Jakarta, Januari 2008
Kota ini. Setiap sudutnya. Wujudnya. Aromanya. Mesin waktu yang membuat ingatan selalu mengembara pada satu titik sejarah usang yang kelak hanya akan jadi cerita dalam museum. Tetapi kota ini, lengkap dengan seluruh parade bisunya, ataupun cerita hantu yang bergentayangan diantara gedung-gedung tua, tetaplah sudut yang tak pernah sunyi dari gemerlap tawa dan tangis yang hilir mudik berhimpitan.
Kota ini, merangkum kenangan lama pada jalan-jalan, gedung-gedung dan cerita orang-orang dulu. Di tempat ini aku tumbuh. Bersama dongeng Nyai Dasima yang didengung Kak Rekah sepulang sekolah. Katanya, Nyai itu suka muncul di pinggir kali dekat sekolah Kak Rekah.
Bila sore tiba, Kak Ranting menyuapiku sambil memanggil dokar. Waktu kecil, aku sulit makan. Baru mau makan kalau diajak naik dokar untuk lihat air mancur joget di Monas. Tempat di mana Daendles menancapkan ambisinya lewat taman kota terbesar di dunia, Champ De Mars. Setelah Prancis kalah perang, Daendles terpaksa hengkang dari Batavia.
Taman besar kebanggannya itu berganti nama menjadi Koningsplen. Ketika Jepang berkuasa, tempat itu punya nama lain, Lapangan Ikada. Sampai tiba waktunya Soekarno membangun monumen di taman itu juga.
Aku bermain taman berlatar monumen Lingga-Yoni sampai hampir Maghrib. Kak Ranting membawaku pulang naik bajaj. Dan ketika malam tiba, lirih lagu—yang mengingatkanku pada kapal-kapal yang merapat di Priuk—dirapal bagai mantra pengantar tidur:
"Kelap-kelip lampu di kapal, anak kapal main sekoci, air mata jatuh di bantal, aduh, yang dinanti belum kembali…."
Dulu, kami memang sering main ke Priuk. Ke tempat sepupu Sicilia yang sangat kami sayangi, Bapak Fredy dan Mama Maria. Bapak Fredy pelaut senior. Hidupnya tak bisa jauh dari laut. Dia sering memangkuku di teras rumahnya, sambil bercerita tentang angin timur dan angin barat. Sedang Mama Maria kami sangat pandai berdansa waltz.
Setiap kali ke rumah mereka, aku terpukau dengan truk dan kapal yang ada di Tanjung Priuk. Pulangnya, seringkali bertemu perempuan-perempuan Madura dalam truk—yang hendak ke pelabuhan setelah Maghrib. Mereka memburu hasil tangkapan nelayan untuk dijual di pasar, esok pagi. Perempuan-perempuan itu, walau tampak kurus, tapi punya nyali yang besar.
Tidak cuma soal kapal dan dokar, kota ini mengikatku dalam kenangan yang lain. Dulu, aku belajar berlari, main kasti dan menonton pertandingan sepakbola di Lapangan VIJ. Meski tersembunyi di gang sempit Petojo yang selalu ramai rengekan bocah, Lapangan VIJ bukan hanya menyimpan cerita kecilku, tapi juga epos perlawanan pada Pemerintah Kolonial.
Kabarnya, M.H. Thamrin, sang tokoh Betawi itu prihatin dengan orang-orang Betawi yang sulit menonton sepakbola Bataviache Voetbal Bond (BVB)—yang kemudian berubah jadi Voetbal-bond Batavia en Omstreken (VBO). Klub sepakbola ini didominasi orang-orang Eropa dan peranakan. Tidak sembarangan orang bisa menonton aksi mereka.
Pernah juga klub-klub kampung milik rakyat Betawi—seperti Tjahja Kwitang atau Gang Solitude—ingin mengadakan acara amal di Lapangan Hercules di Deca Park--berubah menjadi Lapangan Ikada dan sekarang jadi bagian dari Monas. Acara ini diselenggarakan untuk membantu korban kebakaran di Gang Bunder (daerah Pasar Baru). Tapi klub-klub kampung ini tidak dapat izin dari Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia.
Kesal tak bisa bermain di tanahnya sendiri, didirikanlah Voetbalbond Boemipoetra (VBB). Namun karena istilah boemipoetra sangat sensitif dan terjadi perbedaan pendapat di antara para pendirinya, VBB lalu berubah jadi Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ). Para pendiri sengaja menggunakan kata Jakarta dan bukan Batavia—untuk menentang Pemerintah Kolonial Belanda.
Perkembangan VIJ menarik perhatian M.H. Thamrin. Dengan uang 2000 gulden miliknya sendiri, M.H. Thamrin membangun Lapangan VIJ, agar rakyat Betawi bisa ikut menikmati pertandingan sepakbola.
Meski VIJ sudah berganti nama menjadi PERSIJA, tetapi Lapangan VIJ tetap eksis di kalangan anak-anak sekolah dan muda-mudi Jakarta—yang rela patungan menyewa lapangan untuk main sepakbola. Dan Lapangan VIJ itu—tempat di mana Soekarno menendang bola selepas keluar penjara—selamanya akan kuingat sebagai tempatku belajar berlari.
"Hari ini cerah sekali."
Suara Sicilia pagi ini membuatku terhentak dari lamunan panjang.
Dia tidak sendiri. Ada Jeany di sana. Pelayannya sejak masih gadis dulu. Sebenarnya Jeany sudah menikah dan punya anak. Tetapi dia sayang sekali pada Sicilia. Sering dia meminta izin pada suaminya untuk menginap di rumah.
"Iya Non, waktu yang tepat membuat panekuk," ujar Jeany sambil membuat adonan dari terigu.
Waktu bergulir, tapi bagi Jeany, Sicilia tetaplah seorang 'Nona'.
Adonan terigu dituang ke wajan yang sudah diberi margarin. Lalu diputar sampai merata dan bulat sempurna. Begitu matang, adonan diangkat, kemudian diberi fla susu dan digulung. Jadilah panekuk, orang-orang Betawi lebih suka menyebut panekuk dengan mplek mplek, tapi biasanya hanya ditaburi gula pasir.
Kadang kalau ada singkong, sarapan di rumah kami bukan lagi panekuk, tapi ancemon—potongan singkong yang dicampur parutan kelapa dan gula jawa. Ya, ya, ya, Orde Baru sudah tumbang, sedang di rumah kami masih bertahan makanan zaman kolonial.
Aku duduk di kursi dan meletakkan buku di meja makan besar yang terbuat dari kayu jati. Meja diletakkan menghadap ke taman belakang. Ruangan dirancang agar anggota keluarga bisa makan malam bersama sambil menatap bintang. Seperti rumah zaman dulu, kami punya dapur yang sangat luas. Bisa dibilang rumah kami dibagi dalam empat bagian besar.
Bagian pertama, halaman depan lengkap dengan garasi, taman, beranda untuk Posyandu dan kadang berubah jadi area pengungsian—untuk menampung orang kampung saat terjadi bencana. Ada tiang-tiang tinggi dengan tembok disekitarnya untuk meletakkan gelas dan tempat duduk yang dibuat dengan semen, sehingga membentuk setengah tembok.
Bagian kedua, ruang tamu yang terdiri dari sofa untuk 10 orang. Lonceng kayu tua yang berbunyi setiap jam. Lima hiasan kristik buatan Kak Ranting Kayu yang bertengger di dinding. Dua kamar tidur, yang setiap kamarnya cukup untuk meletakkan satu tempat tidur besar, meja rias dan lemari yang terbuat dari jati.
Setiap kamar punya jendela yang menghadap ke luar. Jendelanya besar sekali, sampai-sampai, saat kecil, Kak Rekah Bunga dan Kak Rinai Hujan sering kabur dari jendela. Bersebelahan dengan ruang tamu, ada ruang kerja yang menyimpan mesin tik dan lemari besi milik Affandi, meja belajarku, meja komputer dan perpusatakaan dengan dua rak buku besar.
Bagian ketiga, ruang keluarga. Tempat kami semua menonton televisi. Hanya ada 1 kursi malas milik Affandi dan satu bale panjang di sebelahnya. Selebihnya, kami lebih suka menonton sambil tidur di ubin yang motifnya klasik dan lucu. Ruang keluarga ini juga punya satu kamar tidur yang lebih luas dari dua kamar tidur di ruang tamu.
Kamar tidur ini cukup untuk menampung tiga tempat tidur ukuran kecil. Berikut dengan beberapa lemari kayu dan meja rias. Semua kamar tidur di rumah kami terkoneksi dengan pintu.
Bagian keempat, dapur. Tentu saja isinya seputar tempat meletakkan alat memasak. Ada dua lemari kayu. Satu untuk menyimpan makanan. Satu untuk menyimpan porselen dan barang pecah belah. Ada juga rak kaca besar yang khusus untuk memajang porselen dan tea set.
Dekat lemari dan rak kaca diletakkan meja makan kayu. Persis di depan meja makan, ada taman kecil multifungsi. Dulu pernah jadi kolam ikan milik Kak Rimbun Daun, lalu berubah jadi taman burung Affandi, pernah juga jadi peternakan kelinci Kak Rindu Embun. Sekarang, fungsinya menjadi tempat ibadah semi terbuka.
Kalau malam, seusai sholat, Sicilia bisa berdoa sambil menatap bulan dan bintang. Bila sepupuku yang bernama Bhante Satya datang, tempat ini berubah jadi tempat meditasi. Pun bila tante dari Belanda yang beragama Nasrani Tiberias menginap, tempat ini berubah lagi menjadi tempat menyanyikan puji-pujian pagi hari. Selain taman ini, ada juga kamar mandi dan WC yang dibuat terpisah. Persis di depannya ada tempat mencuci dan menjemur pakaian yang luas. Kalau ada hajatan, tempat ini pun berubah jadi tempat masak.
Kembali lagi ke ruang makan kami, Sicilia menuangkan teh ke cangkirku dan juga cangkirnya. Seperti biasa, ritual minum teh selalu jadi momen sakral keluarga.
"Mau pergi? Hari ini hari Sabtu."
Aku tersenyum. "Iya, Ma, main sebentar ke utara Jakarta."
"Apa yang tersisa dari utara Jakarta? Dulu di Ancol sana banyak sekali monyet hitam besar ekor panjang. Entah ke mana mereka sekarang? Jakarta ini kan dibatasi laut. Tak mungkin mereka menyeberang ke pulau lain. Harusnya mereka masih ada di sekitar sini. Tetapi di mana?" Sicilia tiba-tiba mendadak murung.
Aku terdiam. Pelajaran sejarah dan ceramah kebangsaan akan dimulai lagi pagi ini. Seperti yang sudah-sudah.
"Keindahan Pantai Cilincing mungkin hanya tersimpan dalam Film Tiga Dara. Dulu saat masih tinggal di Mangga Besar, Jembatan ungkit yang ada di dekat Museum Bahari dan Pasar Ikan masih bisa dibuka-tutup. Banyak kapal berlayar di sana. Kalau tidak salah ada tiga jembatan yang seperti itu di Oud Batavia."
Aku hanya mengangguk. "Ah, Ma, pernah dengar tentang terowongan rahasia kota Jakarta?"
Sicilia berhenti menyeruput tehnya yang masih panas. "Terowongan rahasia?"
"Iya, seniorku di kampus dulu pernah menulis novel tentang ini. Dia seorang intelektual yang cermat. Tak mungkin dia mengarang cerita," tanyaku penasaran.
Sicilia berpikir sejenak. "Ah, ada! Satu terowongan yang pintu masuknya dari kantor catatan sipil zaman dulu. Tetapi aku ragu, sekarang kantor itu jadi apa ya? Hmm...mungkin Masjid Istiqlal atau gedung lainnya? Entahlah."
"Ke mana terowongan itu berakhir?" Aku mencecar, dalam bukunya, seniorku bilang kalau terowongan itu sampai ke istana dan Pelabuhan Sunda Kalapa. Tetapi luasnya terlalu kecil untuk ditelusur. Sudah terlalu lama dan tertimbun tanah.
Sicilia tertawa kecil. "Ya tentu saja ke Sunda Kalapa. Terowongan itu jadi jalur untuk memasok kebutuhan pokok dari dan ke pelabuhan."
"Apakah terowongannya kecil?" Aku makin penasaran.
Sicilia menggeleng. "Tidak, terowongannya besar. Cukup untuk satu truk besar, rasanya. Opamu pernah masuk ke sana. Sebagai orang yang pernah bekerja di Jawatan Pelayaran Pemerintahan Belanda di Indonesia, tentu dia punya akses ke sana. Kamu ingat Jhon, suami Bianca, Tantemu. Waktu mereka ke Jakarta, kami bertiga pernah melewati pinggir Ciliwung, samping Istiqlal. Tahu dia kata apa? Dalam bahasa Belanda, Jhon bilang sambil menunjuk ke bawah: Ini! Di bawah jalan ini ada terowongan. Nah kan, orang Belanda totok saja tahu. Aneh kalau yang tinggal di Jakarta tidak tahu."
Aku terdiam dan merenung. Masih penasaran sebenarnya. Tapi waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Aku harus cepat berangkat. Seruni, juniorku sejak SMP sampai kuliah, sudah menunggu di bawah pohon dekat lampu merah Roxy.
Menuju tempat itu, aku harus selalu memanjat doa. Pasalnya, aku harus melewati taman kanak-kanak yang di dalamnya terdapat kuburan ronggeng. Cerita hantu ronggeng yang suka "keluyuran" hinggap di tubuh orang itu sudah santer sejak lama. Jadi kisah misteri dari Roxy. Ada-ada saja kejadiannya. Lebih seram dari cerita yang dulu sering diputar di Bioskop Roxy.
"Terowongan Jakarta. Kata Papaku benar-benar ada. Maklum Mbak, Papa dan Mama kan Betawi asli. Papa belajar berenangnya di Ci Liwung...hahaha...waktu itu katanya kesasar sampai ke terowongan. Tapi terowongan itu banyak buayanya. Gak ada yang berani berenang ke sana."
Aku sudah meninggalkan Sicilia, tetapi rupanya desas-desus terowongan rahasia masih menarik untuk dibahas.
Aku bergumam, "hmm...kotamu ini benar-benar misterius. Seperti mesin waktu yang menjadi penghubung ke masa lalu."
Angkot merah jurusan Muara Angke ini membuat kami terguncang beberapa kali, kepala Seruni hampir terbentur kaca angkot.
"Iya...Jakarta ini memang unik. Semua ada ceritanya. Kata Papa, daerah dekat tempat kami tinggal, Tanah Sereal itu, dulunya punya orang Arab. Tanah dibeli dengan harga satu Real. Makanya namanya Tanah Sereal. Terus daerah Pecing dulunya adalah tapal kuda. Banyak kuda kencing di situ, makanya dibilang Pecing. Kebun Jeruk, Kebun Pala dan daerah-daerah lainnya di Jakarta juga dulunya beneran banyak jeruk dan pala. Katanya, di Pondok Gede dulu ada rumah besar dan indah milik orang Eropa."
"Iya, aku juga pernah dengar, katanya tempat kita sekolah dulu itu, Petojo Binatu adalah pusat tukang cuci waktu zaman Belanda. Makanya dibilang Binatu. Pamanku di Tanjung Priuk pernah cerita, tak jauh dari SMP kita ada jalan Jagal Monyet. Ada yang bilang, itu dulunya tempat monyet dijagal. Tetapi Pamanku bilang, dulu di sana ada Pos Jaga Belanda. Penjaganya memelihara monyet. Entah mana yang benar?"
Seruni tertawa renyah. Perempuan keturunan Betawi ini tampaknya senang betul. "Itulah kenapa aku suka kotaku. Ceritanya lucu-lucu. Kadang tak habis dipikir."
"Pasar Senen juga katanya diambil dari nama Cornelis Senen. Misionaris Belanda yang mendapat hak tanah dari daerah Senen sampai Jatinegara. Orang-orang memanggil Cornelis Senen dengan panggilan Meester. Saat Jepang masuk ke Indonesia, diubahlah menjadi Jatinegara, yang berarti negara sejati."
Aku masih semangat cerita, meski guncangan di angkot semakin tidak karuan.
"Dan sampai sekarang orang-orang masih menyebut Pasar Jatinegara dengan Pasar Meester...hahaha...lucu sekali..." Seruni masih terus tertawa.
Tak lama, guncangan di angkot berhenti. Kami sampai di Terminal Muara Angke. Harusnya pagi ini kami ikut membersihkan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA). Tapi kami bahkan tidak tahu di mana letaknya. Akhirnya becak menjadi pilihan untuk mencari tempat yang kami tuju.
Kami melewati jalanan absurd yang sama sekali belum pernah kami datangi. Rumah-rumah berhimpitan di pesisir dermaga yang panas. Sepanjang jalan, ikan asin telentang di bawah matahari mentereng. Panorama mewah di kota yang berjejal gedung bertingkat.
"Udah sampe, Neng." Tukang becak mengantar kami berdua ke tempat yang jauh lebih abstrak lagi.
Ya, ini memang Suaka Margasatwa Muara Angke, tapi bagian belakangnya. Kami berada di sisi danau besar dan Suaka Margasatwa Muara Angke ada di seberang sana. Agar bisa sampai di sana hanya ada satu pilihan, yaitu berenang diantara bakau yang menutupi danau. Kami berdua hanya bisa bengong.
"Gak mungkin kan kita berenang diantara bakau?" Aku bertanya entah pada siapa
Sontak, aku dan Seruni tertawa berbarengan.
Dua perempuan bodoh tersesat di kotanya sendiri. Sebenarnya setelah merenung beberapa saat, kami menemukan akses lain. Kampung Nelayan yang ada di sebelah Suaka Margasatwa. Tapi gang Kampung Nelayan banjir. Melewati Kampung Nelayan berarti kami harus punya jurus canggih untuk melompati kayu-kayu yang sengaja dibiarkan mengambang untuk orang-orang lewat. Persis seperti di film-film pendekar Shaolin.
Terpaksa naik becak lagi ke terminal. Dari sana naik angkot lagi dan berhenti di Pantai Indah Kapuk. Ternyata tempat yang kami cari tak jauh dari kawasan ini. Memasuki Suaka Margasatwa Muara Angke harus lapor dulu ke petugas. Seharusnya dapat izin khusus, mengingat Suaka Margasatwa adalah bagian Kawasan Hutan Konservasi. Artinya tak boleh ada manusia yang masuk kecuali untuk tujuan penelitian dan kunjungan yang diizinkan. Tetapi karena ikut bersih-bersih, kami boleh masuk .
Kami melewati jembatan yang ada di atas air. Kiri dan kanan dipenuhi tanaman enceng gondok. Burung-burung bersahutan. Ada beberapa vegetasi yang terlihat. Orang-orang yang baru membersihkan aliran air membawa beberapa jaring yang digunakan untuk mengambil sampah di pohon bakau. Kami terus menyusuri jembatan hingga sampai di hutan bakau.
Selain bakau, ada juga pohon-pohon yang lain. Semakin lama, jembatan semakin sepi. Hanya ada aku dan Seruni . Orang-orang sudah kembali ke area depan. Sebenarnya kami masih penasaran untuk terus berjalan menyisir jembatan, tapi aku ragu dan entah kenapa mulai takut.
Tiba-tiba kami dihadang segerombolan monyet hitam besar ekor panjang. Mereka berjumlah 10-15 ekor. Kami dilarang lewat. Mereka memasang posisi siap menyerang. Kami panik. Hup! Turun satu monyet yang paling besar. Aku rasa dialah pimpinannya.
Monyet yang paling besar ini memamerkan taringnya.
Entah pertanda perintah atau bukan, yang pasti semua monyet yang ada di sana mulai maju ke arah kami. Kami mundur perlahan. Berusaha tetap tenang dan tidak berteriak. Berjalan perlahan ke tempat yang masih banyak orang.
Saat kami menoleh, monyet-monyet itu sudah tidak ada lagi. Untunglah monyet-monyet itu tidak mengambil barang kami atau mengejar sampai jauh.
Dalam hatiku berkata, "akhirnya, aku tahu dimana rimbanya monyet-monyet Ancol yang dicari Sicilia."
"Hosh…hosh…syukurlah, monyet-monyet itu tidak mengejar kita terus." Seruni terduduk lemas di dekat pintu keluar.
"Huffftt….dasar monyet Jakarta! Bikin kaget. Aku harus menemui Bening di Kota Tua. Kamu mau ikut?"
Seruni yang masih lelah menatapku dan menggeleng. "Salam saja buat Mbak Bening.
Aku memeluk perempuan yang seperti adikku itu. "Baiklah, aku pergi dulu. Kamu hati-hati yaa…"
Seruni hanya mengangguk dan belum juga mau berdiri. (Bersambung)