Tak membutuhkan waktu yang lama perusahaan Palm co menyusut drastis dari yang mempunyai 12 anak perusahaan hanya menyisakan 2 perusahaan saja yaitu Golden Palm Apartemen dan Palm Hotel group. Kekayaan Ardhi Wijaya pun merosot dari triyuner menjadi jutawan saja. Itu pun status keduanya setengah milik orang lain.
Dimata para pesaing dan temannya Ardhi Wijaya sudah dikatakan bangkrut, dimata pemodal yaitu bank sudah dianggap tidak mempunyai kredibel. Sehingga akan sulit bila ingin kembali membangun kerajaan bisnisnya. Saham pun sudah merosot jatuh. Walau begitu dari kedua perusahaan itu dia masih mempunyai penghasilan tapi tidak sebesar dulu karena harus di potong utang perusahaan yang masih cukup besar.
Disaat seperti itu sebenarnya Ardhi Wijaya membutukan suport dari orang terdekat keluarga besarnya yaitu orang tua dan juga istri serta anaknya. tapi kini hanya Anggia yang tersisa. teman-teman yang dulu banyak kini menjauh. Rupanya nasib Ardhi Wijaya sudah jatuh tertimpa tangga ia mendengar kabar Ayahnya meninggal dunia dan itu sangat mengejutkan di tambah ibunya juga masuk rumah sakit. hal itu menjadi pukulan berat kedua.
Ketika datang ke pemakaman ayahnya dengan Anggia, Ardhi Wijaya di sambut dengan sorot ketidaksukaan dan kemarahan kakak-kakaknya. Bagaimana tidak sejak Yudha meninggal dia memutus hubungan dengan keluarga besarnya karena dianggap turut campur masalah keluarganya ! ketika ayah dan ibunya sakit Ardhi Wijaya tidak pernah menjenguknya, apalagi ikut mengurus atau membiayai mereka. Dia seakan lupa segalanya.
Semuanya hanya mendiamkannya, Ardhi Wijaya seperti di kucilkan. Dia melihat mantan istrinya Marina, Ratih istri dari Yudha, Amira dan suami serta cucu-cucunya. Semuanya hanya melihat dirinya tanpa mendatanginya.
"Anggia kita pergi !" ujarnya pelan. Anggia hanya mengangguk saja. keduanya pun pergi.
"mas Ardhi !" tiba-tiba ada yang memanggilnya ketika menoleh ternyata Marina.
"Ada apa ?" tanyanya.
"maaf mas, aku ingin bicara sebentar !" jawab Marina sambil melirik sebentar kepada Anggia.
"Silahkan saja !"
"ibu pengen ketemu !" ujar Marina pelan. Ardhi Wijaya tertegun.
"tolong mas, dia ingin sekali bertemu ! mas tak ingin menyesal seperti pada ayah mas kan ?" lanjut Marina dengan wajah penuh harap.
"aku janji akan bertemu ibu !" jawab Ardhi Wijaya.
"Janji ya mas karena ini amanat dari ibu ! aku hanya menyampaikan saja !" Ardhi Wijaya hanya mengangguk dan mereka pergi di saksikan Marina, dia merasa kasihan ketika memperhatikan Ardhi Wijaya agak pucat dan badannya kurusan seperti tidak terurus.
Beberapa waktu kemudian Ardhi Wijaya menjenguk ibundanya tercinta yang terbaring sakit kali ini sendiri tanpa ditemani Anggia. Di depan pintu dia terdiam ada rasa berat melangkah karena rasa bersalah sudah lama dia tidak bertemu.
"mas ... !" ada sapaan lembut yang mengagetkannya dan menoleh dan ternyata itu adalah Marina.
"kenapa tidak masuk ?" tanyanya lembut, Ardhi Wijaya hanya terdiam. Perlahan tangan yang lembut menyentuh lengannya.
"Ayo kita bareng masuknya !" lanjut Marina, sementara Ardhi hanya mengangguk pelan. mereka pun masuk ke dalam, di sana terbaring ibundanya, tak terasa air matanya meleleh.
"mah ..." sapanya dengan suara pelan dan bergetar, perempuan tua yang awalnya terpejam membuka perlahan.
"Ardhi ...?" jawabnya tertegun.
"mamah ..." Ardhi pun memeluk tubuh perempuan yang telah melahirkannya dan membesarkannya akhirnya menangis di dada ibundanya.
"maafkan ... aku !" di sela tangisnya. perempuan tua itu hanya mengusap rambut putranya dengan lembut dan membiarkannya menangis, walau air matanya ikut meleleh tak kecuali Marina pun tak bisa menahan rasa haru melihat hal itu.
"Ardhi ...!" perlahan tangan keriput itu mengangkat wajah putranya, Ardhi pun kini menatap ibundanya. perlahan tangan itu mengusap air mata di pipinya, Ardhi menangkap tangan itu dan diciumnya.
"maafkan Ardhi mah !" hanya itu yang bisa diucapkannya.
"mamah maafkan kok ! kamu sekarang kurusan ! kamu sakit ?" ibundanya malah bertanya. Ardhi hanya menggeleng.
"pasti berat ya ! bersabarlah suatu saat semuanya akan kembali maju !" lanjut ibundanya. Ardhi hanya menatap mamanya dan mengangguk.
"oh ya mana istrimu ?" Ardhi terkejut dia terdiam.
"maksud mama Anggia ?"
"siapa lagi ? kamu sudah menikah lagi kan ?" pertanyaan ibunya bagai menghujam ulu hatinya. Dia terdiam dan menghela nafas menahan beban berat di dadanya.
"Dia ... pergi ... " jawabnya pelan. Susanti dan Marina terkejut.
"Ardhi ... apa maksudmu dia pergi ?" Susanti menatapnya tak mengerti.
"Ketika kami pulang dari pemakaman papa, aku ... dan dia bertengkar hebat ! sampai akhirnya dia mengajukan perceraian !" jawab Ardhi Wijaya menunduk.
"bercerai ? padahal mama pengen bertemu dia !" Susanti terdiam.
"Dia memutuskan kembali ke mantannya !" Ardhi Wijaya mengusap wajahnya.
"Siapa mantannya ?"
"mama pasti mengenalnya ... Sudarmin ! aku telah merebutnya, membuat skandal, menceraikan istriku, marah-marah pada putri ku dan ... membunuh putraku karena dia tahu semuanya sejak awal tentang hubungan kami ... ditambah aku mengabaikan mama dan papa sampai sekarang ... aku ... minta maaf ..." Ardhi Wijaya mengeluarkan semua yang ada di dada.
"Aku tahu telah berdosa .., dan .. tidak bisa kalian maafkan terutama kanu Marina ! maafkan aku ...sungguh aku tidak bermaksud ...maafkan ... aarrgghh !" tiba-tiba Ardhi Wijaya memegang dadanya dan jatuh ke lantai.
"Maaasss ... !"
"ARDHI ... !"
----------
"Papa ... !"
"Papa ... !" Ardhi membuka matanya dan terkejut ketika melihat siapa yang memanggilnya.
"Yudha ...!" seorang pemuda tampan tersenyum padanya.
"maasss ! bangun ...!"
"maaf nyonya, sepertinya dia kena serangan jantung !" seorang dokter memeriksanya
"Bawa dia ke ruang ICU ... !" perintah seorang dokter. 4 perawat membawa tubuh Ardhi Wijaya ke kasur dorongan untuk membawanya ke ruang perawatan.
"Yudha kenapa kamu di sini ?" tanya Ardhi Wijaya heran.
"Papa kenapa disini ?" tanyanya balik bertanya, Ardhi Wijaya menatap putranya yang rambut gondrong sepundak memakai jaket kulit, kaos dan celana biue jeans terdapat ada robekan.
"Papa engga tahu !" Ardhi Wijaya bingung.
"Papa kena serangsn jantung tuh !" Yudha menunjuk dan dia terkejut melihat tubuhnya di bawa entah kemana, sementara Marina menangis di sampingnya. kebetulan Amira putrinya datang dan diminta menjaga mamanya.
"Jadi aku mati ya ?" tanya Ardhi Wijaya.
"belum pah !" jawab Yudha yang berdiri disampingnya.
"maafkan papa Yudha ! papa telah ... !" Ardhi Wijaya.
"Bukan salah papa sepenuh kok ! aku di jebak temanku yang iri padaku !" Yudha terdiam.
"papa selama ini selalu egois terhadapmu dan Amira !"
"Sudahlah pah, itu masa lalu ... aku ingin papa kembali ke papa yang dulu ! penuh perhatian dan kasih sayang ! papa sepertinya sudah lupa tentang itu !" jawab Yudha. "apalagi sekarang papa sudah punya cucu penerus aku dan Amira ! aku mohon tolong rawat dan jaga mereka dan jadikan apa yang mereka inginkan !" lanjut Yudha sambil menatap papanya.
"Yudha ... papa !"
"aku sudah maafin papa ! Yudha minta maaf tidak bisa memenuhi semua keinginan papa !"
"Yudha !" Ardhi Wijaya memeluk putranya dengan erat. tak lama tubuhnya menjadi transparan.
"sampai jumpa lagi pah !" Yudha tersenyum.
"Syukurlah semua sudah stabil !" ujar dokter melihat kondisi Ardhi Wijaya.
Bersambung ....