Meskipun kamar tidur hanya satu namun kamar tersebut bisa di letakkan dua kasur untuk mereka berdua.
Dinding sudah diganti dengan wallpaper oleh pemilik rumah tersebut. Agar terlihat lebih baru dari sebelumnya. Atap yang sempat terlihat menyedihkan juga sudah diganti agar ketika musim hujan tidak terjadi kebocoran.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Karen, ia sudah puas saat pertama kali melihat rumah tersebut.
"Aku ikut denganmu saja. Nanti kita tinggal patungan untuk membayar depositnya."
Karen mengangguk setuju lalu memberitahukan pada pemilik rumah jika ia ingin menandatangani kontrak sewa rumah selama satu tahun.
Barang disana sudah lengkap termasuk sebuah sofa dan kulkas. Mereka hanya perlu membeli kasur, karena kebetulan di sana tidak menyediakannya.
"Kau akan kuliah dimana?" tanya Karen ia meneguk sebotol air mineral yang ditawarkan oleh Ruri.
"Sia University. Aku akan mengambil jurusan tata rias dan busana. Aku sangat ingin sekali menjadi MUA (make up artis) sejak melihat para penyanyi dan aktris di tv. Kalau kau sendiri? Bekerja di mana?"
"Entahlah, aku tak yakin apa aku bisa bekerja tahun ini."
"Ya?! Kenapa? Bukannya kau ke Kota ingin bekerja."
"Ehmm.. Tapi keadaanku sepertinya tak memungkinkan."
Ruri diam dan mengamati Karen. Menurutnya tak ada yang aneh pada wanita yang baru ia temuinya beberapa jam yang lalu.
"Jangan bilang jika kau kabur dari rumah?" pertanyaan dari Ruri membuat tawanya meledak.
Namun ucapan dari Ruri tak sepenuhnya salah. Karena dia memang kabur tapi dengan cara yang halus. Ia kabur demi menyembunyikan kehamilannya pada kedua orantuanya.
"Aku hamil."
"Hah?!!! Tak mungkin. Tapi aku tak melihat perutmu seperti orang hamil."
"Mungkin belum. Aku saja belum tau usia pasti kehamilanku."
"Lalu suamimu??!" volume Ruri memelan, ia takut akan menyinggung perasaan Karen.
Karen menatapnya gamang. Ia tak tau harus menjawab apa padanya. Karen tak bisa mengatakan jika anak yang dikandungnya adalah anak Rafaell. Karena ia tau pasti Ruri mengira jika dia hanya mengada-ada.
Karen menggelengkan kepalanya, Ruri yang melihat ekspresi Karen langsung mengerti.
"Hamil dengan kekasihmu?!"
Kekasih?? Karen saja tidak tau status apa yang ia jalani dengan Rafaell saat ini. Yang ia tau hanyalah waktu itu Rafaell dan dia sama-sama melakukannya karena perasaan suka sama suka.
Dan terbesit di pikiran Karen, jika Rafaell ternyata sudah melupakannya karena saat itu ia hanya menganggap dirinya seorang fans yang terobsesi dengannya. Tiba-tiba ia mencemaskan perasaan Rafaell padanya. Bagaimana jika Rafaell hanya mempermainkan perasaannya dan memanfaatkannya saat itu. Tapi ia kemudian berpikir jika dirinyalah yang juga mau melakukan hal hina tersebut.
"Apa tebakanku benar?" pertanyaan Ruri menyadarkannya kembali.
Namun Karen bingung harus menjawab apa. Karena ia tak tau apa arti dia untuk Rafaell dan begitu sebaliknya.
"Kurang lebih seperti itu." Karen tersenyum getir.
"Jadi hal ini yang mau kau beritahukan padaku tadi?" Ruri melihat sekilas perut Karen yang belum terlihat membesar.
Karen hanya mengangguk, ia tak berani melihat wajah Ruri.
"Ya sudahlah. Itu tak penting sekarang. Yang penting kau mau bertanggung jawab atas kesalahanmu yang dulu. Tidak seperti orang-orang yang akan membunuh bayi mereka saat mengetahui dirinya hamil karena melakukan hal itu."
Membunuh? Karen tak pernah terpikirkan untuk melenyapkan janin itu. Saat pertama kali ia tau, yang pasti dia sangat terkejut. Namun ia mencoba tenang dan mencari solusi untuk dirinya dan anaknya. Yaitu dengan mencari Rafaell calon ayah dari anaknya.
Ahh.. Tiba-tiba Karen teringat dengan Rafaell. Bagaimana kabar lelaki itu? Apa ia sudah melupakan dirinya? Apakah ia tau jika Karen sedang mengandung anaknya? Apakah Rafaell akan mengabaikannya jika bertemu nanti. Pertanyaan itu terus mengusiknya.
"Bekerja saja dulu tak apa-apa. Setelah itu mungkin bisa mengambil cuti."
Ucapan dari Ruri seakan membawa angin segar padanya. Ia menemukan jawaban yang membuatnya sedikit merasa lega. Benar kata Ruri, mungkin ia akan bekerja selama beberapa bulan meskipun setelah itu ia harus cuti karena melahirkan. Yang terpenting adalah bagaimana ia bisa membuktikan pada ayahnya jika dia benar bekerja.
"Apa aku boleh meminta bantuanmu?" tanya Karen ia menoleh ke arah Ruri yang sedang sibuk dengan kopernya.
"Apa itu?! Jika bisa aku pasti akan membantumu."
"Mungkin nanti orangtuaku akan datang menjengukku sebulan sekali. Dan aku sangat bingung jika mereka datang dan melihat perutku membesar."
Ruri mengangguk-angguk mengerti. Wajahnya nampak berpikir sebentar. Meskipun berbadan mungil namun sepertinya Ruri bisa diandalkan.
"Itu gampang. Nanti saja saat orangtuamu akan datang beri tau aku."
Karen tersenyum dan mengangguk senang.
"Bagaimana kalau kita makan dan membeli kasur untuk kita tidur malam ini." ajak Ruri lalu langsung di setujui oleh Karen.
Belum ada sehari, namun Ruri dan Karen sudah nampak dekat. Mereka berdua sore itu pergi berdua untuk mencari makan malam di daerah Myeongdong. Karen dengan cekatan mengetikkan jarinya di situs aplikasi kuliner pada ponselnya demi mencari makanan yang bisa dijangkau oleh kantong mereka.
Meskipun ayahnya memberikan uang yang tak sedikit pada Karen namun dirinya harus bisa menghemat biaya pengeluaran karena sebentar lagi ia harus membiayai hidup tidak hanya untuk dirinya sendiri.
"Kita makan nasi saja ya. Sepertinya aku tak bisa terlalu sering makan fast food." Karen masih memeriksa dan men-scrool layar gawainya.
"Iya aku terserah padamu saja. Lagi pula kau kan sedang hamil," jawab Ruri ia melongok pada ponsel Karen.
Dan matanya menemukan sebuah tempat yang dipikirnya sangat murah untuk mereka berdua, " Ini saja." Tunjuk Ruri cepat, " makan berdua hanya tiga puluh ribu." lanjutnya ia sangat bersemangat dan segera menelusuri alamat yang tertera di bawahnya.
*
KLING~~
Begitu suara pintu terbuka. Mereka berdua langsung di sambut pelayan yang masih muda. Sepertinya dia adalah pekerja paruh waktu di sana.
"Selamat datang..." sapa pelayan perempuan itu dengan ramah.
"Maaf, tapi apa benar kalau di sini makan berdua hanya tiga puluh ribu?" tanya Ruri malu-malu, ia berbisik pada pelayan tersebut.
"Untuk menu tersebut silahkan buka halaman terakhir ya. Tapi karena sudah sore, menu yang tersedia hanya ini saja." pelayan tersebut menunjuk gambar menu yang terdapat dua nasi, satu mangkuk soto, dua tempe goreng dan beberapa makanan pelengkap lainnya.
Ruri menatap Karen dan meminta pendapatnya.
"Ya sudah. Itu saja aku sudah kelaparan." Karen adalah wanita yang tidak memilih milih makanan. Jadi dia bisa memakan apa saja asalkan tidak ikan.
Karena aroma ikan yang menurutnya amis. Bisa membuatnya pusing dan mual.
"Kak, aku pesan ini saja ya." Ruri menyerahkan menu tersebut pada pelayan kembali.
Tiga puluh ribu berdua. Mereka benar-benar sangat irit.