Chereads / Cinta Kontrak Kerjasama (LoCC) / Chapter 56 - Titik Cerah

Chapter 56 - Titik Cerah

Written by : Siska Friestiani

LoCC : 2014

Re-publish Web Novel : 7 November 2020

*Siskahaling*

Sivia melangkahkan kakinya menuju tempat Alyssa berada. Di lihatnya kini Alyssa tengah duduk dengan menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan di meja kerja. Bahu Alyssa bergetar, itu yang saat ini bisa Sivia lihat.

Sivia menutup pintu ruang kerja itu kembali sebelum akhirnya melangkah mendekati Alyssa. Di letakkannya nampan berisi sup dan susu tersebut di meja yang menjadi tempat Alyssa menyembunyikan wajahnya.

"Aku tidak akan melarang mu menangis sepanjang hari pun, Al. tapi setidaknya kau harus mengisi perutmu" Sivia menyandarkan tubuhnya di meja tepat di samping Alyssa. Tangannya ia lipat di depan dada dengan menatap Alyssa yang kini masih tak bergeming di posisinya.

Sivia menghembuskan nafas beratnya. "Kau harus makan, Al. Kau harus ingat calon keponakan ku yang ada di dalam perutmu"

Masih sama, Alyssa tak juga bergerak dari posisinya.

"Alyssa!!" pekik Sivia yang sudah geram dengan sikap Alyssa yang masih menunduk tak menggubris kehadirannya.

Alyssa mengangkat kepalanya, menoleh kearah Sivia yang berada tepat di sampingnya. Dengan tubuh bergetar lemas, Alyssa berdiri lalu menghambur menuju Sivia.

Sivia sendiri sudah menduga keadaan Alyssa akan mengenaskan seperti saat ini. Mata wanita itu bengkak dengan air mata yang masih mengalir di pipinya. Wajah Alyssa pun sedikit pucat. Tubuh mungil sahabatnya itu hanya terbungkus dengan kemeja hitam kebesaran milik Mario yang hanya menutupi setengah paha. Ya tuhan, apa yang terjadi dengan sahabatnya ini sebenarnya.

"Mario marah" ucap Alyssa lemah. Dan detik itu juga tanpa segan Alyssa menyandarkan kepalanya di bahu Sivia. Menangis terisak di bahu Sivia dengan segera Sivia mengusap punggung Alyssa menenangkan.

"Aku tidak akan memaksamu untuk menceritakan alasan kenapa kau bisa berakhir dengan keadaan mengenaskan seperti ini. Tapi setidaknya kehadiranku ke sini tidak sia-sia" suara Sivia melembut. Tidak tega melihat kondisi Alyssa saat ini. Ini kali pertamanya Alyssa kembali menunjukkan tangisnya kembali setelah peristiwa menyakitkan beberapa tahun silam.

Hening, Alyssa masih menangis di bahu Sivia sedangkan Sivia sendiri juga masih membiarkan Alyssa untuk menghentikan tangisnya.

Sivia menghembuskan kembali napas beratnya. Jujur ia ikut merasakan kesedihan Alyssa. Dan sebenarnya apa yang terjadi dengan sahabatnya ini. Alyssa yang ia kenal tidak serapuh ini.

"Aku disini Al, kau bisa menjadikan ku tong sampah mu jika kau ingin. Alyssa yang aku lihat saat ini bukan Alyssa yang aku kenal" ucap Sivia masih dengan mengusap lembut punggung Alyssa yang semakin terisak di bahunya.

"Mario ma- marah. Jonathan, Jonathan..." ucap Alyssa tergugu dalam tangisnya. Membayangkan kembali Mario yang mengacuhkannya. Mario yang menghindarinya, Mario yang tak membutuhkannya lagi untuk memakaikan dasi. Entahlah, dia begitu lemah sekarang. Semenjak Mario berhasil mencairkan hatinya yang telah lama membeku.

"Tenang, Al aku yakin, Mario tidak benar-benar marah pada mu. Ia hanya emosi sesaat saja. Setelah itu ia kan kembali menjadi Mario yang seperti biasanya. Kau tahu bukan jika, Mario sangat mencintaimu?"

"Tap- tapi—"

"Ssttt, sudah, Al kau harus tenang. Ingat kau tidak boleh banyak pikiran. Akan berdampak pada kandunganmu. Ada keponakan ku yang harus kau jaga" potong Sivia cepat. Tidak ingin membuat Alyssa semakin terpuruk dan memperburuk kondisinya.

"Margareth sudah membuatkan sup untuk mu. Lebih baik kau makan sekarang. Kau melewatkan sarapanmu bukan?" Alyssa diam, tak menjawab pertanyaan retoris Sivia yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban tersebut.

"Al, kau harus makan"

"Aku tidak lapar" tiga kata yang langsung membuat Sivia entah kenapa tidak bisa menyanggah jawaban Alyssa tersebut.

*siskahaling*

"Sudah mendingan?" Oliver menatap Mario yang kini tengah meneguk wine ke tiga dari gelas kecil di tangannya.

Sebenarnya bukan tanpa alasan Oliver membiarkan Mario mendatangi Bar milik sahabatnya -Kevin- tersebut. Ketika ia telah selesai mengurus segala keperluan untuk rapat lanjutan pembangunan hotel di singapura, Oliver memutuskan menemui Mario. Namun ketika Oliver tiba di ruangannya, ia mendapati Mario yang tengah duduk bersandar di dinding kamar mandi yang memang tersedia di ruangan megah tersebut.

Mario terlihat pucat dengan wajah yang sudah basah oleh keringat. Bahkan napas Mario terengah begitu terburu menghirup oksigen untuk mengisi paru-parunya.

Pria itu baru saja muntah hebat. Oliver tahu apa yang tengah terjadi dengan Mario saat itu. Cauvade Syndrome Mario ternyata belum hilang.

Saat itu Mario bahkan nyaris tak sadarkan diri jika saja Oliver tidak datang tepat waktu.

Disinilah akhirnya ia dan Mario berada. Di Bar milik Kevin hanya untuk membuat Mario menghilangkan rasa mualnya.

"Aku mau lagi" Mario menyodorkan gelas kosong di hadapan Oliver, meminta Oliver agar kembali mengisi gelas kosong itu dengan wine.

"Tidak! Kau sudah menghabiskan tiga gelas. Aku tidak akan membiarkanmu mabuk. Ingat kita kesini hanya untuk membuang rasa mual yang menyiksamu itu" Oliver memperingatkan Mario dengan tegas. Tidak perduli jika yang tengah ia hadapi ini adalah boss besar yang bisa saja melakukan apa pun untuk mendapatkan keinginannya. Apa lagi jika Cuma segelas wine.

"Kau lebih baik pulang. Menyelesaikan kesalahpahaman mu dengan Alyssa" Oliver kembali memberi saran yang nyatanya tidak di gubris oleh Mario. Dan sebenarnya Mario sendiri juga merasa ia harus segera menyelesaikan masalahnya dengan Alyssa. Namun apa ia siap jika ia harus mendapakan kemarahan Alyssa? Ohh tidak, ia tidak sanggup bahkan sekedar membayangkannya pun ia tidak mau.

"Aku harus segara pergi, karena rapat—"

"Sebentar" ucap Oliver meraih benda kecil yang bergetar di saku celananya.

"Ada apa, Ag? Benarkah? Mereka semua sudah di ruang rapat? Baiklah, aku akan segera kesana." Oliver memutuskan sambungan teleponnya begitu mendapat salam penutup dari Agni di sebrang sana.

"Aku harus segera pergi. Para penanam saham sudah berkumpul di ruang rapat" Oliver berdiri sembari meraih jas yang ia sampirkan dikursi yang ia duduki.

"Ingat, aku tidak ingin mendapat kabar dari Kevin jika kau mabuk. Aku tidak mau repot-repot untuk mengantarmu pulang" ucap Oliver tegas bak seorang ayah yang menasehati anaknya agar tidak pulang larut malam.

Mario mengusap wajahnya kasar. Rasa mualnya memang sudah hilang karena beberapa gelas wine yang ia minum tadi. Namun semua masalahnya bahkan tak mau hilang jika hanya tiga gelas wine saja bukan?

"Boleh gabung?" suara lembut tersebut menyapa indra pendengaran Mario. Pria itu mendongak menemukan Jessi yang kini sudah duduk manis di kursi yang Oliver tempati tadi.

"Senang bertemu dengan mu lagi Mario" Jessi tersenyum sembari meletakkan sebotol wine di meja.

"Mau minum?" tawar Jessi.

"Tidak, terima kasih." Jawab Mario seaadanya. Jessi tersenyum lalu menuangkan wine di gelasnya.

"Terakhir kali kita bertemu di Hawaii bukan? Jika aku tidak salah waktu itu kau sedang berbulan madu bersama istri mu yang cantik itu. Siapa namanya? Ahh, ya aku mengingatnya. Alyssa bukan?"

"Apa mau mu?" tanya Mario, merasa jengah dengan kehadiran Jessi saat ini. Di tambah pikirannya yang sedang kacau mengingat masalahnya dengan Alyssa belum selesai.

"Sudahlah, Mario. Kau tak perlu bersikap ketus seperti itu kepadaku. Aku sadar jika kau memang mencintai istrimu itu. Dan aku tidak akan menggangu mu lagi" ucap Jessi diakhiri dengan kekehan, seolah ia memang sudah tidak perduli lagi dengan kehidupan Mario. Pasangan one night stand-nya.

"Ahh, kau memang beruntung Mario mendapatkan istri secantik, Alyssa" perkataan Jessi tentang Alyssa membuat senyum Mario terukir di bibirnya. memang benar apa yang Jessi katakan ia memang begitu beruntung bisa mendapatkan Alyssa.

"Dan aku tahu, kau bukan tipe orang yang suka ke tempat seperti ini jika kau tidak ada masalah" Jeda, Jessi meminum wine di gelasnya.

"Jadi? Aku bisa menjadi teman ceritamu jika kau berkenan" Mario tak menjawab. Namun saat melihat sepertinya Jessi memang tak ada minat lagi terhadapnya tidak salah bukan jika ia menceritakan masalahnya kepada Jessi?

"Hanya sebuah kesalahpahaman" ucap Mario akhirnya. Jessi mengerutkan alisnya bingung.

"Alyssa?" tebak Jessi

"Ya" jawab Mario ringkas.

"Jika kau memang tahu itu adalah sebuah kesalahpahaman, seharusnya kau tidak berada disini. Kau harus temui, Alyssa dan menyelesaikan semuanya" ucap Jessi bijak. Benar juga, ia sudah tahu jika ini semua karena kesalahpahaman. Tapi kenapa ia masih berada disini?

"Kau benar" ucap Mario begitu semangat, seakan ia telah mendapatkan energinya kembali.

"Aku harus menyelesaikannya bersama, Alyssa" Mario berdiri dari duduknya. Tersenyum menatap Jessi yang kini juga tersenyum menatap Mario.

"Terima kasih Jess" ucap Mario. Jessi hanya membalas dengan anggukan dan senyum manisnya.

"Tidak masalah, aku senang bisa membantumu, Mario"

"Aku pergi dulu" pamit Mario, lalu beranjak meninggalkan Jessi yang kini tersenyum penuh kemenangan.

Segera, Jessi mencari ponsel yang terletak di dalam tas hermes-nya.

"Berhasil, setidaknya untuk saat ini aku sudah mendapatkan kepercayaan, Mario. Dan selebihnya itu akan lebih mudah"

***