Hali berhenti bicara dan memandang pada Syifa yang tersengih seperti orang gila di depannya. Jelas sikap Syfa membuatnya terganggu. "Syifa kenapa kau senyam-senyum tak jelas? Otakmu koslet ya?"
Seketika itu juga raut wajah Syifa berubah masam. Percuma saja memberikan perhatian untuk Hali, dia akan menghempaskan perasaan dalam sekejap.
"Tidak, aku cuma bahagia."
"Bahagia? Setahuku aku belum menaikan gaji atau memberikan gajimu."
"Bukan itu! Aku bahagia kau bisa move on dari masalahmu."
"Oh begitu ... Terima kasih sudah mengkhawatirkanku sekarang pergilah bekerja, aku memiliki banyak sekali pekerjaan di sini." Syifa mendengus kemudian pergi dari tempat itu.
❤❤❤❤
Jam istirahat tiba. Syifa dan Rey telah berada di kantin sambil menikmati makan siang berdua saja sampai seorang pria menghampiri mereka. "Kantinnya sesak ya," Syifa melihat pada orang itu sesaat sebelum akhirnya membuang pandangan ke tempat lain.
"Kenapa wajahmu masam begitu? Apa kau tak keberatan kalau aku duduk di sini?"
"Tidak, aku cuma kesal saja." Hali tak banyak bicara setelah itu. Dia makan barang beberapa sendok lalu memandang kepada Rey.
Anak kecil itu terus menatapnya entah kenapa. "Rey, kenapa melihat Paman seperti itu?"
"Ley cuma senang Paman Hali ada di sini. Sudah lama sekali Paman tak makan baleng Ley di tempat ini." pernyataan polos dari Rey menyentuh hati pria itu.
Sebab Marisa, dia sangat fokus pada mantan kekasihnya sehingga tak memperhatikan bahwa ada anak kecil yang selalu merindukan Hali.
"Paman juga senang karena bisa makan siang lagi bersama Rey di kantin. Mau jalan-jalan tidak?"
"Mau ... tapi baleng Bunda ya soalnya waktu Ayah ajak Ley jalan-jalan, Bunda tak ikut." Hali dan Syifa memandang, mereka memiliki pikiran yang sama.
"Boleh kok itu pun kalau Bunda Syifa mengizinkan."
"Apa maksudmu? Tentu saja aku akan ikut demi putraku." Rey langsung bersorak dan berceloteh tentang apa yang akan dia buat saat mereka jalan-jalan.
Sedang Hali dan Syifa saling memandang satu sama lain secara spontan. Mereka juga memutuskan interaksi secara bersamaan pula untuk fokus kepada Rey.
❤❤❤❤
Sepulang dari tempat kerja, Hali membawa Syifa dan Rey untuk jalan-jalan. Seperti sebuah keluarga, Rey mengambil tempat di tengah. Kedua tangannya digenggam oleh Syifa dan Hali.
"Bunda mau makan itu." pinta Rey sambil mengarahkan pandangan ke kedai kecil. Tampak banyak sekali orang yang mengantri.
"Biar Paman saja kalian berdua tunggu di sini ok?" Sebelum sempat Syifa menolak Hali sudah pergi dan cuma bisa ditatap oleh Syifa.
Dia membuang napas lalu pergi ke tempat yang bagus untuk duduk. "Bunda, Paman Hali baik ya,"
"Tentu saja dia itu orang baik."
"Bunda nggak suka sama Paman Hali?" Kerutan di dahi Syifa muncul ketika wanita itu memandang kepada Rey.
"Apa maksudmu Rey?"
"Paman Hali sudah tak diganggu lagi sama tante sekalang nggak apa-apa, kan kalau Ley halap Paman jadi Ayah Ley?" Tentu saja Syifa terkejut dengan ucapan anak angkatnya itu tapi dia mencoba untuk tak terbawa emosi.
"Rey, kan sudah punya Ayah masa mau tambah Ayah lagi?"
"Memangnya Bunda mau nikah sama Ayah Ley?"
"I ... itu ...."
"Maaf lambat ini makanannya Rey." suara Hali mengejutkan Syifa dari sikapnya yang termangu. Sekarang Rey memperhatikan Hali tapi sorot matanya masih syok.
"Syifa kau baik-baik saja? Kau terlihat kurang baik." kata Hali. Dia baru saja memperhatikan sekretarisnya setelah memberikan makanan yang diminta Rey.
"Tidak aku baik-baik saja." balas Syifa lirih. Ketika Syifa berpikir keras sebuah tangan tiba-tiba saja berada di depan Syifa. Ternyata pemilik tangan itu adalah Hali.
"Peganglah tanganku, aku akan menuntunmu." Langsung saja Syifa merasa kesal. Perlakuan Hali terhadapnya sama sekali tak terasa istimewa malah Syifa berpikir sebaliknya jika Hali menganggapnya tak berdaya.
"Aku baik-baik saja." Hali mendecak. Dia merutuk kesal dalam hati akan sifat keras kepala Syifa. Lantas Hali menarik salah satu tangan milik Syifa dan ditaruh ke telapak tangannya.
Begitu digenggam, besar dan hangat langsung dirasakan oleh Syifa. Seketika Syifa merona. Baru kali ini dia disentuh oleh lawan jenis begitu intens dan entah kenapa detak jantungnya menjadi tak normal tapi di sisi lain Syifa menyukai sensasi tersebut.
"Lihat, kan wajahmu merah. Kau pasti demam, ayo jalan yang pelan." Mendengar itu Syifa sekali lagi jengkel namun dia tak melepas genggaman Hali.
Kini, Hali berada di tengah, kedua tangannya yang dipegang oleh dua orang bersamanya. "Jangan cepat-cepat Rey, Bundamu sakit."
Rey mendengar ucapan Hali dengan memelankan jalannya. Sesekali anak kecil itu melihat pada Syifa, raut wajah cemas terlihat sekali. Syifa menangkap tatapan Rey dan mencoba tersenyum.
Mencoba mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. "Rey, lihat ada yang menjual mainan? Ayo kita lihat." Rey seketika menaruh perhatian dan menarik tangan Hali mendekat.
"Pilihlah apa yang kau mau? Paman akan membayarnya." Mata Rey mengkilat sebab senang, dia pun mencari mainan yang dia sukai sementara Hali dan Syifa cuma bisa memandang Rey memilih.
Genggaman di tangan tetap tak berubah. "Jangan memanjakannya nanti kebiasaan lagi."
"Hei, aku membelikannya dengan uangku jadi suka hatiku." Syifa mendengus. Masih dengan memperhatikan putranya memilih mainan, dia menerima telepon.
"Halo Axelle, ada apa?"
"Halo Syifa, aku akan ke Malaysia beberapa hari lagi setelah pekerjaan di sini selesai." Axelle bersuara di telepon.
"Wow, cepat sekali." sahut Syifa dengan nada malas.
"Ya, aku sangat rindu pada anakku dan juga aku mau membahas sesuatu."
"Tentang apa?"
"Tentang Rey. Orang tuaku ... nenek dan kakeknya Rey ingin Rey menginap di sini, di Indonesia." Mata Syifa membulat sempurna. Saat itu juga Syifa sadar harus membuat pilihan tersulit dalam hidupnya.
❤❤❤❤
See you in the next part!! Bye!!