Kedua pemuda mengendap endap dengan mata berjaga. Mereka membuka ruang instalasi kelistrikan di belakang gedung, sebuah kamar dengan pintu baja. Keduanya cukup kesulitan sampai akhirnya pintu itu bisa terbuka. Dan ada banyak benda asing di dalam sana.
"Apa yang akan kita lakukan?"
"Sssrtt.. kecilkan suaramu, ini adalah hal paling bagus untuk pertunjukan kita!" Keduanya terdengar berunding dengan wajah siaga.
"Kau tahu, anak seni akan menggelar pagelaran, dan mereka menghabiskan waktu di ruang praktek. Tugas tak akan selesai jika listrik mati!"
"Kau gila ya! Bagaimana mungkin kita menyabotase listrik!" Temannya menepis tangan yang satu lagi, jelas mereka punya ekspresi wajah kontras.
"Kau ingin lihat mantanmu menceritakan!" Dia mengangguk pasrah dengan kalimat rekannya.
"Ya, tapi--" bukan hanya ragu dengan perbuatan mereka, dia juga ragu dengan banyak tuas di depan sana. "Yang mana yang akan kita turunkan?" Keduanya saling menatap sesaat.
"Jangan tanya aku, aku anak tehnik komputer, bukan kelistrikan!" Kesal rekannya.
"Kitakan satu jurusan!" Kesal temannya mentoyor kepala kasar.
"Hahaha, kalau begitu turunkan saja semua!" Saran si rekan brengsek yang memberikan ide seperti ini.
"Kau tahu, setelah ini masalah kita yang bertambah!"
"Jangan sampai ada yang tahu maka tak akan ada masalah.." tanpa ba bi bu, si rekan menarik tuas terbesar. Membuat semua penerangan seketika berhenti.
-------
Kembali ke dalam mini market.
"Mmh, Lia bisa kau angkat kepalamu?" Tanya max menahan rona merah di wajahnya. Lia menggeleng. Dia terlihat kuat dan pemberani ternyata takut dengan gelap.
"Kau tahu, aku terkurung lama di kamar mandi, dan sekarang begini lagi! Aku takut!!" Jadi dia mengalami trauma? Max mencoba mengangkat sebelah tangannya, dia dengan ragu menyentuh kepala Lia. Debar jantungnya yang membuat nafasnya naik turun. Max memaksakan diri mengelus rambut Lia. Mungkin bisa sedikit menenangkan nya.
"Te, tenanglah. A, aku disini!" Max terbata. Sungguh dia tak biasa menghadapi wanita. Apalagi ini Lia. Dia belum lupa bagaimana mereka berciuman di bar waktu itu. Lia menggeleng lagi. Dan itu berbahaya untuk max. Gadis itu menyimpan kepalanya di antara pangkal paha max. Bagaimana dia bisa berkutik.
"Lia, ada aku disini. Jadi jangan panik" dia mengatakan jangan panik dengan raut wajah yang amat panik. Bukan karena gelap. Tapi karena mereka berdua di ruang gelap dan apa yang Lia lakukan sih! Max ingin protes dengan menjerit, tapi itu tidak mungkin.
Lia merasakan sesuatu yang hidup menyentuh dahinya. Dia seakan tersadar. Gadis itu mengangkat kepala dan membesarkan pupil.
"Ma, maaf.." ujar nya canggung dan segera menutup mata. Max mengangguk saja padahal Lia tak bisa melihat anggukannya. Keduanya terlihat canggung. Tidak bisa seperti ini terus.
Max berjongkok, di depan Lia, dia berusaha menatap wajah Lia.
"Kau tak perlu takut, ada aku disini" ulang max sekali lagi. Dia ingin Lia membuka matanya, gadis itu jelas kelihatan panik. Dia menggeleng.
"Tidak apa.." max mengangkat tangan dan mengelus dahi Lia. Perlahan dan lembut. Hingga gadis itu memberanikan diri membuka kelopak matanya perlahan, dia mendapati wajah max di bawah dagunya. Gadis itu menelan ludah, dia merasa tenggorokannya kering, apa karena secup mie instan? Apa dia belum minum? Entahlah, yang pasti di antara gelap ada sorot mata max yang terang.
Gadis itu mengulas senyum "terima kasih kau ada disini, terima kasih untuk semuanya.." lirih Lia dengan wajah memelas. Max tersenyum.
"Apa kau sudah sedikit tenang?"
"Entahlah!"
"Ada yang bisa aku bantu?" Max bangkit dari posisinya, dia memegang pinggiran kursi dimana Lia duduk, hingga wajah mereka bisa sama tinggi. Hingga sorot keduanya saling bertemu. Tidak tahu ini apa. Tak pernah berpikir sebelumnya. Selain debaran dan sorot terang yang bersinar di bola mata. Max ragu untuk membuka mulut. Lia ragu membalas tatapan max, meski berkali kali menghindar pada akhirnya sorot mata itu saja yang menarik perhatian Lia.
"Apa kau sudah tenang?" Max hanya ingin memastikan. Sedekat ini, meski dia berusaha menenangkan pikirannya sendiri, tetap saja pikiran itu kotor, di dalam ruangan gelap dengan gadis yang, yang max sendiri tak mengerti, rasanya Lia begitu lain.
Lia membalas tatapan tajam max, dia tak bisa memikirkan apapun. Rasanya kepalanya kosong begitu saja.
"Apa kau akan menciumku?"
Pertanyaan itu tiba tiba saja meluncur. Membuat debaran keduanya begitu kuat. Kenapa Lia mengatakan itu? Apa karena wajah tampan max. Kebaikan hatinya. Atau karena sorot sendu yang menatap lekat wajahnya saat ini. Max tak menjawab, dia seakan ingin mengatakan sesuatu tapi pada akhirnya hanya bibirnya terbuka tanpa suara. Bohong jika dia tak menginginkan itu.
"Apa boleh? Kau sedang tak mabuk. Kau sadar saat ini" ujar max. Lia menurunkan sorot mata, dari wajah tampan itu kini dia bisa melihat dua otot tangan yang mengembang di sisi kiri kanan tubuhnya seakan memenjara dirinya.
"Mungkin aku akan sedikit lebih tenang.." tak perlu menyelesaikan kalimatnya, max menyambar bibir Lia, menghisap cepat dengan penuh gairah. Dia memang menginginkan nya. Dia bahkan memimpikan Lia beberapa malam. Membuat gairahnya terus naik.
Ciuman yang memainkan adrenalin di saat suasana gelap seperti ini. Lia mengangkat kedua tangannya, merangkul leher max, gadis itu bangun dari posisi duduknya. Dia juga sadar akan pesona max, siapa yang tak menginginkan dan merasakan pria itu. Bahkan gadis gadis merencanakan banyak hal untuk mendapatkan max, tapi si miskin malah bisa menikmati dengan tanpa sengaja.
Max sedikit terdesak menahan tubuh Lia yang tiba tiba memepet dirinya, punggungnya mentok rak, dan beberapa barang terdengar jatuh. Siapa peduli. Yang mereka tahu, tak ingin menjeda ciuman panas ini. Menikmati rongga mulut dan menggigit bibir kenyal masing masing. Lia yang menggunakan celana jeans ketat dan dorongan tubuhnya membuat spontan telapak max menahan diri, dia menenggerkan kedua telapaknya pada bokong berisi milik Lia. Awalnya dia tak sengaja, hanya agar mereka tak terjatuh bersama, tapi kali ini pria itu ingin mencoba merasakan ayunan jantung yang lebih dahsyat lagi. Lia menyentuh rahang tegas Max, memutar posisi miring kepala merek, masih terus bertukar Saliva dan saling menikmati rasa dari rongga mulut keduanya. Sedikit menghisap, menggigit dan kecupan kecil, borong saja.
Max mulai memainkan tangannya, menelusup diantara kemeja Lia. Menikmati lekukan ulang punggung seksi gadis yang begitu bergairah dalam dekapannya. Sementara yang satu lagi juga tak mau menyia nyiakan kesempatan. Max mencubit gemas bokong berisi Lia. Beberapa kali. Hingga rasanya dia sulit berhenti.
Ternyata seperti ini rasanya, seperti candu yang nikmat.
Max menarik kepalanya perlahan, meski Lia ingin menyambar lagi tapi max mencoba menahan dengan tersenyum kecil. Gadis ini begitu semangat dan bergairah, membuat max sangat senang dan ingin menikmati lebih.
"Apakah boleh?" Tanya max ambigu. Lia tak mengerti dengan pertanyaan itu.
"Aku hanya ingin kau menemaniku, karena aku tak mau sendiri lagi, mungkin sampai esok pagi"
"Kapanpun!" Balas max. Lia menyambar bibir max.
"Mau tahu sesuatu?" Tanya max, Lia mengerutkan dahi dan menghentikan ciuman. "Apa kau minum alkohol?" Lia menggeleng. Max merasa dia menikmati rasa lain di rongga mulut Lia. Gadis ini tidak sedang mabukkan? Tapi siapa peduli. Lia bahkan sudah membuang jaket max, dan sekarang sibuk membuka kancing kemejanya. Max tak bisa melihat dua benda kenyal itu, tapi pantulan di dadanya jelas terasa empuk dan hangat. Shit! Rasa yang akan membuat kau gila dalam sesaat. Max menjatuhkan kepala menikmati aset Lia.