Karen merasa tak enak pada ayahnya karena dia sangat mempercayainya. Tapi Karen malah membohonginya seperti ini. Namun Karen juga tak bisa mengatakan hal memalukan ini padanya. Karena dia sangat membanggakan Karen di depan rekan-rekan kerjanya juga di keluarga besarnya.
Tapi bagaimana kalau sampai keluarga besarnya sampai tahu dia mengalami kejadian memalukan ini? Pasti ayahnya akan merasa jika wajahnya telah dilempari kotoran oleh anaknya sendiri.
"Karen, aku tidur duluan ya." pamit Ruri, ia sudah bersiap mematikan lampu kamar.
Sedangkan Karen, masih sibuk memainkan ponselnya dengan lampu tidur kecil yang menyala di meja samping ranjangnya. Karen sedang mencari tahu keadaan dan kabar Rafael saat ini. Yahh.. Siapa lagi jika bukan Rafael. Karen mengelus perutnya sesekali Karen merasakan badannya yang mulai tak enak.
Pada situs berita online menyebutkan jika Rafael dan Liam sedang di periksa oleh polisi lagi terkait dengan kecelakaan yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Karen yang mendengarnya tak begitu terkejut. Karena saat masih di hotel Rafael pernah mengatakan mengenai hal tersebut.
"Sepertinya ada percobaan pembunuhan," ucap Rafael waktu bersama dengan Karen di hotel.
" CEO kalian ingin membunuh kalian karena apa? Sedangkan kalian kan yang menghasilkan banyak uang di agensimu," tanya Karen padanya.
"Aku tak bisa mengatakannya padamu."
Dengan ia mengatakan hal seperti itu Karen tak bisa menanyakan hal lebih lagi. Karena Karen tidak ingin inyat campur dalam masalahnya.
Dan masalahnya adalah, kenapa perasaannya yang gila tersebut bisa semakin tumbuh meski hanya bertemu selama dua minggu?
Sempat Karen ingin menolak ajakan Rafael melakukan hal itu, namun Karen tak bisa mengabaikan matanya malam itu. Tapi salahnya juga, saat ia tertidur di sampingnya. Karen dengan sengaja memainkan bibirnya yang mungil itu hingga ia terbangun. Mereka saling menatap lama dalam hening. Hingga napasnya yang memburu begitu jelas terdengar saat itu.
Tatapannya benar-benar membuat wajahnya memanas. Bagaimana tidak? Seseorang yang biasanya hanya bisa Karen tatap di layar tv. Saat itu tepat berada di depannya hanya berjarak tak lebih dari sepuluh sentimeter.
Tangan kiri Rafael ada di bawah kepala Karen sebagai bantal. Dan tangan kanannya mulai menyibakkan rambut panjangnya di belakang telinga. Ia tak mengucapkan sepatah kata apapun pada Karen waktu itu. Namun dari tatapan matanya Karen tau apa maksudnya.
Ketika Karen memajukan wajahnya mendekat pada wajah Rafael. Dan Karen memajukan bibirnya tepat di bibir Rafael, kemudian Karen mulai memagut bibir bagian bawah lelaki itu dan ia hanya menikmati permainannya. Setelah Karen merasa jika hanya Karen saja yang masuk dalam permainan itu, Karen memundurkan wajahnya dan memunggunginya. Tapi Karen tak menyangka dengan responya, Rafael memeluknya dari belakang dan kemudian mencium tengnyak leher nya dengan lembut.
Napasnya mulai tak teratur lagi apalagi saat ia mencoba membuka kaos yang Karen kenakan saat itu. Karen hanya diam begitu tangannya menyelusup masuk pada bagian area sensitif bawahnya. Karen menikmati momen itu, hingga Karen tak menyadari saat Rafael sudah berada diatasnya dengan dua kaki tertahan dalam kasur agar seluruh beban tubuhnya tidak menghimpitnya.
"Bodoh!!! Bodoh!!! Itu jelas salahnya!! Jika saja aku tak membangunkannya malam itu!!!" rutuknya dan Karen malu saat menyadari jika waktu itu Karen lah yang ternyata memulai permainan gila malam itu.
" Dia tak sepenuhnya bersalah bukan?!! Tapi tetap saja dia ikut andil dalam masalah ini." pikirannya sangat labil hanya untuk menentukan apakah ini salahnya ataukah salah Rafael.
"Kau sedang bicara dengan siapa?" tanya Ruri ia menyalakan lampu kembali, sepertinya ia terbangun karena ocehan tak berguna malam ini.
" Ah, maaf. Apa aku terlalu berisik?"
"Ehmmm. Sedikit." Ruri menyingkap selimutnya lalu berbaring di sebelahnya. "Kau memikirkan kekasihmu ya?" tanya Ruri kemudian.
Karen diam karena ia benar menebak.
"Oh, ya.. Apakah kau pernah melakukan hal itu dengan kekasihmu?" tanya Karen penasaran.
"Melakukan apa?" Ruri terkekeh. "Aku bahkan hanya bisa memendam perasaan selama lima tahun pada seseorang. Dan hingga sekarang aku tak bisa mengungkapkannya."
Karen mengangguk-angguk.
"Ehmmm.. Begini.. Aku mau menanyakan pendapatmu mengenai hal yang sensitif."
"Eoh, tanyakan saja."
"Bagaimana menurutmu jika perempuan yang membangunkan seorang pria hingga pria itu... Terus... Hemmm... Begitu... Ah bagaimana ya?? Aku bingung."
Ruri menatapnya penuh curiga pada Karen.
"Kenapa? Dulu kau yang memulai duluan ya???"
Karen terdiam lagi.
"Dasar nakal. Pasti kau sangat menyukainya. Seperti apa sih kekasihmu itu."
"Ah, itu.. Sepertinya aku tak bisa memberitahumu sekarang. Tapi mungkin nanti lama-lama kau akan mengetahuinya."
" Sepertinya dia sangat istimewa hingga kau menyembunyikan identitasnya."
"Bukan seperti itu. Hanya, aku takut kau akan mengataiku memiliki delusi yang parah."
Tawa Ruri meledak mendengar pengakuannya.
" Baiklah, aku akan menunggu waktu itu tiba. Dan sekarang kau tidurlah dan jangan terlalu memikirkan hal berat." Ruri lalu kembali ke ranjangnya yang berada di seberang ranjangnya.
***
Keesokan paginya Karen akhirnya memutuskan untuk pergi ke dokter kandungan dan ditemani oleh Ruri. Awalnya Karen bersikeras berangkat sendiri namun Ruri memaksa agar mau ditemani olehnya.
Setibanya di sana, Karen melihat sebagian besar pasiennya diantar oleh suami mereka kecuali Karen. Hingga membuatnya menjadi sedikit canggung dan malu.
"Untung aku ikut kan? Kalau tidak, kau akan sendirian seperti orang hilang."
Karen hanya tersenyum tipis, tapi tetap saja ada rasa iri dalam hatinya melihat mereka yang tampak bahagia saat bisa datang dengan suaminya.
Setelah pendaftaran selesai Karen menunggu dengan Ruri di ruang tunggu.
"Karen." seorang perawat memanggilnya, dan mempersilakan Karen untuk masuk ke dalam ruangan yang sudah ada seorang dokter sedang duduk menunggu.
Dokter mengatakan jika usia kehamilannya sudah menginjak usia lima minggu. Meskipun belum terlihat perbedaan yang jelas pada tubuhnya, tapi dokter mengatakan jika nantinya anya akan mengalami fase mual dan muntah serta cepat lelah. Dokter juga memberitahu jika ia tak boleh stress dan harus memakan makanan yang sehat juga menghindari kegiatan yang bisa membahayakan calon bayi ini.
"Konsultasikan dengan suami ya..," ucapnya mengakhiri sesi pertemuan pertama kali pada hari ini.
Karen hanya mengangguk mengiyakan. Suami?? Hahaha Karen hanya bisa menertawakan dirinya sendiri dari dalam hati.
"Lihat, Karen?!" seru Ruri ia memperlihatkan ponselnya padanya.
Dia menunjukkan padanya sebuah berita terkini tentang Liam dan Rafael.
"Kau mengenal mereka?!" tanyanya ragu, melihat wajah Ruri yang sangat antusias seperti itu. Karen menjadi sedikit takut jika dia adalah fans mereka.
"Tentu?! Tapi aku mengenalnya saat mereka ketika ada skandal waktu itu."
" Oh.."
"Kau pasti kenal mereka juga kan?! Mereka sekarang menjalani pemeriksaan lagi, meskipun menjadi saksi dan korban."
"Ada apa memang?" tanya Karen pura-pura tidak tahu.