Hali berusaha bangun dan berjalan menuju pintu apartemen setelah dia meminum obat pengar yang diberikan Adwan. Meski agak linglung, Hali sampai kemudian membuka pintu.
Tampaklah Rey yang sudah segar tidak seperti Hali yang masih memakai baju kemarin. "Paman, salapan di lumah Bunda sudah masak."
"Iya." balas Hali pendek. Senyuman Rey menghilang begitu melihat mata merah milik Hali. Dia pun teringat dengan kejadian yang sama tempo lalu.
Buru-buru Rey menutup sepasang matanya membuat Hali bingung. "Rey kok menutup mata?"
"Takut."
"Takut? Takut apa?"
"Takut ketulalan sakit mata. Mata Paman Hali melah." awalnya Hali agak kurang mengerti, tetapi saat Hali melihat sepasang matanya dengan kamera ponsel pria itu mengingat dirinya pernah menakuti Rey dengan sepasang matanya yang merah karena galau.
Lucunya Hali kembali menangis sebab Marisa. Dia tampak membuat senyuman hambar, menertawakan kisah percintaannya yang sekarang benar-benar berakhir dan tak bisa kembali.
"Ley pulang dulu ya Paman," ucapan Rey menyadarkan Hali dari lamunan.
"Loh kenapa nggak masuk dulu?"
"Tidak ah, takut sama mata Paman Hali. Ley tunggu ya di lumah." setelah itu Rey bergerak pelan menuju apartemen. Rey masih menutup matanya sehingga jalannya agak lucu.
Hali tertawa dengan tingkah Rey. Entah kenapa sikap Rey membuat hatinya menjadi tenang. Dia lantas masuk ke rumahnya dan berpakaian santai lalu datang di rumah milik Syifa.
Tanpa membunyikan bel Hali masuk. Syifa dan Rey sama-sama melihat pada Hali, tidak ada perkataan yang menimbulkan kekesalan cuma senyuman ramah. "Hali, ayo kita sarapan."
"Baik." Hali kemudian mendekat dan duduk di samping Rey yang masih tak mau melihatnya. Jemari kecilnya lalu terulur ke arah Hali untuk memberikan kacamata hitam pada pria itu.
"Apa ini?"
"Tutup mata melah Paman." Hali agak kaget sebentar kemudian tertawa kecil dan mengambilnya dari tangan Rey.
"Terima kasih ya Rey." Setelahnya Hali memakai dan Rey kembali menatapnya dengan senyuman polos yang manis.
"Menurutmu bagaimana penampilan Paman?"
"Ganteng." balas Rey cepat makin menciptakan suasana hati Hali makin baik. Di waktu itu, Hali sadar dirinya tak perlu menangisi masa lalu dan mulai fokus dengan apa yang terjadi di masa depan karena Hali masih memiliki beberapa orang yang dia cintai.
Hali dan Rey bermain seperti biasa. Tak ada lagi beban Hali membuat Syifa yang membawa makanan tampak tersenyum melihat interaksi antara kedua lelaki berbeda umur tersebut.
Terutama Hali. Syifa lega dirinya tak sama seperti yang semalam. Setelah makanan sudah siap ketiga orang itu sarapan bersama-sama namun secara mendadak Syifa mendapat telepon yang membuatnya harus menepi dulu.
Nomor yang tak dikenal tampil di layar ponsel tapi Syifa dengan cepat menerima ponsel tersebut. "Halo,"
"Halo Syifa, kau ada di rumah?" suara dari balik telepon adalah Axelle. Dari nada bicaranya terdengar jelas dia terlihat panik.
"Iya ada apa?"
"Tiara bersamamu, kan?"
"Tidak, dia tak sedang bersamaku? Memangnya kenapa?"
"Pagi ini aku tidak menemukan dia di rumahku. Aku khawatir terjadi sesuatu yang-"
"Mungkin dia ada di bandara sekarang. Mau pulang ke Indonesia." potong Syifa sekarang.
"Pulang ke Indonesia? Kenapa kau tahu kalau dia ada di sana sekarang?"
"Karena aku memberikannya uang untuk ongkos membeli tiket."
"Syifa, bagaimana kau tega sekali padaku?!" suara Axelle sangatlah melengking sampai-sampai dia menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Kenapa kau memberikannya ongkos untuk membeli tiket?! Asal kau tahu saja aku yang membawanya ke sini jadi aku akan pulang bersamanya!"
"Memangnya kenapa? Wajar aku membantu Tiara dia itu saudaraku, dari awal ya kau jelas yang salah. Bagaimana bisa kau membawa Tiara secara tiba-tiba ke sini?"
"Ah sudahlah. Aku mau ke bandara dulu dan jika aku tak menemukannya kau yang akan aku salahkan." telepon terputus dan Syifa mengembuskan napas.
"Dasar orang egois." Syifa kembali pada Hali dan Rey yang masih sibuk bermain berdua.
"Telepon dari siapa? Kelihatannya pembicaraanya serius sekali?"
"Dari Ayah Rey." Hali kontan berhenti, mengerjapkan mata sebentar sambil menatap Syifa tak percaya.
"Kau pasti bercanda,"
"Tidak Hali, aku serius. Ayah Rey yang meneleponku." untuk sesaat Hali terdiam karena berpikir.
"Lalu dia bicara apa?"
"Dia sangat marah padaku karena memberikan uang pada saudaraku sendiri."
"Kenapa?"
"Kelihatannya dia suka pada saudaraku. Dia bahkan membawanya sampai ke sini sebab tak mau saudaraku itu pergi dari sisinya."
"Bunda, dali tadi Ayah?" tanya Rey yang langsung menyita perhatian mereka berdua.
"Iya sayang,"
"Apa Ayah mau datang lagi ke sini? Ley mau ketemu Ayah, kangen."
"Tidak dia sedang-" suara Syifa terganjal dengan suara bel yang secara mendadak berbunyi. Syifa langsung membuka pintu dan tampaklah Axelle dengan wajah kesal.
"Aku mau ketemu dengan Rey." kata Axelle kala dia merasa aneh dengan pandangan Syifa. Axelle pun masuk tanpa menunggu persetujuan dari sang pemilik rumah.
Hali cukup terkejut sebab kedatangan Axelle yang cukup mendadak dan entah kenapa Hali tak menyukai kedatangan pria itu. "Tuan Axelle."
"Hai Tuan Hali, kacamata yang bagus. Bagaimana kabarmu?"
"Aku Baik. Kalau Tuan Axelle?"
"Aku sangat baik. Sepertinya kau sarapan di rumah Syifa?"
"Ya seperti itulah. Kalau boleh tahu untuk apa anda datang ke sini?" tanya Hali menyelidik.
"Untuk bertemu dengan seseorang." balaS Axelle datar.
"Ayah." Rey sontak mendekat pada Axelle yang langsung menggendong bocah itu tentunya dengan senyuman.
"Jagoan Ayah rajin sekali bangun paginya, kau tak marah Ayah tidak ada di sini?"
"Tidak." Hali terkejut dengan interaksi antara Ayah dan anak tersebut. Sebagai reaksi dia cuma melongo karena otaknya buntu sekarang.
"Oh ya Ayah, kenalin itu Paman Hali. Olangnya baik banget, Ley suka diajak jalan-jalan dan main sama Paman Hali." Rey lalu beralih pada Hali.
"Paman, ini Ayah Ley, Ayah kandung Ley."
❤❤❤❤
See you in the next part!! Bye!!