"Garin..."
"Aku mau masak dulu Mas." Pamitku begitu keluar dan mendapatinya sudah duduk diatas ranjang.
"Garin tunggu!" Dia berusaha menahanku.
Dia menggenggam tanganku erat. Menahan pintu agar aku tidak keluar. Apa mungkin dia ingin menjelaskan sesuatu.
"Kamu marah?" Tanyanya yang semakin membuatku emosi.
Aku masih diam berusaha tidak menatapnya.
"Kamu nangis?"
Pertanyaan macam apa ini? Apa dia tidak pernah mengerti perasaanku? Aku tidak menjawab.
"Garin!"
Aku berusaha melepas tanganku.
"Lepasin Mas." Pintaku.
"Ga." Jawabnya singkat.
Aku menghembuskan napas. Meraih tangannya secara perlahan.
"Cup!" Kukecup pipinya.
Berhasil. Dia perlahan melepaskan tanganku. Aku keluar kamar dan meninggalkannya yang masih terpaku.
Aku sendiri juga masih tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lakukan. Rasanya tubuhku bergetar hebat.
'Kau bodoh sekali Garin.' Aku memukuli kepalaku sendiri.
Ternyata hari sudah gelap. Jadi aku berendam terlalu lama. Tapi setidaknya hatiku sedikit tenang.
"Mbak Garin, maaf kami lancang. Tapi tadi kami masak duluan. Jadi semua sudah siap." Ucap salah satu mbak yang menghadapku.
"Iya mbak. Ga apa apa. Maaf tadi ga jawab pertanyaan mbak. Sekarang mbak balik kerja aja." Jawabku.
'Sekarang bagaimana? Gimana caranya aku manggil Mas Banyu buat makan?' Bodohya aku saat ini.
"ring ring ring" Suara Telepon rumah.
"Halo."
"Halo, Garin!"
"Mama? Mama ga pulang ya malam ini?"
"Ga sayang. Mama diajakin Papa jalan jalan. Kamu ga usah khawatirin Mama. Mama udah bawa obat. Makan juga enak. Papa bilang mau liburan. Papa udah siapin asisten untuk Mama di sini."
"Iya Ma. Mama baik baik. Jangan lupa oleh oleh buat Garin. Hehehe"
"Gampang. Tadi katanya di sini jual makanan yang bisa bantu biar cepat hamil."
"Emmm emmm iya Ma." Kenapa harus membahas soal hamil.
"Banyu Mana? Tadi Mama telepon HP kamu, tapi ga bisa."
"Mas Banyu istirahat di kamar." Aku bingung harus jawab apa.
"Masih sakit?"
"Engga Ma. Kecapean Ma." Alasanku.
Kenapa Mama baik banget? Kenapa anaknya malah begitu terhadapku? Kenapa mereka sangat berbeda. Kalau Mama tahu anaknya menyakitiku, bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Aku sakit. Aku butuh teman curhat. Aku butuh seseorang yang bisa menengahi kami.
"Ya udah Rin. Mama lanjutin dulu. Kamu sama Banyu baik baik ya. Papa udah nunggu."
"Salam buat Papa, Ma!"
Berat sekali menutup telepon dari Mama. Kangen Mama. Tak terasa air mataku jatuh lagi.
Aku mendengar suara langkah. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku. Aku tahu itu pasti langkah Mas Banyu. Aku segera menuju ruang makan.
Aku siapkan makanan untuknya. Aku memilih duduk di sebrangnya. Hanya diam dan tidak bersuara. Menyesali apa yang telah aku perbuat. Manciumnya.
Aku tidak tahu apakah dia menatapku atau tidak. Aku juga berusaha menghindari kontak mata dengannya.
Makan malan kali ini tidak ada percakapan sama sekali. Dinding es yang perlahan leleh, kini membeku kembali. Dinding dinding es yang sekali lagi terbangun apa akan mudah aku lelehkan lagi.
Beberapa hari ini dinding itu leleh karena dia sakit. Aku tidak ingin melihatnya sakit lagi. Aku tidak tega melihatnya sakit.
Selesai makan aku masih menghindarinya. Aku menjatuhkan pantatku di sofa ruang TV. Menghabiskan waktu di ruang TV.
Sempat terbesit dalam pikiranku untuk tidak tidur di kamar kami. Aku hampir saja meminta tolong mbak asisten rumah tangga untuk membersihkan kamar tamu.
Apa dayaku sekarang. Hanya bisa berdiam diri sambil menonton TV. Tidak berani ke kamar yang selama ini aku tempati.
Aku jadi merindukan ibuku. Aku sekarang tahu bagaimana perasaannya saat ayah menghianatinya. Aku paham sakit yang dia rasakan. Apa kabar ibu sekarang? Aku tidak mungkin menghubunginya saat emosi seperti ini.
Tapi ibu sudah merelakan Ayah. Ibu juga tidak pernah melarang aku bertemu Ayah. Ibu tidak pernah mengajariku membenci Ayah.
***
Surya mulai menyingsing. Sinarnya sudah mulai masuk dari celah celah tirai yang ternyata tidak tertutup rapat.
Aku lihat suamiku masih terlelap dalam tidurnya. Dia kembali tidur di sofanya. Badannya juga sudah semakin sehat.
Pakain yang di pakai juga seadanya. Sepertinya dia asal saja mengambilnya. Kemarin aku memang tidak menyiapkan pakaiannya. Aku tidak mengurusnya dengan benar.
Aku segera masuk ke kamar mandi. Hari ini aku kesiangan. Jadi aku tidak akan masak. Aku segera beranjak dari tempat tidur. Masuk ke dalam kamar mandi.
Besok sudah week end. Aku harus bersemangat untuk kerja hari ini. Besok aku akan pergi "me time" saja. Biasanya Mas Banyu juga sibuk. Jadi tidak perlu beralasan untuk menghindarinya.
Aku mulai merendamkan tubuhku di dalam bath tub. Berusaha mencari ketenangan untuk hatiku. Berharap semua akan kembali membaik.
Aku mengatur napasku. Merasakan aroma yang menyejukkan dari setiap wangi uapan sabun yang keluar.
Dalam bayanganku kemarin, aku dan Mas Banyu akan mulai malam bersama. Ngobrol hangat di temani secangkir kopi yang di buat olehnya.
Aku akan menyiapkan cemilan yang akan aku buat dengan jemariku sendiri. Menikmati rembulan yang memutari bumi. Menikmati dingin yang mulai menyelimuti bumi ini.
Mulai mengenal satu sama lain. Mencoba lembaran baru untuk membangun rumah tangga yang kokoh.
Hanya harapan. Hanya hayalan. Hanya angan angan. Hanya mimpi.
***
Aku sudah bersiap berangkat. Sengaja aku berangkat lebih awal. Aku juga menggunakan ojol agar lebih siap sampai di tempat kerja. Hari ini aku harus mengawasi daging yang di kirim seno.
Sebelum berangkat aku sudah menyiapkan semua kebutuhan Mas Banyu. Aku memang kecewa tapi aku tidak tega melihatnya memakai baju yang asal asalan.
Ojek online pesananku tiba tepat saat Mas Banyu teelihat keluar dari pintu utama. Untunglah abang abang ojek ini tepat waktu.
Aku segera menuju dapur catering begitu tahu sudah ada mobil box milik seno yang terparkir tepat di depan pintu dapur.
Suara Seno yang mengarahkan anak buahnya juga terdengar jelas. Aku mulai mencari sumber suara yang ada. Untungnya Nadia berada di sana.
"Mbak Garin. Daging sudah siap. Sudah ada yang masuk pendingin dan ada yang siap masak." Lapor Nadia.
"Iya Nad. Bagus kalau gitu."
"Mbak Garin kenapa? Matanya bengkak banget? Abis nangis?" Tanya Nadia yang mulai curiga.
"Ga apa apa Nad. Kemarin nonton film sampe kebawa suasana." Alasanku pada Nadia.
Mereka kembali melanjutkan pekerjaan. Aku juga kembali melanjutkan pekerjaanku lagi. Setiap menjelang siang hari, aku harus mengurus pengiriman.
Sampai tak terasa hari sudah semakin sore.
"Ini makanan untukmu." Seorang pria menyodorkan sebungkus nasi padang.
"Thanks." Ucapku.
Pria itu tak bukan adalah Seno. Jangan berharap Mas Banyu yang datang membawa makanan. Jangan, jangan terlalu berharap.
"Kamu bisa bohongi asisten kamu. Tapi tidak dengan aku. Kalau kamu mau cerita, ceritakan saja. Aku siap dengerin. Mau nangis juga boleh. Tapi kamu makan dulu." Bujuknya.
Dari semalam aku memang tidak nafsu makan. Tapi kata kata Seno membuatku sadar bahwa masih ada orang yang peduli dengan aku.
"Ehem." Suara batuk Mas Banyu?