mana?

Well. Itu bukan urusannya juga, masalahnya sekarang ini Kiki sedang malas meladeninya gara-gara diabaikan waktu itu.

"Suka-suka gue lah." Kiki mendengus dan melanjutkan langkah ke kelas, tapi Rendy menahan tangannya. "Kenapa sih?"

Tanpa menjawab kebingungan Kiki, Rendy tiba-tiba jongkok dan menarik kaki kanannya. Kiki hampir saja jatuh kalau dia tak cepat-cepat memegang tembok di belakang. Dia melihat Rendy memijat pelan kakinya, juga digerak-gerakkan ke kanan ke kiri.

"Kenapa sih, Ren?" tanya Kiki dongkol.

"Lo udah sembuh?"

"Udah."

Kiki melirik badan Rendy yang perlahan berdiri setelah melepaskan kakinya. "Percaya sih, orang bego tuh nggak bisa sakit lama-lama, 'kan?" katanya.

"Kampret lo!"

Kiki langsung menendang tulang kering cowok itu memakai kaki kirinya sambil pegangan ke tembok. Usaha yang bagus.

Rendy senyum, tepatnya smirk. Perlakuan Kiki barusan seolah-olah tak menimbulkan rasa sakit sama sekali baginya.

Dasar masokis.

"Berarti gue bisa nebeng hari ini," katanya lagi. Setelah itu dia serta merta pergi masuk ke dalam kelas tanpa menunggu jawaban Kiki. Dari jauh Kiki mendengarnya bergumam, "Banci otaku."

Wut?

Apa ekspresi yang bisa Kiki pasang?

Siapa juga manusia yang tahan berhadapan dengan makhluk macam Rendy? Kiki tak habis pikir.

"Dasar setan jangkung."

Btw, Kiki sebenarnya lebih tinggi dari Rendy beberapa senti.

Saat akhirnya dia masuk kelas, tempat itu seperti terkena Badai Mogen. Hampir semua orang mengerubung layaknya lebah, suara mereka sahut-sahutan bikin Kiki penasaran apa yang membuat teman-temannya kurang piknik begitu. Sasaran Kiki langsung jatuh pada bangku paling depan. Dugaannya benar; Julian menjadi artis dadakan karena sekarang semua orang sedang interogasinya.

Julian sudah kelihatan pucat.

"Heh, minggir-minggir. Abang mau duduk," Kiki mengusir satu-satu kumpulan lebah itu. Mereka semua mengomelinya.

Setelah Kiki duduk tanpa membebankan kakinya, anak-anak balik mengerubung lagi, kali ini atensi penuh padanya. Mereka tetap bertanya ini dan itu dan Kiki menangkap apa yang mereka ributkan; yaitu perihal Gilang dan Julian. Kiki ngelirik Julian, dia diam saja seperti bingung mau menjawab apa. Sedikit banyak dia mengerti, lagipula ini masalah yang berat juga untuk cowok introvert itu.

"Apa lagi yang mau lo semua tanyain? Mumpung gue ada di sini," tawar Kiki. "Info aja, gue ada di TKP kemarin."

Anak-anak segera memasang muka haus gosip.

"Katanya lo yang nangkep Gilang ya, Riz?"

"Julian bilang kaki lo keseleo gara-gara itu!"

"Eh, Juleha, bukannya kemarin ada kakak kelas juga di sana?"

"Nama gue bukan Juleha!" potong Julian.

"Kakak kelas itu yang sering mampir ke sini, 'kan? Itu gebetannya Lina."

"Pala lo gebetan Lina."

"Lina sendiri yang bilang, kalau itu anak ke kelas buat nyamperin dia."

"Ah, lu dengerin Lina, udah tau omdo. Dia cowok maho kayak Saiprul aja mau."

Seketika yang namanya Saiprul ngamuk. "Eh, gue bukan homo."

"Bukan Saiprul lo, cumi, tapi Saiprul yang artis itu."

"Syukurlah, gue kira lo nuduh gue homo."

"Emangnya Gilang itu gila ya?" tanya salah satu teman mereka, cewek. Cantik-tapi kalau ngomong pedas kayak cabe.

"Bukan gila, Nia," jawab Kiki santai. Nia mendengus jijik.

"Kalau nggak gila Gilang nggak bakal nyerang Julian, Riz. Emang kadang gila sama edan itu beda tipis."

Kiki memutar bola mata. "Dan dia bukan edan juga."

"Trus apa?" Kali ini yang bertanya beda orang lagi, cowok melambai yang duduk suka melipat kakinya. "Psycho?"

Biasanya Rendy bakal marah kalau ada yang membahas aneh-aneh soal Gilang. Meski mereka musuh tapi Rendy emang tidak merasa kalau Gilang pantes dibuli. Akhirnya Kiki memastikan bagaimana reaksi Rendy, ternyata dia sibuk dengan ponselnya. Seakan-akan dia kembali pada identitasnya yang terkenal apatis itu.

"Lo kali psycho, kalau kata orang-orang: banci kayak lo itu kelainan jiwa. Apalagi homo."

Ketika Kiki selesai nengatakan itu, ada aura-aura panas di sebelahnya. Ternyata Julian meliriknya dengan jutek dan mematikan. Kiki tersenyum kering.

"Homo bukan kelainan jiwa!" balas si banci sewot.

"Lah kalau kodrat cowok udah diharuskan suka sama cewek kenapa dia suka sama cowok coba? Jelas-jelas melenceng dan itu berarti sakit jiwa, 'kan?"

Kiki langsung mendapatkan cubitan super panas di tangannya. Pelakunya si Julian. Biar aja dia kesindir, kali aja dia insyaf.

Lalu pembicaraan Kiki berlanjut dengan si bencong ini-btw namanya Ragil (Rada Gila kalau kata Kiki).

"Heh, emangnya lo yang diagnosis mereka kelainan jiwa atau nggak? Mereka itu waras, Riz, cuma agak melenceng dikit. Ibarat kata; perlu dilurusin."

Anak-anak yang bergerumul sudah pergi, tinggal Kiki sama Ragil. Kiki menatapnya skeptis. "Lo nyolot kayak gini, kayaknya lo tau banget dunia hitam itu."

"Dunia pelangi, keles."

"Suka-suka gue elah, yang punya mulut siapa?"

Ragil membuang muka. "Orang ganteng rata-rata homo, Riz."

"Anjay, gue nggak sudi. Gue 'kan ganteng."

"Najis, jelek lo," balas Ragil.

Entah kenapa dibilang jelek sama si banci Ragil, Kiki tidak tersinggung. Sebenarnya ada yang bertanya-tanya kenapa Ragil dibilang banci, karena cowok itu suara dan gayanya agak melambai. Padahal otot badannya sekal. Dia anak bikers katanya, suka menggoes ke sana kemari. Mendaki gunung, menuruni bukit, melewati lembah dan gunung kembar.

Yang terakhir ngarang.

If You Know What I Mean.

Karena Ragil sudah terdeteksi sebagai Maho Terselubung.

"Apa gue doang yang ngira kalau lo homo?" pancing Kiki.

"Gue normal."

"Imposibble, Gil. Tampang lo udah jelas banget lo tegang sama batang."

Ragil keliatan tidak terima. Sedangkan Julian mukanya sudah terlihat sangat buruk meskipun dia tak menjawab apa-apa.

"Nggak!" kilahnya. "Tapi iya juga kalau gue punya tampang kayak Juleha, baru gue ngelacur. Yang homo itu biasanya yang tampang-tampangnya kayak Juleha."

Skak.

Kiki melirik Julian yang sudah kembang kempis seperti ikan lohan kehabisan air.

"Jangan gitu, Julian itu polos. Kalau lo yang lacur siapa yang mau peduli sama lo? Nggak ada," balas Kiki sewot.

"Sok munafik lo. Yang biasa all in out sama cowok biasanya gengsinya gede."

"Idih, nggak ngaca ngomongin diri sendiri."

"Amit amit. Awas, Riz, lo melecehkan harga diri maho entar lo malah kena karma. Jadi maho seumur hidup."

"Nggak jelas, anjing."

Jangan merasa aneh kenapa Julian tidak mengamuk, karena sepertinya dia sudah kehabisan tenaga untuk meladeni mereka-mereka ini.

Mereka memang tidak mengerubunginya lagi, tapi mereka masih gaduh. Mereka malah gaduh sendiri-sendiri dengan topik yang melenceng. Otak Kiki terasa panas pagi-pagi. Apalagi Julian, dia makin pucat saja ditanyai terus-terusan makanya Kiki ambil tindakan.

"Lo mau tau detail kejadian kemarin? Kebetulan Rendy udah ngerekam di HP-nya. Tuh liat aja."

Anak-anak langsung berbalik menghampiri Rendy. Kiki dan Julian langsung keluar kelas, mengabaikan Rendy yang kali ini ada di kerumunan gosip.

Mampus.

"Emang Rendy ngerekam, Ki?" tanya Julian saat mereka berdua sampai di luar kelas.

"Nggak lah, bego."

Setelah itu mereka terdiam masing-masing sambil menikmati matahari pagi di balkon. Rambut melambai-lambai indah seperti jemuran yang hampir kering. Kalau sudah berada dalam suasana khidmat begini, pikiran Kiki mulai melayang-layang. Salah satu yang memberatkan itu Rendy.

Semenjak insiden gendong-gendongan alay itu, Kikk menjadi agak canggung dengan cowok itu. Walaupun Rendy terlihat bersikap biasa aja, Kikk tetap tidak bisa bersikap seolah-olah tak terjadi apa pun di antara keduanya.

Apakah ini yang dinamakan cinta?

Hell.

Tolong iris kuping Abang Kiki yang ganteng ini.

"Ki, kaki lo udah sembuh?" tanya Julian tiba-tiba.

"Belum sih. Tapi lumayan lah."

"Seharusnya lo jangan masuk dulu. Kalau dipaksa ntar nggak sembuh-sembuh."

"Masalahnya gue lagi nggak tahan di rumah, Jul. Nyokap gue, lo tau sendiri, ngomel mulu."

Julian tidak melirik sedikitpun. "Namanya juga orang tua, Ki. Emang gitu kodratnya."

Kiki diam saja. Kalau berlanjut bisa-bisa dia habis diceramahi oleh Julian. Sahabatnya itu terkadang tidak akan sadar kapan dia harus berhenti bicara sekalinya ceramah.

"Tumben, iblis nggak ngapel?" sindir gue.

"Siapa yang lo bilang iblis?"

"Siapa lagi, si kunyuk Hazel lah."

Kiki kira Julian akan mengamuk, tapi dia hanya menghela napas. Mungkin lelah karena menghadapi homophobic sepertinya. Meskipun sekarang sudah berkurang, rasanya perasaan tak suka itu masih ada.

"Bolos."

Kiki kaget. "Cowok macem apa itu? Bukannya bantuin lo di sini kalang kabut diinterogasi malah kabur."

"Ya udahlah, Ki!" balas Julian sewot. "Biarin aja, mungkin lukanya belum sembuh."

Seketika Kiki cemas. Hazel terluka gara-gara melindungi Julian dari Gilang waktu itu.

"Emang parah ya?"

"Nggak sih."

Mereja berdua berdiam diri lagi setelah topik terakhir itu. Sesekali Kiki menengok ke kelas dan melihat Rendy yang sudah menaruh kepalanya di atas meja, tidur nyenyak.

Ketika dia sedang sibuk mrmperhatikan Rendy yang tidur, tiba-tiba ada pengumuman dari toa sekolah yang menyebut nama Renaldy Mahardika untuk segera ke kantor karena ada keluarga yang datang.

Aneh, dada Kiki langsung berdegup kencang mendengar pengumuman itu. Semoga tidak ada apa-apa. Dia melihat Rendy terbangun dari bangkunya dan jalan loyo keluar kelas. Mukanya sangat kuyu, sepertinya cowok itu benar-benar mengantuk.

Jam berapa ini anak tidur?

Rendy melintas melewati Kiki dan Julian begitu saja. Bersamaan dengan bel masuk bunyi. Julian sudah siap masuk kelas, saat Kiki memanggilnya.

"Hn?"

"Gue ke toilet sebentar," kata Kiki. Alibi.

Julian mengangguk dan masuk ke dalam kelas.

Kiki segera turun ke bawah, lari menuruni tangga secepat kilat, Rendy masih jalan di koridor mading dengan gaya yang loyo. Mulutnya sesekali menguap.

Sampai di ruang guru, Kiki bersembunyi di beakang pilar yang cukhp besar di koridor. Rendy terlihat menghampiri seseorang yang berdiri manis di depan kantor guru. Di sana, berdiri seorang cowok dewasa dengan pakaian rapi; kemeja navy, celana jeans dengan warna sama dan topi hitam. Tingginya tak jauh beda dengan Rendy, malah lebih pendek, namun lebih sekal dan berisi. Tangannya mendarat di kepala Rendy sebelum akhirnya-

Ow, shit.

Kiki segera membalikkan badan tepat ketika cowok itu mengusap kepala Rendy.

Yeah, well, normal kalau cowok itu ada hubungan darah sama Rendy; kakak misalnya. Tetapi, itu perlakuan yang cukup aneh kalau pelakunya adalah kakak cowok ke adik cowok. Kecuali Rendy itu cewek.

Mereka incest?

Kiki mengerutkan dahi sembari membuang pikiran negatif di kepalanya. Mungkin dia terlalu banyak membaca komik.

Dia mencoba membalikkan badannya lagu untuk melihat. Penasaran ingin melihat reaksi Rendy diperlakukan seperti itu-tapi sesuai dugaannya, ternyata Rendy hanya diam saja.

Setelah itu, Kiki.melihat cowok itu berbicara sesuatu pada Rendy, tapi dia tak bisa mendengarnya jarena jaraj yang jauh. Rendy hanya mengangguk dan akhirnya menepis tangan cowok itu saat dia mau mengusap pipinya.

Melihat kejadian berulang itu, Kiki berkeringat dingin.

Dia itu siapa?

Kakaknya?

Setahu Kiki, Rendy hanya mempunya satu kakak, namanya Pataya, 'kan?

Tak lama kemudian, yang dimaksud oleh Kiki tiba-tiba muncul dari mobil yang terparkir di lapangan. Panjang umur. Kiki akhirnya sedikit tercerahkan sebab ternyata cowok itu datang bersama Pataya.

Mereka mengobrol sebentar sambil sesekali tertawa, berbeda dengan reaksinya Rendy. Seketika Kiki menatap curiga pada cowok itu. Tatapannya pada Rendy terlihat sangat berbeda dan janggal. Bukan layaknya pada adik atau pada teman.

Aneh. Ini aneh.

Dia? Siapa?

Saat sedang serius menatapnya dari jauh, Kiki kaget ketika Rendy tiba-tiba menoleh ke arahnya. Untungnya Kiki punya refleks cepat untuk bersembunyi. Serius! Hampi saja Kiki ketahuan.

Apa Rendy punya mata ketuga di belakang tubuhnya.

Gila!

Kiki tertawa kecut.

tbc.